AKAD || Pindah

6.8K 422 25
                                    

Memang kecil, tapi ini indah. Semua berkat Swara dan tangan ajaibnya.

Swara dan Sigit sudah pindah ke rumah kontrakan di Depok dan benar-benar dekat dengan kampus Swara. Paling hanya sepuluh menit berjalan kaki. Mereka baru seminggu di sana, tapi rumah kecil dengan halaman yang cuma sepetak itu, kini menjadi berubah seperti rumah Barbie. Saking warna-warninya.

Cat tembok berwarna cerah ceria dipilih Swara dan tentu saja Sigit yang mengerjakan sendiri acara mengecat. Karena kuliah Swara belum mulai, dia juga membantu mendekor rumah serta mencari berbagai referensi lewat internet tentang desain interior rumah. Desi pun sudah mampir dua kali untuk membantu. Mereka bahkan sudah berencana membeli bunga-bunga untuk ditaruh di halaman.

Sehabis mengantar kepulangan Desi, Swara dan Sigit berjalan berdua sambil berpegangan tangan. Karena rumah mereka masuk ke dalam gang kecil, mobil Desi harus diparkir di halaman tetangga yang lebih luas dan dekat dengan jalan yang masih bisa dilewati mobil.

“Ra?”

“Uhm?”

“Ra ...?”

“Apa, sih?” Swara merengut kesal dan menarik Sigit untuk berjalan lebih cepat. “Aku dulu yang mandi nanti.”

“Berdua juga nggak pa-pa, ‘kan?”

“Emang muat?”

Untung gang sedang sepi, jadi mereka tidak perlu menanggung malu karena bicara hal ambigu di jalan.

“Ehh, aku udah turun lima kilo, lho.”

“Masalahnya kamar mandinya yang kecil, Mas. Ayok, cepetan kenapa, sih? Udah gerah banget ini.”

Mendengar omelan Swara, bukannya simpati, Sigit malah tersenyum lebar. Melepas pegangan Swara di tangan, Sigit beralih merangkul bahu Swara. Mengelus kepala wanita itu yang kini telah dibalut kerudung berwarna coklat. Pria itu mengecup puncak kepala Swara untuk bisa menghirup aroma pewangi yang sama dengan bajunya.

Pewangi pakaian yang dipakai Swara serasa candu bagi Sigit. Ingin rasanya dia merekomendasikan pewangi itu ke semua orang karena harumnya tahan lama, tapi ... ada sisi lain dari Sigit yang membuatnya ingin membeli merk pewangi pakaian tersebut untuk ia pakai sendiri. Berdua saja dengan Swara tentunya. Mimpi yang konyol. Dapat duit dari mana juga Sigit bisa membeli merk pewangi pakaian.

Tapi masih ada yang konyol lagi ....

“Ra, kalau gini, aku jadi nggak bisa beli mobil, dong.”

“Ck, baru juga dimulai usahanya, udah gegabah aja.”

“Bukan itu masalahnya, tapi kita nggak punya tempat dan nggak ada jalannya juga. Masa parkir di rumah Pak Ali terus.”

Mendengar nama itu sekali lagi dari mulut Sigit, Swara menghetikan langkahnya. Mau tidak mau, Sigit ikt berhenti. “Kenapa?”

“Kira-kira kabar Mas Ali gimana, ya, Mas?”

Tangan Sigit yang masih merangkul bahu Swara menegang. Setelah perpisahan mereka dengan Ali waktu itu, Swara tidak pernah bertanya lagi soal Ali. Tentang masa lalu bagaimana Sigit mengenal Ali pun, Swara tak pernah bertanya. Lantas kenapa sekarang dia penasaran tentang kabarnya anak itu?

“Kenapa?”

“Apanya yang kenapa?” tanya Swara tak paham. Dia sudah menarik Sigit untuk berjalan lagi.

“Kenapa nanyain kabar dia?”

“Nngg, nggak pa-pa, sih. Nanya aja. Dia beneran udah nggak ngubungin Mas lagi?”

“Dia nggak pernah hubungin aku dari dulu. Harusnya aku yang nanya ke kamu, Ra. Dia masih suka godain kamu nggak?”

Swara mendesis kesal. Ia lepas rengkuhan Sigit dan berjalan cepat meninggalkan pria itu sendirian di halaman rumah. Pintu kini di depan mata dan Swara sudah tidak betah dengan bekas keringat yang menempel ditubuhnya. Untuk apa pula Swara membuang waktu untuk berdebat dengan Sigit.

“Ra!” Bukannya menyusul, Sigit malah memanggil Swara dengan teriakan. Pria itu masih berdiri di halaman. Pamer senyum.

Yang sabarlah jika jadi istri. Begitulah sugesti Swara tiap kali harus menghadapi kehidupan pernikahannya. Wanita itu pun menoleh, tapi tak beranjak dari tempatnya yang sudah berada di dalam rumah. Mulutnya mengeja kata ‘kenapa’ tanpa suara.

“Aku cinta sama kamu karena kamu adalah istriku, ingat itu.” Sigit mengakhiri kalimatnya dengan senyuman. Dan akan selalu seperti itu.

Swara hanya mengangguk sambil mengulum senyum. Sudah berkali-kali Sigit bilang begitu. Dari awal pria itu sudah memberi tahu Swara soal prinsipnya tentang cinta. Siapa pun itu, dari mana, dan bagaimana sosoknya, Sigit hanya akan mencintai wanita yang sudah menjadi istrinya. Dan Swara memutuskan untuk melakukan hal yang sama.

Masa depan Swara bukan hanya tentang kariernya sendiri lagi sekarang. Tapi karier rumah tangganya bersama Sigit nanti. Entah bagaimana, tapi yang pasti Swara bakal berjuang untuk menjadi yang terbaik.

[.]

AKADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang