Kecewa (5)

1.1K 28 3
                                    

*sambungan cerita dari chapter berjudul "4"

Aku hanya dapat kecewa, Ia mengkhianatiku. Bukan sesosok manusia yang aku maksud. Namun sang mimpi dan segala bualannya. Ragaku terkoyak, jiwaku melonjak ketakutan. Hatiku ingin berteriak, namun ia bukanlah mulut yang dengan mudah mengucap. Pikiranku ingin melukiskan dunia, namun ia bukanlah tangan sang imaji.

Aku kecewa atas dirinya-sang mimpi, aku kecewa atas hidup.

Hari ini, akan aku akhiri semuanya.
Untuk kalian, di bagian dunia manapun kalian, di batas waktu manapun kalian, sedang apapun kalian, aku ucapkan terimakasih. Semoga realitas ingin bekerja sama dengan mimpimu.

Tanpa kalian aku taakan hidup. Karna hidup bagaikan sebuah rantai yang saling mendukung. Terimakasih nenek moyangku yang telah berjuang hingga aku hidup. Terimakasih kepada para bintang atas debu dan zat dalam tubuhku. Terimakasih atas kepakan sayap sang kupu - kupu yang menimbulkan bencana.

Maafkan aku.

TAAKAN LAMA LAGI, DIA AKAN MATI.

Sebelum pergi menuju danau, ia menghampiri toko buku kesayangannya. Penjaga toko itu satu-satunya manusia yang peduli. Toko itu terletak di perempatan dua blok dari rumahnya. Saat itu sore yang tenang. Tiap manusia yang ia lewati, mungkin objek yang taakan ia lupakan-jika kematian masih mengijinkan ingatan dunia berfungsi.

Ia melihat segalanya lebih luas di tiga puluh menit akhir hidupnya. Anjing menggonggong tepat di depannya, seorang pria berjalan cepat hendak pulang, bayi kembar yang merengek dan tertawa didepan ayahnya, seorang ayah yang menggandeng anak berumur empat tahun. Seorang ibu yang menyiram tanaman. Hembusan angin yang damai. Suara daun dari pohon saling bergesekan. Langkah kaki, dan bunyi lonceng bel ketika ia membuka pintu toko.

Life-nama toko buku itu. Sang pemilik toko buku merupakan orang yang taat akan agama, menghargai hidup dan senang berbagi ilmu. Seorang wanita berumur lima puluh tahun sedang membaca koran.

"bernadet, apakah disini ada buku kehidupan?"

"maksudmu biologi?"

"ah tidak, lupakan. Aku hanya ingin membeli beberapa komik." Alex pergi menuju rak komik

"tunggu, apa yang terjadi? Bagaimana kabar ibumu?"

"seperti biasa. Diam, marah, tak pernah menatapku." jawab Alex dengan nada malas

"kuharap kau tetap berniat untuk hidup."

"mungkin."

Alex menaruh komik itu pada rak dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Bernadet hanya melihat remaja itu berlari keluar. Anak yang malang, batinnya.

Alex tinggal hanya dengan ibunya yang tak waras. Ibunya menjadi gila setelah mengetahui suaminya selingkuh dengan temannya sendiri. Tiap hari ibunya hanya berteriak dan tertawa seakan ia berbicara pada suaminya. Tak ada rumah sakit jiwa di kota kecil itu. Mereka hanya berbisik dan menyebar gosip, tak ada yang membantu. Pernah suatu hari bernadet menjenguk ibu alex. Namun bernadet malah mendapat tamparan yang keras dari ibu Alex. Bernadetpun tak berani kesana lagi sejak saat itu.

Alex berlari semakin kencang,tiap tapakan kaki dan hembusan nafas menyimbolkan rasa syukurnya karena dapat hidup dalam enam belas tahun. Ia sudah sangat bersyukur. Kini, ia ingin kembali ke sisi nenek moyangnya. Bercerita tentang perilaku sang ayah dan mimpi - mimpi yang dialaminya. Sejenak Alex berhenti. Ia teringat akan gug. Seorang bocah yatim piatu dari mimpinya yang hidup di panti sudut kota. Ia sedikit kecewa karena harus meninggalkan gug sendirian dalam dunia mimpi. Tapi ini yang terbaik.

Ia sampai di danau di pinggir kota. Dia memejamkan mata, melangkah sedikit demi sedikit hingga ia berada tepat diujung danau yang dalam. Setengah langkah lagi ia akan bebas, seperempat detik lagi dia akan hidup, dia menarik nafas dan melompat.

Dia merasakan sentuhan lembut seseorang

Definisi manusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang