AKAD || Diet

3.3K 340 1
                                    

Lagi-lagi Swara menghela napas di dalam kehidupan pernikahnnya. Hidup itu berat, macam badan Sigit. Swara sangat tahu seberapa beratnya seorang Sigit.

Tapi bukan berarti dia tidak bahagia. Bukan begitu. Hanya saja ....

Sigit meraih buah jerut terakhir di piring. Mengupasnya dengan cepat tanpa harus melihat. Matanya sibuk membalas tatapan pasrah Swara sambil pamer senyum berlesung pipit.

“Berapa banyak jeruk yang bakal Mas beli kalau kita punya enam anak nanti? Satu kilo, lho, Mas abisin sendiri.”

“Lah, yang ditanganmu apa, Ra?”

Swara melirik jeruknya yang masih setengah bergantian dengan Sigit yang mulai mengunyah lagi. Siang ini memang sedang panas, jadi makan buah segar memang sangat enak. Bukannya Swara mau perhitungan, toh, yang membeli makanan itu juga Sigit.

“Mas nggak ada niatan kurus?” Akhirnya setelah menahan diri selama empat bulan terakhir, Swara berhasil melontarkan pertanyaan tersebut.

Seolah sudah biasa mendengar pertanyaan tersebut, Sigit masih meneruskan makannya. Tapi, dia tidak menjawab. Dia malah balik bertanya, “Nggak suka Mas yang begini, Ra?”

“Bukannya nggak suka, Mas. Cuma ....”

“Nggak malu, ‘kan? Bentar lagi kita pindah ke Depok.” Sigit menjeda ucapannya untuk menghabiskan jeruk. Senyum lagi-lagi terbit saat wajah Swara berubah cemas. “Kalau kamu malu, Mas janji nanti bakal kurus.”

“Ahhh.” Swara mengeluh manja. Sebenarnya hatinya teriris mendengar kalimat Sigit, tapi sebisa mengkin dia menampilkan senyum untuk mengimbangi Sigit. Pria itu kadang susah ditebak. “Aku suka Mas, kok. Nggak malu sama sekali. Aku kan cuma nanya. Kalau Mas mau gini terus, ya, terserah, Mas. Tapi sesuatu yang berlebihan kan nggak baik juga—“

“Termasuk berat badan. Oke, Mas paham,” potong Sigit.

Lagi-lagi Swara mengeluh. Kali ini lebih dengan nada frustasi. “Nanti kalau penyakit pada mampir ke tubuh Mas gimana? Itu maksud Swara.” nada bicara Swara naik setengah oktaf.

“Astaghfirullah, Ra. Kamu doain Mas dikunjungi para penyakit gitu? Tega banget.”

Melihat Sigit memegang dada sambil menahan tawa, Swara melengos. “Bodo!” Lebih baik nonton televisi saja, biarpun sama-sama tidak bermutunya dengan mengobrol bersama Sigit dalam mode emosin on.

Sigit cuma geleng-geleng kepala dan membereskan kulit jeruk ke dalam kantong kresek. Setelah membuangnya ke tempat sampah, Sigit kembali. Ia memilih duduk di sisi Swara.

“Marah?” tanyanya tepat di telinga Swara.

Swara hanya bergidik kesal tanpa menjawab.

“Coba pinjem tangan kananmu, Ra.”

Awalnya Swara mau bersikeras diam, tapi karena Sigit tak kujung berhenti memandanginya dalam jarak dekat, akhirnya Swara menyerah. Wanita itu menyodorkan tangannya ke depan Sigit yang langsung digenggam dengan riang oleh suaminya.

“Maaf, ya, Ra. Abis ini, Mas bakal berusaha kurus, deh.”

“Nggak harus kurus, tapi coba jaga pola makan, Mas. Aku udah nyoba buat jaga makanan Mas, tapi kalau di pasar Mas jajan terus, aku bisa apa. Ini”—Swara menepuk keras perut Sigit yang dibalut kaos abu-abu—“udah keterlaluan dan ganjel tahu.”

Sigit tertawa geli. “Ganjel apa, Ra?’

“Ya, pokoknya ini mengganggu!”

“Kalau dipeluk jadinya kurat eret?”

“Tuh, tahu!”

Dan Sigit langsung meledakkan tawanya. Meski masih merasa jengkel, Swara memilih ikut tersenyum. Lagi pula untuk apa lama-lama bertengkar dan memupuk emosi dalam bentuk apa pun, jika mencoba saling tertawa bersama justru terasa lebih menyenangkan.

[.]

AKADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang