Sorry, I'm leaving

1K 125 18
                                    

Saya senang, bisa pergi ke roleplayer ketika semua orang di real life gak ada yang peduli sama sekali. Tapi tolong jangan bikin ribet, saya datang ke sini bukan untuk menambah penderitaan.

— —

"Salmaaaa! Itu Nathan lu kurbel banget dah,"

"Sal, lu yakin nolak Nathan?"

Tch! Berisik banget punya temen kaya Lia. Untung dia bukan Milea, kalau dia Milea bisa-bisa Dilan ilfeel. Lagi pula, orang yang diributin Lia itu namanya bukan Nathan, beda jauh deh sama Nathan si tokoh fiksi.

Hari ini di sekolah, aku masih berkutik dengan keyboard smartphone. Saling berkirim pesan dengan ayah, ibu, adik, kakak, sahabat, dan semuanya. Bermain ke taman sepi bersama pikiran penuh dengan imagine, halusinasi, khayalan, sejenis itu. Aku tahu taman sepi itu cuma imaji seluas angkasa. Untung aku tidak menjadi orang gila yang punya segudang pikiran liar. Ya, namanya juga roleplayer.

Lia menarik ponselku, aku bisa melihat ekspresinya yang sangat buruk. Dia seperti marah, tapi aku lebih marah lagi ketika dia merebut ponsel.

"Apa lagi sih, Li?" Cetusku.

"Lu masih main ginian?" Tanya Lia.

"Emangnya kenapa?" Jawabku.

Lia menggeleng, dia kembali memberikan ponselnya padaku. Aku mungkin sedikit tidak mengerti, mau membaca mimik wajahnya pun tidak bisa.

"Lu masih ada gua. Sal," katanya.

Aku mendecak, percuma. Ya, di dunia ini gak ada yang bisa kasih perhatian kaya gini, orang tua saya mana? Orang tua saya yang bener itu cuma ada di dunia palsu. Di dunia asli sama sekali gak peduli tuh sama saya. Terserah jika sayang yang mereka berikan palsu, yang penting saya bisa merasakan kasih sayangnya.

Kulempar senyuman acuh padanya, lalu berlalu begitu saja menjauh darinya. Apa salahnya bermain dengan permainan ini? Tidak ada salahnya 'kan? Menurutku ini lebih menyenangkan dari pada bermain the sims. Keduanya sama-sama game bukan?

Aku mengernyit ketika mendapatkan sebuah pesan dari salah satu sahabat Roleplayer-ku. Tiwur (?)

Tiwur : Hyer, lu deket sama Juki?

Tiwur : Lah, itu kan kecengan gua.

Tiwur : Lu bestie gua 'kan, Hyer ....

Hyer, lebih tepatnya lagi Hyeri. Itu adalah nama samaranku di fake world, menggunakan wajah Hyeri Girls Day sebagai face claim. Aku tidak habis pikir tentang pesan yang masuk dari salah satu sahabatku.

Aku membalasnya dengan tiga kata. Mungkin itu cukup untuk Tiwur, sahabatku.

Hyeri : Dari dulu, kenapa?

Secepatnya dia membaca pesanku dan dengan sambaran kilat pula dia membalasnya. Cukup singkat, namun aku tersenyum.

Tiwur : Kita udahan aja jadi bestie, lu mah nikung temen sendiri.

Setelah itu aku hanya membalasnya dengan kata "iya". Kenapa? Kenapa aku tidak takut kehilangan sahabat? Karena aku sudah merasa egois di dunia fake ini, aku merasa bisa melakukan apa saja.

Mencari sahabat sebanyaknya mudah, tinggal bertanya "fambest?" Setelah itu kita berteman, meski terkadang musiman. Intinya, tidak mau ribet.

Akhir-akhir ini aku memang dekat dengan Juki, kami sering melempar pesan apapun yang tidak penting. Sampai, aku menceritakan kejadian barusan padanya. Juki hanya mengirim stiker tertawa dan berkata bahwa itu sangat lucu, walaupun aku tidak tahu dia benar-benar tertawa atau tidak.

Our Fake Life | RolePlayerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang