AKAD || Nikah

3.9K 310 7
                                    

Sigit berdecak keras. Matanya juling ke kanan dan kiri terus-terusan sejak tadi karena melihat adiknya, Sofyan, mondar-mandir di depannya. Sebenarnya yang mau menikah siapa, sih? Sigit! Lantas kenapa malah Sofyan yang gugup?

“Sekali lagi kamu lewat depanku, kupotong kakimu, Yan!”

Sofyan merengut, tapi tak berani berjalan mondar-mandir lagi. Dia memilih ikut duduk di sebelah Sigit. Mereka sedang berada di kamar yang disediakan untuk pengantin pria menunggu. Tempat rias para pengantin dipisah memang. Dan acara dilaksanakan di rumah Swara.

“Nggak usah sok keren, Mas. Aku tahu kamu juga gugup, ‘kan?”

“Terserah aku, lah! Udah keluar sana.”

Mencebikkan bibir sebal, Sofyan bangkit dan memungut jas hitam di bahu kursi. “Aku mau ngintip Swara—“

“Mbak Swara.”

“Iya! Aku mau ngintip Mbak Swaraku dulu.”

Sigit melotot mendengar panggilan yang ia sarankan pada Sofyan jadi ambigu. Tidak peduli dengan muka garang kakaknya yang macam arang, Sofyan mengibaskan jas kuat-kuat—berharap debu yang bersarang di sana masuk ke hidung Sigit—sebelum memakainya.

Sambil berjalan keluar, Sofyan mengomel, “Padahal Swara adik kelasku yang dulu mau kutembak, sekarang malah nikah sama Mas Sigit. Nasib, Nasib. Hemmm.” Namun, di bibir Sofyan terukir senyum geli yang sama manisnya dengan milik Sigit.

***

Mungkin Sigit terlihat tenang karena terus diam dan selalu melempar senyum kepada siapa pun. Namun, aslinya dia juga gugup. Sebagai ibu hanya Manda yang tahu betapa gugupnya Sigit saat itu. Berkali-kali Sigit mengusap keringat di dahinya. Bahkan sapu tangan yang ia pakai sudah diganti oleh Manda karena tahu itu sudah basah kuyup akan keringat. Belum lagi tubuh Sigit yang besar harus dililit jas. Keadaan halaman rumah Swara yang telah disulap menjadi tempat akad nikah pun kini begitu ramai. Jika boleh, Sigit mau bertelanjang dada saja di sana. Panas sekali. Jantungnya juga berdebar tak karuan sejak bagun tidur pagi tadi.

Apalagi saat Sigit harus mengucapkan ijab kabulnya seorang diri di depan Pak Penghulu yang tak kalah gemuk darinya. Sigit rasanya hampir tersedak saat melafalkan nama lengkap Iswara Kumari binti Hiwayat beserta janji nikahnya. Bahkan setelah selesai dan sudah sah menjadi suami Swara, Sigit masih tak tenang. Acara membaca surat Al-Fatihah pun rasanya seperti seabad. Ya, Sigit tak sabar untuk disandingkan dengan Swara dan ... takut. Untuk pertama kalinya setelah belasan tahu, Sigit kembali takut untuk bertemu dengan wanita karena dia merasa dirinya jelek.

Sigit itu hitam, gemuk dan tidak tampan. Ia sangat sadar akan hal itu. Sigit sangat bersyukur bisa menikah dengan Swara, tapi ... Swara masih muda, cantik, dan dia masuk dalam jajaran wanita yang tidak bisa diremehkan. Saat gosip tak enak beredar, banyak orang membela Swara. Dia benar-benar anak yang baik.

Presosi pernikahan mereka memang sederhana dengan hiburan musik rebana dan Sigit belum bertemu dengan Swara sejak kemarin. Memang disengaja begitu. Sigit baru boleh melihat Swara secara langsung setelah akad nikah selesai. Pria itu bangkit dari tempatnya dan berjalan menghampiri para wanita yang mendampingi Swara. Sejak tadi mereka menunggu di dalam rumah.

Sebelumnya Sigit tak pernah segugup itu jika hanya bertemu dengan Swara. Keringatnya makin banyak dan jantungnya terus berdebar. Mati-matian Sigit menahan diri untuk tidak meremas tangan, nanti jadi terlihat kalau dia gugup. Meski begitu, hanya orang buta yang tak menyadari kegugupan Sigit. Sejak tadi dia berjalan sambil menunduk, padahal Swara sudah berdiri tegap di depannya. Cuma berjarak beberapa meter saja.

Sesudah berada di depan Swara, barulah Sigit berani mendongak dan megangkat sebelah tangannya untuk menjemput Swara. Wajah tertutup kain sutera putih yang tembus pandanglah yang didapati Sigit. Swara memakai kerudung, seperti rencana mereka memang. Tapi ini di luar ekspetasi Sigit. Wangi minyak bunga kasturi menyapa hidung Sigit dan dia langsung menahan napas. Tangan berhiaskan heina kini telah terulur untuk menerima tangannya.

Sorak-sorai menggoda tiba-tiba mengudara. Entah siapa yang memulai, keadaan jadi gaduh sekarang ini. tawa bahagia di mana-mana. Dan Sigit jadi malu. Ia menunduk sambil menutup mulutnya yang mau terbahak keras-keras. Keadaan ini sangat tidak familier bagi Sigit.

Sedangkan Swara, dia merengut di balik penutup wajahnya. Gadis itu bahkan sampai menghela napas. Karena masih melihat Sigit melirik ke mana-mana sambil tersenyum lebar, Swara mengepalkan tangannya yang hendak meraih tangan Sigit. Menyimpannya kembali di balik buket bunga mawar putih yang ia pegang.

“Kenapa, Ra?” tanya Sigit dengan suara rendah. Wajah mereka hampir sejajar sekarang karena Swara memakai sepatu hak tinggi di balik gaun putihnya. Tawa pun sekarang sudah berhenti, berganti dengan bisik-bisik tak mengerti. Bahkan ada yang berbisik cukup keras, bahwa Swara menyesal menikah dengan Sigit dan baru sadar sekarang.

“Mas nggak mau lihat aku dulu? Aku udah dandan empat jam, lho.”

Mulut Sigit terbuka tanpa suara selama beberapa detik. Dan hanya seruan, “Aaah ...,” yang keluar dari mulutnya sebelum dengan hati-hati membuka penutup wajah Swara.

[.]

Jadi ini aku bikin spesial part ampe 6 chapter, muahahaahahahaha. Nanti diapdet satu-satu sampai Sabtu depan.

Dan .. kan aku niat bikin sekuel, jadi ... anggap semua yang dilakuin Sigit sama Swara itu tahun 2014. Kkkkkk //apaan banget coba//

Soalnya kalau bikin sekuel empat tahun kemudian, pas Swara udah lulus kuliah gitu. Kalau nggak dimundurin waktunya, ntar aku malah bikin kota distopia lagi //plak//.

AKADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang