AKAD || Ketujuh

3.6K 413 15
                                    

Pada tanggal 17 Agustus, desa mereka mengadakan lomba-lomba untuk memperingati hari Kemerdekaan Indonesia yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan dan masih mereka pertahankan hingga sekarang. Pagi harinya akan ada acara pengibaran bendera merah putih, meskipun tidak formal. Para warga hanya berkumpul di lapangan, dengan menggunakan tiang seadanya sambil mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya, bendera merah putih dikibarkan.

Di sela-sela kepadatan warga, biarpun berdiri di bagian paling belakang yang lenggang, tapi Sigit tetap terlihat paling mencolok. Suaranya yang berat dan serak begitu lantang menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya  meski dengan nada sumbang. Swara yang berdiri di sisinya hanya bisa mengurut dada berulang kali karena menahan malu. Pasalnya anak-anak di sekitar memandangi mereka dengan menahan tawa sambil berbisik-bisik.  Betapa tidak tahu malunya seorang Sigit.

Acara dilanjutkan dengan lomba bagi anak-anak seperti makan kerupuk, mengambil koin yang ditanam dalam buah melon yang dilapisi kecap, balap karung, dan masih banyak lagi.

Sehabis istirahat solat Dzuhur, Swara dan Sigit duduk di bawah pohon trembesi sambil menikmati es grosok.

"Mau cilok, nggak, Ra?"

"Boleh."

Swara menunggu sambil menggenggam lengan jaket Sigit yang ia duduki sebagai alas. Memainkannya guna mengalihkan kesepian yang merambat kala ditinggal Sigit.

Semalam Ali bilang akan datang besok. Meski sudah Swara larang, tapi sepertinya pria itu berkeras. Haruskah Swara bilang ini ke Sigit? Bilang apa? Bilang kalau akan ada pria yang datang melamarnya begitu?

Goblok namanya kalau dia bilang begitu. Tapi tawaran Ali benar-benar menggoda. Membuat Swara susah tidur dan ingin berontak lagi, tapi Sigit sudah samgat baik pada keluarganya.

"Nih." Sigit menyerahkan sebuah kantong plastik yang penuh dengan bulatan cilok yang disiram dengan saus kacang.

"Kok, cuma satu?"

"Biar bisa suap-suapan, Ra."

Swara memasang tampang kaget ingin muntah yang membuat Sigit terbahak-bahak melihatnya. Namun, pada akhirnya mereka tetap makan bersama.

Setelah waktu istirahat habis, warga kembali berkumpul. Seorang pemuda yang lewat di dekat mereka memanggil Sigit.

"Ayo, siap-siap, Git."

Sigit menggeleng. "Aku absen dulu."

Sarto terlihat terkejut mendengar Sigit tidak mau ikut. "Terus yang paling bawah nanti siapa kalo kamu nggak ikut, Git? Itu ada rice cooker buat calon istrimu nanti."

"Alah, enakan kalo diliwet, To."

"Yakali, udah modern gini istri lu masih suruh nanak nasi di kompor."

"Loh, emangnya salah?"

"Ah, sesukamu, Git." Sarto keburu merajuk karena kalau Sigit tidak ikut, kemungkinan susah sekali untuk menaklukkan permainan panjat pinang kali ini.

"Salah, Mas." Swara yang menjawab. "Aku nggak mau, ya, nanak nasi tiap hari."

"Terus kamu mau ngapain?"

"Yah, ngapain aja, tapi nggak setiap hari nongkrong di rumah. Kerja?" Swara sebenarnya agak-agak takut mau bilang ini. Takutnya Sigit melarang dan dia tidak bisa berkutik untuk membantah.

Kenapa? Karena sepertinya Swara tidak bisa menerapkan sistem suami takut istri pada Sigit. Selain karena pribadi Sigit yang lebih mendominasi dalam hubungan singkat mereka, juga karena body Sigit yang memiliki ukuran super. Salah-salah nanti malah Swara digencet, bukan cuma hilang kebebasan untuk bekerja, tapi juga nyawa.

AKADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang