Setelah mendapat kabar bahwa ayahnya masuk rumah sakit, Swara segera meminta izin kepada pihak kampus dan pulang pada keesokan harinya dengan jadwal keberangkatan kereta pertama menuju Solo.
Tiba di Stasiun Balapan pada sore hari, ia pun hanya naik ojek online untuk sampai ke rumah yang cukup jauh dari sana. Tidak ada yang menjemput Swara apalagi menyambut. Sampai di depan rumah pun, Swara masih belum dapat menjupai salah seorang saja dari keluarganya karena mereka semua berkumpul di rumah sakit. Swara akan menyusul nanti setelah ia mandi.
"Goblok!" desisnya sambil melemparkan ransel ke atas kursi kayu yang berada di teras rumah, disusul dengan bokong yang telah kebas karena terlalu lama duduk di kereta.
Rumah Swara terkunci dan dia tidak memiliki kunci cadangan sama sekali. Ia pun sudah mencari kunci yang biasanya berada di bawah pot bunga di samping pintu, tapi tak ada.
Diamatinya keadaan sekitar rumah yang belum ada setahun ia tinggal. Tidak banyak yang berubah, kecuali jalan yang telah direnofasi. Ia segera pulang karena mendapat kabar bahwa darah tinggi ayahnya kumat, beliau malah jatuh di dapur dan sekarang separuh tubuhnya lumpuh. Entah untuk sementara atau selamanya, Swara belum tahu pasti. Yang jelas sekarang pikiran Swara kalut bukan main. Berbagai prasangka buruk tentang apa yang akan terjadi pada sang ayah mulai memenuhi kepala Swara.
Menggelengkan kepala beberapa kali, Swara mencoba untuk tenang. Ya, semua pasti akan baik-baik saja. Lagipula ayahnya baru berusia lima puluhan, jadi beliau pasti akan sembuh. Beliau harus melihat Swara sukses dengan tangannya sendiri. Harus!
Swara putuskan untuk menghubungi Juwaidi, kakak pertamanya untuk menjemput di rumah. Namun, saat dia masih terlibat dalam percakapan singkat itu, sebuah motor Honda CB jadul berbelok menuju pekarangan rumahnya. Yang lucu adalah motor tersebut terlihat kecil sekali kala dinaiki oleh sesosok pria besar dengan kaos abu-abu. Swara sedikit geli dan was-was, bagaimana jika ban motor tersebut meletus atau malah badan motornya yang patah.
"Jangan lama-lama, lho, Mas." Swara masih bicara dengan Juwaidi saat dilihatnya pria besar itu benar-benar berhenti di depan rumahnya. Senyum pria itu melebar kala bertemu pandang dengan Swara. "Sudah dulu, ada tamu, nih." Sambungan telepon terputus.
Saat pria itu mendekat, barulah Swara menangakap lesung pipit di kedua pipinya. Wajah persegi dengan proporsi yang pas membuatnya telihat atraktif meskipun berkulit gelap. Keramahan terpancar begitu jelas dari matanya, jadi Swara tak sungkan membagi senyumnya.
"Nyari siapa, Mas?"
Pria itu menggeleng lemah. "Nggak. Ini Iswara, 'kan, ya?"
Swara sedikit bingung. Pria ini tahu siapa namanya, tapi Swara tidak mengenalinya. Jadi Swara cuma mengangguk samar. Tatapannya menjadi lebih tajam guna meneliti pria yang berdiri begitu gagah di depannya ini.
Tak ragu, pria itu kini malah mengulurkan tangan pada Swara. "Aku Sigit, temennya mbakmu, Ainun."
Mulut Swara membulat. Disambutlah tangan Sigit yang terasa begitu besar dan kasar kala menggenggam tangannya. Ia ingat siapa Sigit. Dia memang teman SD kakak keduanya. Mereka satu desa, tapi Sigit itu anak pemilik perkebunan tebu yang katanya amat sangat banyak. Ayah Swara pun pernah bekerja pada keluarga Sigit sebagai supir truk.
"Sudah gedhe ya kamu, Ra."
Swara hanya meringis menanggapi kalimat Sigit yang sudah macam orang tua. Padahal dia baru berusia 28 tahun. Selisih delapan tahun saja darinya.
"Ada perlu apa, Mas?"
"Tadi aku abis dari rumah Pak RT. Terus lewat sini, kok, kulihat ada orang, nih, siapa? Kan Pak Wayat lagi dirawat. Oh ... ternyata Swara."
KAMU SEDANG MEMBACA
AKAD
Romance[SUDAH DIREVISI] Menikah muda sungguh bukan suatu hal yang pernah ia bayangkan dan akan ia lakukan. Swara hanya ingin menuntut ilmu setinggi mungkin dan menjadi orang yang sukses untuk mengangkat derajat keluarganya dengan menggunakan tangannya send...