AKAD || Kesembilan

3.6K 398 24
                                    

Sigit langsung menoleh pada Swara. Ali yang selalu mengikuti semua gerak-gerik Sigit akhirnya ikut menoleh pada gadis itu. Mata mereka bertemu. Kilatan perbuatannya dan tapapan jijik Swara muncul lagi di pikiran Ali, tapi gadis itu meski bingung dengan pertanyaan Sigit, masih sempat melempar senyum biarpun dipaksakan kepadanya.

Sekarang Ali tidak tahu, harus senang karena bertemu lagi dengan Sigit atau malu karena berjumpa lagi dengan Swara yang hampir ia perkosa.

Sebenarnya Ali kecewa karena setelah delapan tahun berpisah, bukannya menyapa dirinya, Sigit malah berpaling pada wanita lain.

Berbeda dengan Ali yang terkejut karena bisa bertemu lagi dengan dirinya, Sigit terkejut karena seorang Ali hendak memperkosa seorang wanita! Wanita! Sigit juga berdilema. Mau senang karena ternyata Ali sudah tobat—eh, bukan tobat, tapi sudah masuk ke jalur yang seharusnya sebagai pria untuk tertarik pada wanita—atau mau marah karena wanita yang mau dicelakakannya adalah calon istrinya. Atau sial karena harus bertemu lagi dengan Ali?

Ya, Ali itu gay.

"Mas kenal sama Mas Ali?" pertanyaan Swara menyadarkan Sigit dari keterkejutannya.

Pria itu mengerjap karena bingung sendiri dengan kebingungan semua orang karena dibuat bingung oleh dirinya yang sedang bingung.

Akhirnya Sigit memilih untuk menyuruh Swara duduk. Baru setelah itu penjelasan normal ia utarakan pada semua orang.

Sigit mengenal Ali saat dirinya tinggal di rumah teman ayahnya yang ada di Magelang semasa kuliah. Ali juga tinggal di sana sejak masuk SMA karena dia adalah keponakan si pemilik rumah yang baik hati. Jadi mereka pernah tinggal bersama selama tiga tahun, sebelum Sigit memutuskan untuk tinggal di kos-kosan.

Selebihnya hanya Tuhan kemudian Sigit dan Ali yang tahu. Sigit tak mau mengingatnya lagi dan Ali terlihat bungkam saja meski matanya begitu tajam menghujam Sigit.

Pikir semua orang, urat malu Ali sudah putus. Tidak waras. Habis berbuat bejat, masih bisa begitu tenangnya duduk di depan korban.

Swara juga menjelaskan masalah yang ada dengan gamblang, bahwa ia memang mengenal Ali dengan cukup baik, memastikan pria itu baik, dan hanya sedang khilaf saja karena mau ditinggal kawin dan cintanya ditolak.

Setelah meminta maaf dengan kaku pada Swara dan disaksikan oleh semua orang, Ali akhirnya dibiarkan pulang. Kalau menurut pertimbangan Pak RT, sih, Ali itu tidak waras makanya dibebaskan. Soalnya percuma juga kalo berurusan sama orang gila yang berduit.

Mereka bertiga berjalan beriringan di belakang para tetua yang melangkah dengan cepat karena hari sudah sore. Mereka ditunggu oleh istri-istri mereka. Sedangkan Swara, Sigit, dan Ali, mereka hanyalah anak muda dengan kecamuk pikiran yang tak menentu.

Dan mungkin Ali memang benar-benar gila, karena sehabis pulang dari rumah Pak RT, bukannya bicara dengan Swara atau setidaknya minta maaf lagi yang lebih tulus, lah, biar manusiawi, tapi dia malah diam seribu bahasa karena Sigit pun tak mengajaknya bicara.

Sehabis melepas Swara kepada kakaknya, Ali malah mengajak Sigit bicara berdua yang diterima oleh pria itu dengan setengah hati.

Mau apa lagi anak ini? Batin Sigit gemas ingin minggat, tapi tak enak.

***

Ali yang sejak kecil selalu dioper kesana-kemari karena orang tuanya sibuk membangun berbagai bisnis membuat ia tidak pernah memiliki teman dekat. Baru setelah masuk ke jenjang SMA, dia ditampung oleh pamannya yang paling baik hati daripada yang lainnya di Magelang. Di sana dia bertemu dengan Sigit. Sosok teman baru yang berkesan karena kebaikannya, kakak yang perhatian, dan lelaki yang menawan dengan segela kelebihannya terutama berat badan.

AKADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang