AKAD || Ketiga

5.2K 489 8
                                    

Swara yakin dirinya bukan anak durhaka. Menentang perintah ibu untuk menikah dengan lelaki yang 'tidak dikenal' dengan baik, bukanlah sebuah tindakan menyimpang. Meski kedua kakak plus iparnya, menyetujui keputusan ibu, tapi Swara berkeras kembali ke Depok untuk melanjutkan kuliah. Swara tidak mau kemerdekaan bagi wanita untuk menuntut ilmu yang diperjuangkan oleh Ibu Kartini terenggut darinya karena hutang budi. Lagipula Swara ingin sukses juga karena dia ingin keluarganya menjadi lebih baik dan dia tidak meminta uang sepeserpun dari mereka untuk mewujudkan mimpinya. Ia masuk ke jurusan Ekonomi di universitas bergengsi dan mengajukan beasiswa sendiri.

Sebelum itu, Swara juga mendatangi keluarga Sigit dan mengatakan akan melunasi hutang yang tidak dianggap oleh mereka, tapi dipikir dengan berat oleh keluarganya. Meski begitu, Swara tahu ia juga tidak boleh menggampangkan kebaikan keluarga Sigit, makanya dia juga berjanji akan membalas kebaikan mereka dan berterima kasih banyak karena mau membantu keluarganya. Swara juga memaksa, kutekankan sekali lagi, dia memaksa kakak-kakaknya untuk lebih peduli pada orang tua mereka yang sudah tua dan Swara pun--meski jauh--juga akan membantu semampunya.

"Oy, ngalamun mulu. Ntar ada setan naksir ama lo, baru tahu rasa!"

Swara tersenyum lembut pada Freya yang tengah memasuki kelas kosong yang kini dipakainya untuk beristirahat sebentar. Entah bagaimana caranya orang ini selalu berhasil menemukan Swara yang sedang menyendiri. Sebulan lebih sudah berlalu sejak Swara kembali dari Solo dan kebiasaannya kini jadi suka menyendiri di tempat-tempat sepi. Ia selalu melamunkan tangisan ibu waktu itu dan pertengkarannya dengan Juwaidi.

Freya paham jika Swara sedang ada masalah. Pernah sekali dia memancing Swara untuk bercerita, tapi kalau dia tidak mau, ya, sudah. Freya bisa menerima batasan itu. Apalagi dia hanyalah seorang teman. Freya paham sekali posisinya. Ia juga menganut paham kalau sahabat itu tidak harus tahu semua masalah kita, karena terkadang beberapa hal memang harus diprivat untuk diri sendiri. Sahabat adalah seseorang yang selalu ada di sisi kita ketika dibutuhkan, bukan pengorek informasi.

Freya duduk di bangku yang tepat berada di depan Swara. Ia bertompang dagu, meneliti wajah Swara yang terlihat loyo dan lemas.

"Swara-ku kenapa, ya?"

Senyum tipis Swara tersungging. Ia akui keberadaan Freya memang sedikit memperbaiki perasaannya.

"Lo masih ada kelas lagi nggak hari ini?"

Swara mengangguk. "Tapi masih nanti sore."

"Wah, bagus! Ke kontrakan gue, yuk. Anak-anak pada mau ngerujak mangga." Melihat Swara berpikir, ia menambahkan, "Udah, ntar gue yang antar jemput lo. Bonus, nanti malem gue anter lo ke restoran plus jemput juga. Gratis! Lagi bahagia, nih, kuis gue lancar."

"Tapi aku kan nggak kenal temen-temenmu di sana, Ya."

"Alah, santai aja. Mereka asik-asik, kok, apalagi kalau sama cewek cakep kayak lo. Auto jadi baik hati semua."

"Apaan, sih, kamu."

Freya tergelak melihat Swara yang salah tingkah dan mulai tersenyum lebar dengan sorot mata yang mulai hidup lagi. Ia selalu suka semu merah muda yang muncul di telinga Swara tiap kali dipuji cantik.

***

Memang benar kata Freya bahwa teman-teman di kontrakannya begitu menyenangkan. Swara yang merupakan orang baru bahkan diperlakukan dengan spesial, bukannya dikucilkan. Yah, wajar, sih, karena separuh dari mereka adalah lelaki. Berkumpulnya Swara bersama teman kontrakan Freya membuta wanita itu resmi berkenalan dengan Ali yang ternyata adalah mahasiswa Metalurgi dan Material yang sedang dalam masa skripsi.

Ketika irisan buah mangga di baskom tinggal beberapa biji saja, delapan orang yang kini duduk di bawah pohon mangga dengan beralaskan tikar mulai berleha-leha. Matahari tidak begitu terik, sehingga membuat suasananya menjadi begitu enak untuk tidur.

AKADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang