Mencintaimu dalam diam, kukira cukup. Betapa munafiknya aku.
Arlan bergerak-gerak gelisah. Setelah berguling kesana kemari, otaknya belum juga cukup jernih untuk mencerna semua yang terjadi malam ini. Brengsek! Lea benar, seharusnya semua minuman itu kubuang. Sekarang otakku jadi berkabut dan tidak bisa berpikir.
Kali ini Arlan menyerah untuk berpikir. Ia memeluk gulingnya erat-erat. "Le...," gumamnya pelan. Kemudian menghirup dalam-dalam guling yang ada dalam pelukannya.
"Bau kamu makin hilang, Le. Besok-besok Kakak harus beli lotion yang sama kayak kamu deh biar baunya awet," gumamnya lagi, benar-benar seperti orang gila.
Pagi hari ia awali dengan kepala yang rasanya seperti mau pecah. Namun setelah minum obat dan susu, akhirnya Arlan mulai bisa berpikir jernih.
Arlan memasang sepatunya, berlama-lama menunduk untuk mengikat talinya, sekaligus menjernihkan kepala yang masih terasa berat. Kemudian bangkit untuk mengikat dasi. Semuanya dilakukan dengan teratur dan tanpa sungguh-sungguh berpikir.
Barulah ketika meraih tas kerjanya dan menatap kursi kosong di meja makan, Arlan berdiri mematung. Ia merindukan sosok yang biasa menunggunya di kursi itu sambil memainkan handphone. Arlan merindukan sosok yang menemaninya menggunakan meja makan itu untuk sarapan, walaupun mereka sama-sama tidak terbiasa makan pagi.
"Apakah akhirnya, janji itu sudah lunas kutepati?" perlahan senyum lembut terukir di bibir Arlan, lalu ia melangkah keluar dari apartemen.
Arlan mengetuk-ngetukkan jemari ke meja kerjanya. Jam menunjukkan pukul 08.00. Lea sudah terlambat setengah jam. Pikirannya mulai khawatir, menyadari mungkin Lea memutuskan resign karena hubungan mereka. Arlan mulai memencet nomor telepon Lea di handphonenya ketika interkom berbunyi. Ia mengangkat telepon, dan mendapati staff HRD yang menghubunginya.
"Selamat pagi, Pak. Mbak Leanna pagi ini minta ijin tidak masuk. Maaf, apa perlu saya carikan sekretaris pengganti sekarang juga?"
"Lea nggak masuk? kenapa?"
"Katanya dia baru pulang dari rumah sakit, Pak. Soalnya ...."
Ucapan staff itu terhenti karena dipotong oleh Arlan. "Rumah sakit mana? Lea sakit apa? Dia kemarin sehat-sehat aja kok."
"Mbak Lea nya sudah pulang, Pak." Suara staff itu berusaha memperjelas ucapannya tadi.
"Oh. Oke. Terima kasih." Arlan bergegas menutup telepon tanpa menunggu jawaban.
***
"Ibu beneran nggak apa kalau Lea tinggal?" tanya Lea untuk kesekian kalinya. Pemandangan tubuh Sarah yang berbalut baju rumah sakit dan nampak ringkih membuatnya tidak tega.
Sarah mendengus keras. "Ibu harus bilang berapa kali sih, Le? Kalau kamu disini malah ganggu ibu. Ibu kan mau istirahat. Udah sana, kamu pulang aja."
Lea menggigit bibirnya ragu, lalu mengangguk. "Ya, sudah. Kalau gitu Lea pulang buat ganti baju terus kerja ya. Nanti mau Lea bawain sesuatu?" tawarnya.
Sarah memelototinya. "Pulang, Lea! Kamu mungkin nggak ikut kena tabrak, tapi badan udah mau ambruk gitu dipaksa kerja?!" sergahnya tajam.
"Tapi, Bu...."
"Nggak ada tapi-tapian. Apa salahnya sih cuti sehari aja?" Kali ini Lea terdiam dan menurutinya.
Setelah menelepon bagian HRD untuk mengabari keadaannya, Lea kembali menemui suster. Syukurlah biaya pengobatan ibunya dicover oleh asuransi milik negara yang ia ikuti. Setelah semua obat dan berkas selesai diurus, serta pemeriksaan selesai dilakukan, sarah dinyatakan tidak mengalami cedera terlalu parah. Ada retakan di lengan sebelah kirinya, serta memar-memar akibat tubuhnya terhempas oleh mobil yang semalam menyerempet. Namun hanya itu saja, selebihnya ia dipersilahkan istirahat untuk kemudian dipastikan apakah ada efek lain yang belum ketahuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOME (One shot - Repost)
Romansa**WARNING!!** Berisi konten 21+ **Be a wise and smart reader.** (Sudah diterbitkan secara Self Publish, dan hadir di google Play Store) Rumah adalah tempat dimana hatimu tinggal. *Silahkan cek Bab Sinopsis untuk ringkasan ceritanya. Thank you