“Ra, lihat, deh. Cantik, nggak?”
Mata Swara yang sudah pedas menekuni huruf di dalam buku sekarang terbuka lebar. Tanpa sadar ia menggigit bibir dan memiringkan kepala. Sigit menyodorkan ponselnya yang kini menampilkan foto wanita tanpa kepala—maksudnya kepalanya sudah di-crop—yang memakai gamis polos berwarna biru tua. Gamis itu mengembang dengan sangat cantik karena angle pengambilan fotonya juga sangat bagus. Swara menoleh ke samping. Sigit hanya berada satu jengkal di depannya sekarang. Mereka sudah tidak canggung lagi, jadi tanpa ragu Sigit merangkul bahu Swara dan menyandarkan wajahnya ke pipi Swara dengan manja.
“Cantik,” jawab Swara pelan. Sigit terus menggeser layar ponselnya dan menunjukkan beberapa foto gamis wanita dan kerudung kepada Swara. Senyum tak pernah luntur dari wajahnya. Pria itu tidak tahu jika istrinya berubah cemas.
Mungkin jika dilihat sekilas, Sigit hanya pria biasa yang suka pergi ke pasar setiap harinya. Tapi, meski tidak menunjukkannya secara terang-terangan Sigit adalah seseorang yang cukup peduli terhadap agama dan Swara menyadarinya sekarang. Tak jarang ia harus menahan rasa malu karena harus berdebat dengan Sigit dalam beberapa persoalan, karena Sigit selalu benar.
Meski tidak bicara secara langsung, Swara tahu bahwa Sigit ingin Swara memakai hijab seperti ibunya. Namun, Swara belum siap untuk itu. Dia hanya wanita biasa dan belum merasa pantas untuk mengenakan hijab.
“Bagus nggak, sih, Ra?”
“Bagus, kok.” Swara menyahut cepat. Takut tertangkap basah melamun.
Sigit beringsut menjauh. Ia kembali duduk tegap di sofa dan mulai bermain ponsel lagi. Wajahnya tidak menampilkan emosi tertentu, tapi dia jadi diam. Dan entah datang keberanian dari mana, Swara berjanji dalam hati akan menuruti apa maunya Sigit. Kalau Sigit mau dia berhijab, dia ikut sajalah. Asal segala kebutuhan yang mengurus itu Sigit dan dia tinggal pakai saja.
“Aku berencana mau buka online shop buat pakaian muslimah sama temenku.”
Mata Swara praktis melebar karena yang keluar dari mulut Sigit di luar bayangannya.
“Jangan salah paham. Kita cuma temen. Dia emang masih single, sih. Tapi kita temen, kok.”
“Oh ... dia cewek.”
“Iyalah! Masa aku kerja sama ama cowok buat urusan gamis begini?”
Dengan itu, segala kekhawatiran Swara langsung menghilang. Sekarang dia malah bersikap sok mau cemburu, tapi sok menutupinya juga. Swara bungkam dengan mata terus menatap Sigit, seolah-olah sedang mencari kebenaran di sana.
“Iya, beneran, Ra. Namanya Desi, dia dulu temen kuliahku. Sekarang dia di Jakarta. Jadi nanti kalau kita udah pindah ke Depok, aku mau bikin usaha juga di sana. Kita bakal produksi barang sendiri nanti. Dia bakal bikin desain sama cari orang buat jahit barang kita. Gimana? Ide bagus, ‘kan?”
“Terus toko Mas di sini?”
“Masih ada Sofyan dan Bang Pardi sama yang lain pasti bisa urus.”
“Kamu juga pernah kerja di garmen, ‘kan? Sedikit banyak pasti kamu tahu juga soal kualitas jahitan, dong. Nanti kita omongin semuanya bareng-bareng.”
Senyum Swara melebar. Sekarang dia yang beringsut mendelati Sigit dan mengambil alih ponsel pria itu. Ikut-ikutan mengamati berbagai foto yang dikirim oleh Desi ke ponsel Sigit. Diktat sudah dia tutup, ia lebih suka berkomentar soal desain Desi di sana-sini. Karena memang pada dasarnya Swara berjiwa wanita karier, sudah dua bulan diam di rumah tentu saja membuatnya merasa bergaiarah dilibatkan dalam sebuah proyek bisnis.
Dan tanpa disadari oleh wanita itu, Sigit sudah sukses memasang perangkapnya dan mengundang mangsanya untuk masuk ke dalam perangkap dengan suka rela.
[.]
KAMU SEDANG MEMBACA
AKAD
Romance[SUDAH DIREVISI] Menikah muda sungguh bukan suatu hal yang pernah ia bayangkan dan akan ia lakukan. Swara hanya ingin menuntut ilmu setinggi mungkin dan menjadi orang yang sukses untuk mengangkat derajat keluarganya dengan menggunakan tangannya send...