Sepasang kaki mungil berlari kecil menelusuri rerumputan basah yang panjangnya hampir menutupi betis. Si pemilik kaki tidak terlalu peduli dengan nasib rumput-rumput liar yang diinjak tanpa perlawanan itu. Pikirannya hanya sibuk membayangkan kenikmatan kudapan sore ditemani celotehan ibunya karena makan siangnya, yang terlalu berat, sama sekali tidak tersentuh.
Poninya yang terguncang-guncang tidak lagi menghasilkan garis lurus. Sama seperti rencananya saat itu. Pencarian bunga di pinggir sungai, untuk tugas menggambar, tidak terlalu berhasil. Jari mungilnya hanya menggenggam tiga tangkai Dandelion yang buluhnya akan habis rontok dalam perjalanan. Sayangnya, hal penting itu belum sempat terpikir di kepala anak kelas empat SD sepertinya. Dia hanya memikirkan cara untuk menggambar bunga putih di atas kertas berwarna putih.
"Jangan bergerak! Serahkan semua hartamu, atau pedang ini akan membocorkan lambungmu!"
"Tusuklah aku dengan daun sialan itu."
Kaki mungil itu spontan membelok menuju sumber percakapan yang terdengar.
"Berhenti kalian!"
Kedua anak laki-laki dengan aktivitas drama perang-perangan itu berhenti. Seorang, dengan beberapa helai daun panjang di tangannya, menatap gadis itu dengan tatapan tak rela sudah diinterupsi.
"Jauhkan kakimu! Kau telah merusak bunga yang indah!"
"Apa yang sedang kau bicarakan?"
"Kau menginjak satu-satunya bunga Gladiol di tepi sungai Abraham."
"Kau berpuisi? Tidak ada bunga di sini, cewek sinting!"
Anak perempuan itu merampas helaian daun dari anak yang mengumpat tadi dan menatapnya seolah benda itu adalah uang yang telah dirobek-robek.
"Daun ini, dan yang sedang kau pijak itu, suatu saat akan ada bunga indah di sana ...." Matanya mulai berair.
"Itu hanya rumput liar, bodoh."
Anak yang dari tadi hanya diam menonton akhirnya mengambil peran dalam perdebatan tentang daun dan bunga itu. "Dari mana kau tahu?" tanya anak itu.
"Nenekku menanam bunga itu di kebun belakang rumahnya. Kelopaknya sangat indah."
"Lalu kapan kelopak itu muncul?"
"Biasanya bulan Agustus."
Lantas anak laki-laki itu mulai berpikir sambil menatap daun-daun panjang di bawah kaki temannya. "Mungkin kita masih bisa menyelamatkannya," katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak-Jejak Gladiol
JugendliteraturSatu-satunya yang Adina syukuri adalah dia kembali satu sekolah dengan Shad. Namun ada yang tidak beres. Teman kecilnya itu sekarang berteman akrab dengan Ed, si perusuh yang belum juga tobat. ⚠️UNEDITED VERSION⚠️ Genre: Fiksi Remaja ©Kopa Iota 2018...