AKAD || Kedelapan

3.4K 395 5
                                    

Swara memang sudah merasa Ali serius meskipun baru bicara lewat telepon, tapi mendapati lelaki itu sungguh duduk di ruang tamunya siang ini benar-benar membuatnya tak habis pikir.

Setelah terdiam cukup lama sedari ia tiba di rumah Swara, Ali memberanikan dirinya untuk berlutut di hadapan Swara yang duduk di kursi.

"Mas Ali mau ngapain?" Karena panik, Swara malah ikut berjongkok. mensejajarkan diri dengan Ali. Ia tidak menyangka, kejadian sepeti di film-film romantis ketika seorang pria berlutut di hadapan wanita akan ia alami. Dan rasanya begitu awkward!

Ali tersenyum kecil. "Astaga, Ra. Bisa nggak, sih, lu biarin gue jadi cowok bener sekali aja. Duduk!"

"Yaaah, Mas Ali mau ngapain?"

"Mau ngelamar, lah. Duduk, gih!" Ali memaksa Swara untuk duduk kembali. Sedikit sulit memang, tapi akhirnya Swara menurut. Ia pegang tangan gadis itu erat.

"Ra, aku cinta sama kamu."

Darah Swara berdesir. Baru kali ini Ali memakai aku-kamu ketika bicara dengan Swara. Pakai bicara cinta pula. Sigit saja tidak pernah bilang begitu.

Ingat Sigit, Swara jadi sadar diri. Dia sudah bukan wanita legal lagi. Ia buang jauh-jauh rasa berdesir tadi. Kembali ia mencoba untuk melepas tangan Ali.

"Ra, kumohon, Ra." Ali benar-benar memohon dengan sepenuh hati. Dan apakah Swara berhalusinasi karena melihat mata Ali berkaca-kaca? "Menikahlah denganku, Ra."

Untuk beberapa saat Swara masih diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia bingung kenapa Ali sampai seperti ini. Cinta? Bagaimana bisa Ali jatuh cinta padanya? Ia bahkan bukanlah siapa-siapa atau pernah melakukan sesuatu yang berjasa untuk Ali. Swara hanyalah remah-remah rempeyek yang jatuh ketika digigit.

Tangan kanan Ali terulur guna menyentuh pipi Swara dan langsung ditepis oleh gadis itu. Swara menggeleng lemah dengan mata nanar.

Ali tak mau menyerah. Apa pun akan pria itu lakukan untuk bisa mendapatkan Swara, asalkan tidak menyerahkan nyawa saja, karena kalau begitu artinya dirinya tidak bisa hidup lagi. Padahal keinginan untuk membuat Swara selalu ada dalam hidupnya adalah karena ia ingin terus hidup sebagaimana orang normal.

"Ra, aku mohon sama kamu. Aku nggak akan bisa hidup lagi tanpa kamu, Ra. Aku cinta sama kamu." Ia dekap tangan Swara di dada, berharap wanita itu tahu kalau bagian paling berharga dalam hidupnya telah jatuh untuk Swara.

Sekali sentak, Swara berhasil menarik tangannya kembali. "Sadar, Mas. Aku nggak paham kenapa Mas gini. Aku udah mau nikah dan nggak mungkin aku batalin semua itu biarpun Mas mohon-mohon begini."

Ali langsung terduduk lemas di lantai mendengar ucapan Swara. Berbagai bayangan bagaimana hidupnya nanti tanpa Swara berkelebat dengan begitu cepat di kepalanya. Tidak! Ali tidak mau lagi mengalami hal itu. Ia ingin diterima oleh seseorang. Ia tak mau lagi dibuang begini.

"Mas." Swara ikut berjongkok. Ia sentuh pelan lengan Ali agar pria itu mau menatapnya kembali. Tiba-tiba rasa sesal merasuki Swara. Ali sudah sangat baik padanya, tapi ia malah berkata seperti tadi yang terdengar benar-benar tidak menghargai usaha pria itu. "Jangan berpikir kalau Mas nggak bisa hidup tanpa aku. Aku itu siapa, tho, Mas? Aku ini apa sampai jadi pengaruh soal hidup nggaknya seseorang. Sekali-sekali jangan pernah berpikir yang begitu. Hidup kita nggak tergantung sama orang lain, Mas. Hanya Tuhan yang pegang."

Lihat, betapa bodohnya Ali di hadapan seorang Swara dan bagaimana mungkin Ali merelakan wanita seperti Swara yang sudah tipe dia sekali pada orang lain? "Tapi, Ra, apa nggak bisa lu nerima gue? Gue janji bakal kasih kebebasan buat lu setelah kita nikah. Lu mau kuliah atau kerja di mana aja, gue jamin bisa, Ra," parau suara Ali berujar. Setetes air mata lolos dari mata pria itu.

AKADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang