"Berengsek lu, Bang! Setelah bikin gue jadi kayak gini, lu mau halangin gue buat sembuh juga!" Sekuat tenaga Ali hendak melepaskan tangannya dari cekalan Sigit.
"Dari dulu aku suruh kamu buat lupain semuanya dan coba inget sama Allah, Al." Sigit menyentak tangan Ali.
Napas Ali berderu, samar-samar terdengar suara adzan Maghrib. Mereka berdua beradu tatapan penuh emosi. "Kalau gue nggak dapetin Swara, lu yang harus tanggung jawab sama perasaan gue yang nggak pernah berubah sama lu. Lu yang harus sama gu-"
Sigit menonjok rahang Ali kuat hingga pria itu tersungkur mencium tanah dan merintih pelan merasakan nyeri yang menjalar di wajahnya. Untung keadaan di sekitar lapangan sedang sepi, sudah tak ada domba atau anak-anak yang main bola di sana. Jadi Sigit bisa tenang jika perkelahiannya terus berlanjut. Sedari tadi dia sudah menahan diri untuk tidak menghajar Ali yang sudah berani-beraninya bertindak kurang ajar pada calon istrinya. Ah, sejak delapan yang tahun lalu, Sigit sudah ingin menghajar Ali agar anak ini sadar.
"Ketika kalimat udah nggak bisa nyadarin kamu, kurasa ini adalah pilihan yang terbaik."
Ali bangkit dan melayangkan tangannya lagi. Namun, sial, postur tubuhnya yang jauh lebih kecil dari Sigit benar-benar merugikannya karena biarpun Sigit bertubuh besar, ia tak lamban. Gerakannya pun terlihat terlatih kala memiting dan mendorong Ali kembali ke tanah. Kejadian itu terus berulang sampai Ali lelah sendiri dan menangis. Betapa menyedihkannya Ali ini, benar-benar terbuang ke tanah. Tak berharga. Orang tuanya pun bahkan tak mau merawatnya, bagaimana mungkin Ali mengharapkan orang lain?
"Udah waktunya solat. Kita ke mushola, baru abis itu ke rumah Swara. Kita tanya, dia mau nikah sama aku apa nggak. Kalau emang bener dia terpaksa, bakal aku lepas dia. Tapi jangan maksa dia buat sama kamu. Kalau dia emang mau sama kamu, terserah kalian. Aku bakal percaya sama keputusan Swara," tukas Sigit sebelum membantu Ali bangkit dan masuk ke dalam mobilnya lantas pergi ke mushola.
***
Ali yang entah sudah berapa belas tahun lupa pada Tuhan, akhirnya kembali lagi dengan satu permintaan agar urusan asmaranya kali ini lancar sehingga urusan lain dalam hidupnya pun jadi benar kembali.
Sigit dengan kewarasan penuh berani mempertaruhkan segala persiapan pernikahannya yang sudah tinggal seminggu lagi untuk mempertanyakan keseriusan dari calon istrinya, Swara. Ia bahkan menyodori sebuah tawaran bagi gadis itu untuk memilih ikut bersama orang yang menurutnya kurang tepat dari segi sifat, tapi sangat bernilai dari segi harta yang biasanya begitu didamba oleh wanita.
Meski Swara terkejut dengan kedatangan mereka berdua, Swara tetap menjamu mereka selayaknya tamu. Ia lihat luka lebam dan goresan di wajah Ali telah ditutup dengan plester bergambar dinosaurus.
"Kenapa, Mas, belom pulang?"
Hati Ali bagai diremas karena nada halus masih dikeluarkan Swara kala bicara dengannya.
Mereka kini berada di emperan rumah Swara yang redup karena hanya diterangi lampu neon 5 watt. Duduk di kursi panjang dengan jarak satu setengah meter, Ali memberanikan diri menatap Swara yang sudah tenang. Sesekali gadis itu melirik Sigit yang berdiri bersandar pada tiang rumahnya. Tangan pria itu terlipat di depan dada dengan rapi. Matanya awas menatap Ali, tapi tak pernah luput untuk membalas lirikan Swara.
Ainun yang diminta Sigit untuk meninggalkan mereka pun menurut. Bersama anak-anaknya dia memilih menonton televisi dengan volume rendah. Siapa tahu bisa menguping sedikit sebelum menginterogasi adiknya nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKAD
Romance[SUDAH DIREVISI] Menikah muda sungguh bukan suatu hal yang pernah ia bayangkan dan akan ia lakukan. Swara hanya ingin menuntut ilmu setinggi mungkin dan menjadi orang yang sukses untuk mengangkat derajat keluarganya dengan menggunakan tangannya send...