17: Kekacauan

1.2K 217 9
                                    

"Aku punya rencana."

Adina hanya menaikkan sebelah alisnya tanpa benar-benar menoleh kepada Kiera yang sedang menunggunya memasukkan buku dan peralatan tulis ke dalam tas.

"Mungkin kita bisa menyatukan Lula dan Evan kembali," lanjut Kiera.

Adina memberi tatapan apa kau serius? lalu berkata pasrah, "Mungkin itu tidak akan berhasil."

"Kenapa? Akhir-akhir ini, Evan selalu hadir di antara kita. Kurasa dia ingin mendekati Lula." Kiera masih bersuara dengan kepercayaan diri penuh seolah semua orang yang mendengar pasti akan percaya.

"Itu karena kau." Suara Adina terlalu lugas dan mantap, membuat Kiera terbengong dan lupa untuk mempertahankan kepercayaan dirinya tadi.

"Baiklah, aku akan mengatakan kebenarannya." Adina menyandang tas dan meremas bahu Kiera. "Evan bukan mendekati Lula, tapi kau," katanya jelas dan segera bergegas meninggalkan bangkunya. "Aku harus ke studio. Bye!"

"Ja-jadi, aku harus makan siang sendirian?"

Baru kali ini Adina mendengar Kiera terbata-bata. Dia menoleh dengan senyuman sedikit mengejek. "Kau bisa makan dengan anggota geng yang lain."

Ditinggalkan dengan penjelasan yang terlalu memusingkannya, mau tidak mau, Kiera tetap berjalan ke kantin. Gadis itu berharap menemukan anggota geng buatannya tanpa bertemu dengan Evan.

***

Studio melukis masih ramai dengan kesibukan yang cukup berseni. Adina pun berharap kalau kesibukannya memang masuk ke dalam kategori berseni. Tangannya sibuk menciptakan gradasi warna hijau, dan sesekali, Adina menjawab celotehan Leah dan Brian. Ruangan itu masih hangat sampai empat tamu yang tidak diundang memasukinya. Semua menatap pintu masuk dengan berbagai cara. Ada yang menatap malas, kesal, heran, atau tidak peduli. Adina meringis ketika menyadari kalau tamu tidak diundang itu adalah Kiera, Shad, Ed, dan Jory. Segera, dia menatap Kiera tajam.

"Apa ini rencana konyolmu yang lain?"

"Kau sangat sibuk akhir-akhir ini. Jadi, kami ingin memberimu semangat," kata Kiera lugu.

Adina tidak menyesali keluguan Kiera yang tidak pada tempatnya. Dia hanya menyesali kalau Shad, Ed, dan Jory mau mengikuti ketua geng amatir itu. Entah itu terpaksa atau tidak.

"Adina, sebaiknya kau tidak membawa pasukan ke studio. Kalau mau menonton, ada latihan teater di lantai atas. Ke sana saja." Suara Dory mewakili rasa risi dari anggota klub melukis lainnya.

Adina segera meminta maaf dan menyeret pasukannya itu keluar. Belum sampai di ambang pintu, kicauan Dory kembali terdengar.

"Jika teman-temanmu itu datang lagi ke sini, sebaiknya kau tidak perlu masuk ke ruangan ini lagi."

"Memangnya, siapa kau?" Amarah Kiera tersulut setelah mendengar kalimat tersebut. Gadis itu menepis tangan Adina demi menghampiri Dory.

Lalu, keributan terjadi.

Dua gadis itu saling menuding dan adu mulut. Studio biasanya penuh dengan tumpahan cat. Sekarang, ditambah dengan tumpahan omongan kasar yang cukup memusingkan. Siapa Adina? Dia tidak mampu melerai keduanya. Suaranya pun termakan oleh cekcok antara Kiera dan Dory. Melihat kekacauan itu, Niki membantu Adina untuk memisahkan keduanya.

"Kalau kalian mau ribut, tolong keluar," katanya tegas. Dory akhirnya mengalah dan kembali duduk di depan easel-nya, sementara Kiera hanya menjawab tatapan kesal Adina dengan mengucapkan dia yang mulai tanpa bersuara.

"Aku mengerti dengan tujuan baik kalian, tapi ruangan ini tidak terbuka untuk umum."

Ed tertawa menghina.

"Apalagi untuk orang-orang yang berpotensi menciptakan kekacauan," tambah Niki, membalas hinaan Ed. Adina melihatnya sebagai potensi berlanjutnya kekacauan. Gadis itu semakin yakin karena Ed langsung mendekati Niki dengan membawa aura kebencian di matanya.

"Sepertinya kau sangat bangga dengan tempat ini." Suara Ed sangat berbisa meski terlalu pelan untuk didengar seluruh isi studio.

Niki masih tersenyum remeh dan membalas tatapan menyala milik Ed tanpa gentar. "Kudengar, kau ingin melenyapkan tempat ini. Kenapa? Kau tidak bisa melupakan bagaimana ayahmu-"

"Ed!"

Niki tidak mampu melanjutkannya karena pukulan keras segera mendarat di sudut bibirnya. Adina tidak mampu melanjutkan seruannya karena Kiera langsung menariknya menjauhi perkelahian itu. Semua anggota klub melukis mengumpat sial menyadari ketenangan studio telah terenggut paksa. Jory yang paling frustasi. Wajahnya semakin pucat dan badannya sedikit gemetar.

"Aku tahu, kau yang menulisnya."

Ucapan Ed masih terlalu pelan untuk didengar oleh seluruh isi studio, tetapi tidak untuk kekuatannya. Laki-laki itu menghajar Niki tanpa ampun sampai Niki terjatuh dan menabrak sebuah easel dengan lukisan setengah jadi beserta cat dan air. Melihat lukisan itu, Adina meringis dengan wajah cemas.

Niki masih mampu berdiri tanpa kesulitan yang berarti. Dia melirik ke arah lukisan di lantai. "Lihat, Adina. Bahkan temanmu dengan mudah menghancurkan karyamu," katanya lirih.

"Ya, aku juga akan menghancurkan semua yang ada di sini," sanggah Ed tidak kalah lirih. Kakinya kembali melangkah mendekati Niki.

"Kau dan teman-temanmu itu," ujar Niki tanpa berusaha menjauh, "semua pecundang."

Brak!

Pukulan kembali mendarat di wajah Niki. Kali ini sangat keras dan bukan milik Ed, melainkan milik Shad. Shad tidak melanjutkan pukulannya karena Niki langsung terkapar dengan darah mengalir di kedua lubang hidungnya. Adina tidak mampu menahan air matanya. Kiera berusaha membawanya pergi menyusul Jory, tetapi tubuh Adina membeku. Mereka tidak sempat meninggalkan kekacauan itu sebelum Samantha datang membawa seseorang dari pihak keamanan.

***

Mereka tidak mendapat skors atau hukuman berarti karena kejadiannya di luar jam sekolah. Adina, Shad, Ed, Jory, dan Kiera meninggalkan ruangan Madam Derida dengan wajah masam dan kuping kepanasan. Langit sudah gelap, menandakan sudah hampir tiga jam mereka dijejali berbagai petuah dengan inti yang sama.

Kiera pulang dengan jemputan sementara Ed pergi tanpa mengucapkan apa pun.

"Kau baik-baik saja?" tanya Adina kepada Jory. Gadis itu melihat jelas kegelisahan di wajah laki-laki cerdas itu.

"Jory akan menginap di rumahku. Kami akan mengantarmu ke halte," ucap Shad tenang seolah pukulannya di wajah Niki tidak pernah terjadi. Adina hanya mengangguk tidak berniat menolak. Mereka berjalan bersama, namun pikiran mereka entah ke mana. Adina terlalu risau memikirkan banyak hal. Lukisan yang rusak, kondisi Niki, kemarahan Shad, dan perselisihan antara Niki dan Ed. Langkahnya tidak terlalu berat, hanya saja napasnya yang mulai sesak.

"Maaf."

Bisikan Shad menambah tekanan di bendungan air mata yang sejak tadi ditahan Adina. Gadis itu tidak menjawab dan tidak berani menatap mata laki-laki itu. Bus tiba dengan begitu cepat, seakan mengerti situasi buruk yang telah mereka hadapi. Adina pun naik tanpa meninggalkan kata-kata.

"Lebih baik rencana itu kita batalkan," ucap Jory lemah, mengiringi kepergian bus yang membawa pergi kekecewaan Adina.

Jejak-Jejak GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang