Sepasang tangan mengeluarkan lusinan piring dari alat pengering. Diiringi suara dentingan, ia menumpuknya dengan cekatan di atas troli dan mendorong troli tersebut menuju site piring di dalam dapur. Langkahnya mantap, tapi tidak terburu.
"Swara!"
Suara bariton menggema, menghentikan langkah wanita dengan seragam putih dan celemek yang masih melekat di tubuhnya itu. Ia menoleh, sekedar mencari tahu siapa gerangan yang masih berkeliaran di dapur restoran tempatnya bekerja sebagai pembantu asisten dapur sekarang ini. Biasanya para koki langsung minggat dari tempat—yang kalau sedang beroperasi seperti neraka ini—setelah pelanggan terakhir hengkang pula dari tempat duduknya.
Memiringkan kepala, Swara kesal karena telah membuang waktu beberapa detik. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaan ini karena dia masih ada tugas kelompok dengan temannya. Ya, jam sepuluh malam setelah dia selesai bekerja, Swara baru bisa mengerjakan tugas kuliah.
Susahnya harus membagi waktu untuk kuliah dan bekerja seperti ini. Namun, apa boleh buat, Swara memang tidak seberuntung teman-teman kuliahnya yang tinggal menadahkan tangan bila ada keperluan biaya kuliah atau malah hanya untuk sekedar nongkrong berjam-jam di mall.
Swara sadar bahwa ia memang hanya anak kampung yang punya cita-cita terlalu tinggi. Sudah sering ia mendapat nasehat, "Kalau mimpi jangan tinggi-tinggi, nanti jatuhnya sakit," tapi nasehat itu hanya masuk telinga kiri dan langsung ditendang oleh penghuni koklea lantas kabur lewat telinga kanan.
Jika mengingat perjuangannya dulu mengumpulkan uang hingga pulang tengah malam, atau kadang malah sampai pagi, saat bekerja di garment Solo selama dua tahun agar bisa memiliki biaya hidup untuk kuliah di universitas sehebat UI, Swara tidak akan mengeluh kalau cuma membantu para koki di dapur untuk mengambil ini dan itu. Dengan gaji yang lumayan, Swara juga tidak keberatan mendapat tugas tambahan mencuci piring dan membuang sampah. Jam kerja yang bisa disesuaikan dengan jadwal mata kuliah, membuat Swara dan tiga orang lain sepertinya makin betah di sini. Jadi pekerjaan Swara di restoran itu bisa digilir. Mereka bekerja dengan hitungan bayaran perjam.
"Ra! Kalau dipanggil nyahut napa, sih? Punya mulut nggak?"
Swara sedikit terlonjak mendapati Gary telah berkacak pinggang tak jauh darinya. Melihat ransel telah tersampir di bahu, sepertinya pria itu sudah siap untuk pulang. Lantas buat apa sekarang dia ada di sini dan mengomel tak jelas di depan Swara?
"Apa, tho, Mas?" Swara kembali melanjutkan pekerjaan. Lamunannya telah buyar. Tidak ada bersambung jika koki senior ini telah bercuap-cuap. Dia selalu minta perhatian lebih. Pada siapa pun! Bukan cuma pada Swara yang masih muda. Perjaka tua, ya, begitu.
"Pulang bareng gue, mau nggak?" Gayanya menawari seperti petugas bank plecit. Mau tidak mau, ya, harus mau.
Selesai dengan para piring, baru Swara menghadap pria yang tingginya sudah seperti pohon kelapa itu. "Tumben nawarin."
"Mau apa kagak, elah? Kagak usah ke-ge-er-an, terus pamer ke anak staf waiters. Gue tadi balik ke sini ngambil handphone yang ketinggalan." Gary langsung menjelaskan tanpa diminta saat ditatap dengan tajam. Ia tahu Swara menganggap dirinya sebagai hidung belang, jadi akan mencurigakan kalau dia sampai menawari boncengan sakral motor Ninja-nya.
"Nggak, Mas. Makasih. Aku sudah dijemput temanku, kok."
Harga diri Gary tercoreng mendengar penolakan yang meluncur dengan mulus dari mulut Swara. "Laki apa cewek?"
"Cewek, lah, Mas."
"Nah, bahaya, tuh. Pulang malem-malem berdua, tapi masih sama cewek juga. Kalo ada begal nanti gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AKAD
Romance[SUDAH DIREVISI] Menikah muda sungguh bukan suatu hal yang pernah ia bayangkan dan akan ia lakukan. Swara hanya ingin menuntut ilmu setinggi mungkin dan menjadi orang yang sukses untuk mengangkat derajat keluarganya dengan menggunakan tangannya send...