Hari ini, hari keempat tanpamu berlalu bersama kelu. Subuh itu Entah apa gerangan aku melihat ponsel dan membuka akun sosal mediaku, dan hal pertama yang aku temukan adalah postinganmu tentang foto sebuah senja dengan keterangan 'senja, senja menuju kebaikkan' aku bertanya dalam hati, apa ini ? kebaikkan apa yang sedang dia siratkan ?seluruh sesak dan pertanyaan-pertanyaan itu menyerang kepalaku. Namun bak sebuah keajaiban datang menghampiri. Sebuah pesan dari laki-laki pemilik senyum angkuh.
"Jingga"
Aku terperangah memandangi layar ponsel dengan tingkat intensita cahaya yang 100%., harusnya itu menyakiti mata, tapi apalah daya mata jika yang dirasakan hati adalah rona bahagia.
"Ya Tuhan Dewa, ada apa sesubuh ini?"
Aku berusaha menahan diri agar dia tidak terlalu risih, meski sebenarnya saat itu darahku begitu cepat mengitari tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Aku sedang berada di kotamu, kita harus berbicara"
Kau tahu, bahagia dan haru adalah yang paling menguasai hatiku hari itu, tanpa kabarnya berhari-hari yang lalu, ternyata adalah perencanaan penuh untuk menemuiku. Tanpa aku tahu apa yang sebenarnya yang ingin dia bicarakan, pagi itu dia beristirahat disebuah hotel, lelah ? tentu saja, hanya dia tidak ingin memperlihatkannya. Menempuh jarak 10 jam melalui jalur darat sendirian menggunakan mobil kesayangannya adalah hal tergila yang tidak pernah terfikirkan olehku. Dan dia melakukannya.
Aku ingin segera menemuinya langsung saat itu, aku bisa meminta izin untuk pulang lebih awal dari jadwal kantor hari itu, tapi dia mengatakan untuk menyelesaikan pekerjaan saja dulu, sedangkan dia beristirahat dari perjalanan jauh. Baiklah, aku setuju, lelah akan membuat pembicaraan tidak terarah.
Pukul 01.00 wib siang selesai dari istirahat setelah perjalanan jauh itu, aku mengajaknya makan, kami belum banyak berbicara, lebih tepatnya aku sudah tidak bisa mengatakan apapun. Melihatnya begitu nyata didepan mata adalah hadiah yang tidak pernah aku duga, dia ada disini, di kota ini, denganku , duduk berdua berhadapan menikmati santap siang. Ada perasaan bersalah, wajah lelahnya tidak bisa dia sembunyikan. Itu sangat terbaca jelas olehku, tapi ada hal lain yang aku baca dari sorot matanya, hal yang sudah begitu dia pendam sejak empat hari yang lalu, hal yang begitu penting yang harus dia sampaikan secara langsung hingga membuatnya datang menemuiku disini.
***
Di sebuah pendopo kantor kami berdua duduk berhadapan. Tempat ini tenang, jauh dari keramaian. Namun sore itu hujan datang, rintiknya menjadi melodi musik pengiring diantara kami berdua. Berjarak sebuah meja yang berada ditengah antara aku dan dia. Saat itu aku berharap hujan tidak akan berhenti, aku sungguh menikmati ini. Menatap mata yang tidak pernah bisa membohongiku. Disana aku jumpai segala cinta yang selalu dia simpan dengan tenang. Dilensa mata itu saat ini hanya ada aku dalam potret matanya.
Hujan kali ini benar-benar membuatku merasa bahagia, benar kata orang, hujan selalu menyediakan cerita indah untuk setiap orang saat rintiknya jatuh, dan aku menemukan satu cerita hujan untukku sendiri, untuk aku kenang sendiri. Duduk berhadapan dengan meja yang jadi pemisah, dia memulai pembicaraan yang tidak akan pernah aku lupakan.
"Jingga, kamu tahu kecewa itu bisa mematahkan rasa?"
"Aku tahu Dewa"
"Malam itu kecewa mematahkan segala rasa, saya tidak mengerti apa yang sedang terjadi, kamu mengatakan ingin berhenti, sedangkan saya baru saja menepi, kamu tahu mengapa saya tidak menjawab segala pesan-pesanmu setelah kalimat selamat tinggal yang kamu ucapkan, lalu dengan mudah kamu minta maaf bahwa yang kamu lakukan adalah kesalahan?"
"Entahlah Dewa, malam itu begitu membingungkan"
"Jingga, saya kecewa, sungguh kecewa, karena apa ? kamu seperti mempermainkan rasa ! setelah kalimat pisah yang kamu ucapkan, tanpa tahu bagaimana hati saya malam itu, tanpa tahu pula bagaimana keadaan saya malam itu yang juga sedang tidak baik, lalu tiba-tiba kamu meminta maaf ? bagi saya, kamu lagi main-main jing, sedangkan saya sudah tidak main-main lagi. Kalau bukan cinta, saya tidak akan ada disini duduk dihadapan kamu !"
"Aku minta maaf"
"Kamu tahu, kalau di umpamakan, hati saya ini adalah tanah yang sudah sangat lama gersang, sangat lama, hingga akhirnya ada satu tumbuhan tangguh yang tumbuh di atas tanah gersang itu, hebat, tumbuhan itu bisa tumbuh hingga subur, namun sayang belum sempat dia berbunga, dia layu dan tidak bisa bertahan hidup lagi, melihat itu sang pemilik tanah gersang tersebut ingin mencoba mencabut paksa, sekalian saja, hilangkan saja, itu fikirnya. Namun sayang sang pemilik tanah melihat sekitar, tumbuhan itu satu-satunya yang mampu tumbuh sehebat itu, dia sudah terlanjur sangat ingin merawatnya dengan baik, hingga akhirnya dia datangi tumbuhan tersebut , dia pangkas helai daun yang hampir mati, untuk apa ? untuk dia rawat lagi agar bisa tumbuh lagi"
Mataku berkaca, aku masih bisa menahan air mata yang akan jatuh, menarik nafas berkali-kali, menggigit bibir bawahku, mengenggam erat kedua tanganku, tatapan itu, kecewa dan cinta menyatu. Rasa bersalah sungguh menguasai diriku.
"Jingga kamu tahu kenapa saya kesini?"
"Kenapa ?"
"Hati saya jingga, hati saya sedang kacau, dan untuk menenangkan hati saya ini, obatnya adalah melihatmu, saya harus melihat kamu secara nyata, untuk meyakinkan diri saya bahwa kita berdua akan baik-baik saja"
"Dewa, aku gak tahu harus ngomong apa, gak ada, aku cuma bisa bilang maaf, maafkan aku, kedatangan kamu kesini sungguh menghilangkan segala gelisah dihati"
"Jingga, aku tidak pernah tahu apa rasanya memperjuangkan seseorang, tidak pernah tahu apa itu rasanya merindukan seorang wanita kecuali ibuku, aku tidak tahu apa itu defisini tentang cinta, aku baru dalam hal ini, dan dari sekian lama menatap dunia, nalarku tentang rasa berhenti mencari ketika kamu ada"
***
Hujan benar-benar menjadi moment penting hari itu, semesta sangat apik sekali meluruhkan hati dua anak manusia yang sedang jatuh cinta, menempuh perjalanan sejauh itu hanya untuk menemui seorang wanita yang baru dalam dua bulan Dia kenal, bahagia ? itu adalah salah satu moment terbahagiaku, diperjuangkan sehebat itu tidak pernah aku bayangkan akan terjadi padaku, aku kembali menunduk menatap kopi digelasku yang hanya tinggal setengah, kali ini air mata tak bisa aku tahan, moment itu benar-benar masih sangat terasa nyata dalam ingattanku. Dan hujan malam ini, ku mohon cepatlah berhenti, tak ada lagi hujan yang membahagiakan semenjak saat itu, berhentilah hujan, ini menyesakkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
JINGGA
Romance"Jingga..." "Iya," "Kata orang hidup itu seperti kopi, kamu harus benar-benar merasakan pahitnya dulu di seruput pertama. Sedikit demi sedikit. Manis itu akan kamu temukan sendiri setelah kamu mengerti, bahwa setelah pahit akan selalu ada manis. Buk...