AKAD || Keempat

4.7K 460 7
                                    

Swara telah berhenti bekerja sebagai tukang cuci piring!

Itulah kalimat pertama yang muncul di kepala wanita itu saat menerima gaji pertamanya sebagai pekerja lepas di kantor konsultan properti milik teman Ali. Meski gajinya dibayar bulanan, tapi jelas ini lebih menguntungkan bagi Swara. Selain dari segi materi, ia juga bisa belajar memahami dunia yang akan ia geluti nanti. Dan semua ini tentu saja berkat Ali.

Maka dari itu Swara akan mentraktir makanan enak untuk Ali. Mereka telah janjian di sebuah mall untuk makan siang bersama. Swara dengan dress batik yang ia beli di pasar Klewer, berjalan dengan anggun—di mata Ali saja, sih. Aslinya Swara berjalan seperti biasanya—menghampiri Ali yang sudah menunggu di sebuah kafe. Rambut Swara yang panjang diikat tinggi-tinggi dengan rapi. Wajahnya bersih berseri, hanya beberapa helai rambut saja yang menghiasi dahinya.

Dari waktu ke waktu, perasaan kagum Ali pada Swara semakin menjadi-jadi hingga kadang membuatnya lupa untuk bernapas. Semakin mengenal Swara, Ali merasa wanita seperti Swara, lah, yang ia cari. Berpikiran luas, pekerja keras, dan memiliki sifat malu-malu yang bikin gemas.

"Udah lama nunggunya, Mas? Maaf, yho. Tadi susah banget dapet driver-nya." Swara menghempaskan diri ke atas kursi yang sudah dipesan oleh Ali.

"Kukira batal traktir karena terlalu sayang sama duitnya." Ali tahu kalau Swara begitu hati-hati dalam menggunakan uang. Jadi sewaktu Swara mengajaknya untuk makan enak, ia sempat menolak. Namun, terus-terusan dipaksa akhirnya ia mau saja dan minta makan di mall. Tidak mungkin juga dia mau minta makan di restoran mahal, biarpun nantinya bisa saja ia yang membayar tagihan, tapi Swara itu lebih keras kepala dari pada dirinya. Tidak pernah mau kalah!

Tapi kalau parasnya dipuja-puja, dia berubah menjadi putri malu. Disenggol sedikit langsung mengerut. "Mending duitnya buat beli baju yang lebih zaman now, Ra. Yakin, kalau kamu mau dandan kayak anak-anak cewek di kampus, lu bakal bisa juga jadi idola. Pilih pacar tajir, terus porotin." Ali semakin bersemangat menggoda Swara yang telinganya sudah seperti kepiting rebus. Terlihat sedap untuk digigit!

Ugh, sialan! Ali memaki pikirannya.

"Tapi jangan, ding. Ntar yang suka sama lu jadi makin banyak, saingan gue nambah, deh. Biarin gue aja yang bisa lihat kecantikan lu pakai batik begini. Ah, harusnya tadi gue juga pake batik, ya, biar dikira orang suami istri abis kondangan."

"Mas Ali!" Swara memekik tanpa penyesalan biarpun jadi perhatian banyak orang. Ditambah reaksi tergelak tak tahu adab dari Ali, makin menonjol lah mereka berdua di kafe yang ramai.

Kalau Swara mau memakai jalan pintas seperti ucapan Ali tadi, pasti sekarang dia sudah jadi istri orang kaya. Tidak perlu kuliah. Tidak perlu kerja. Asal setia di rumah, debit uang akan mengalir terus dengan teratur. Yah, soalnya suaminya Sigit. Swara bergidik dengan pikiran tersebut.

"Udah jam dua, nih. Lu udah makan belom?"

Swara meringis. "Udah, sebelum masuk kelas tadi."

"Ya, udah. Traktirannya ganti makan malem aja, sekarang di sini aja dulu. Ngadem. Gue yang traktir!"

Memang Swara sudah tidak punya kelas lagi hari ini dan pekerjaannya pun tidak harus selalu di kantor, tapi ..., "Mau ngapain lima jam di sini, Mas?"

"Yah, ngapain gitu. Nonton, jalan-jalan, ngobrol doang juga nggak masalah. Refresh pikiran, lah. Pikiran gue masih panas abis rampungin skripsi, nih."

"Waahh. Udahan skripsinya, Mas? Tinggal wisuda, nho?" Kebingungan Swara menguap kala mendapatkan topik bagus.

Ali membenarkan letak kerah kaosnya dengan bangga. "Iya, lah. Besok dateng bawa bunga! Awas, nggak dateng."

AKADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang