AKAD || Keenam

3.7K 420 9
                                    

Setelah Swara menyatakan setuju untuk menikah, Juwaidi langsung membicarakan hal tersebut dengan keluarga Sigit yang memang sudah mengincar Swara sebagai menantu mereka. Seminggu kemudian lamaran dilangsungkan dan Swara akan menikah di akhir bulan Agustus nanti.

Dan kemarin Swara habis menyelesaikan urusan cuti kuliahnya di tengah semester. Dadakan memang, tapi Swara merasa tidak akan sanggup menjalani kehidupan kuliah jika hatinya sedang tidak tenang. Lagi pula persiapan pernikahannya pun pasti akan begitu repot. Dengan begitu ia juga harus merasa menjelaskan masalahnya pada Freya yang akan ditinggal.

Judulnya memang cuti, tapi entah sampai kapan. Dia tidak yakin bisa kuliah lagi di Depok setelah menikah. Jika ingin terus kulih, Juwaidi menyuruh Swara kuliah di Solo saja.

Namun, bisakah Swara terus melanjutkan kuliahnya jika sudah menjadi istri Sigit yang notabene dari keluarga terpandang. Mereka pasti menginginkan mantu idaman yang anteng di rumah menunggu suami pulang kerja. Dan apa dia akan mendapatkan izin? Swara tidak yakin.

Yang diyakininya adalah dia berhasil mengabulkan keinginan sang ayah dan membuat beliau kembali tersenyum.

Dua Minggu sebelum hari H, bertepatan pada peringatan 30 hari kematian ibunya, keluarga besar Swara kembali berkumpul. Tak lupa keluarga Sigit pun juga ikut ambil andil.

Ibu Manda yang paling mau repot. Pagi-pagi sekali dia sudah datang dengan membawa beberapa keperluan yang dibutuhkan dengan diantar Sigit.

"Wah, Buk. Nggak perlu repot gini." Swara berujar sambil menerima satu kantong plastik besar yang terasa ringan dari Manda. Setelah itu ia mencium tangan beliau dan Sigit bergantian.

"Le, pagi-pagi Swara sudah cantik, ya?" Bukannya menanggapi ucapan Swara, Manda malah menggoda putranya.

"Kalau ganteng malah aneh, Buk." Manda memukul lengan Sigit keras sambil melotot, tapi pria itu hanya terkekeh pelan dan menoleh pada Swara, "Ra, aku pulang dulu, nanti balik lagi. Bawaan Ibuk banyak banget tadi, nggak muat kalau dibawa semua."

"Bukan bawaan Ibuk yang banyak, daging kamu itu yang menuh-menuhin motor, Le!"

"Lah, Sigit kan anaknya Ibuk."

"Kurang ajar!" Hendak dipukul lagi, Sigit segera berpaling dan pergi meninggalkan ibunya yang juga bertubuh gempal menggeram di depan Swara. Gadis itu yang cuma tertawa pelan melihat interaksi ibu dan anak tersebut.

Setelah mengantarkan Manda untuk bergabung dengan Ainun yang sudah tiba dari kemarin, Swara bersiap untuk pergi ke pasar bersama Sigit nanti, seperti perintah Manda. Saat dirinya tengah mengenakan sepatu, ponselnya berbunyi.

Telepon dari Ali membuat Swara bergeming. Ia menimang. Angkat atau tidak?

Angkat saja. Memang apa masalahnya?

"RA, LU KATANYA MAU MARRIED?" Suara Ali terdengar panik.

Menarik napas panjang nan pasrah. Swara mengangguk.

"Ra! Jawab, Si Kupret bohong, 'kan?"

Swara baru sadar atas kegoblokannya kalau Ali tidak bisa melihatnya mengangguk. "Ah, iya, Mas. Freya nggak bohong, kok. Aku juga udah cuti kuliah. Dari Lego juga udah mengundurkan diri. Maaf, ya, Mas, belom sempet ngabarin."

Terdengar erangan frustrasi dari seberang. Begitu kerasnya sampai Swara mengernyit.

"Ra, gue bakal bebasin lu, tenang aja."

"Maksud, Mas?"

"Dari pada lu nikah sama orang nggak jelas pilihan orang tua lu yang kolot itu, gue yang bakal nikahin lu, Ra." Kalimat Ali terdengar begitu yakin. Seolah menikahi Swara dan menyelamatkan gadis itu adalah suatu kewajiban. Ia benar-benar tidak terima Swara dipaksa menikah.

AKADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang