22: The Nightmare Before Christmas

1.1K 212 8
                                    

Adina memasuki ruang kelas yang telah heboh tanpa berniat mencari tahu penyebab kehebohan itu. Jam masuk kelas masih lima belas menit lagi, tetapi ruangan itu sudah terisi dengan separuh dari jumlah murid di sana. Cukup mengejutkan mengingat hari ini adalah hari Senin. Bangku di belakang milik Adina sudah terisi dengan dua perempuan. Siapa lagi kalau bukan Kiera dan Lula? Begitu melihat kehadiran Adina, keduanya berlomba-lomba untuk menyampaikan sebuah protes.

"Astaga, Adina. Kenapa kau tidak bilang kalau kau jadi mengikuti sayembara itu?" keluh Lula.

Adina menyampirkan ransel di punggung kursi lalu duduk menghadap mereka. "Aku lupa," katanya.

Lula mencibir. "Anak-anak membicarakannya dan kami sangat senang begitu mengetahui lukisanmu ada di sana," ucapnya dengan sungguh.

"Kami seharusnya datang hari Sabtu kemarin untuk memberimu dukungan."

"Terima kasih. Acaranya juga tidak terlalu lama."

"Ya, pasti cukup membosankan karena tidak ada musik EDM di sana."

Kiera menginginkan musik EDM, tetapi yang terdengar hanyalah musik bernada datar dari ponsel Adina. Layarnya menampilkan sebuah pesan dari Niki.

Good news! Lukisanmu masuk di daftar sepuluh besar!

Jari Adina bergetar ketika mengetuk sebuah file yang dilampirkan Niki sebagai barang bukti. "Ini mimpi!" serunya. Namanya tertera di urutan kesepuluh di daftar itu.

"Apa? Ini mimpi? Baguslah. Berarti kita tidak benar-benar sedang di sekolah." Lula ikut-ikutan heboh dan menepuk pelan pipinya.

"Kenapa kalian bertingkah idiot?" Kiera menarik rambut lurus Lula tanpa berniat untuk merontokkannya. "Ada apa Adina?"

"Mm, begini, katanya lukisanku masuk ke dalam urutan sepuluh besar. Maksudku, bukan katanya, tetapi tertulis di lembar—"

"Aaaaaaaa!"

Lula melompat dari atas meja yang sejak tadi didudukinya dan melompat-lompat riang sambil merangkul erat Adina. Kiera tidak ingin kalah heboh dengan sahabatnya itu. Mereka bersorak-sorai mengalahkan kehebohan kelas yang sejak tadi tercipta. Adina hanya meringis menanggapi tatapan memohon dari teman-teman sekelasnya.

***

Sorak-sorai tadi pagi bukan apa-apa bagi Kiera dan Lula. Kehebohan yang sesungguhnya, mereka luncurkan begitu pulang sekolah. Dua gadis itu menyeret paksa Adina untuk merayakan kemenangannya.

"Ini masih terlalu awal untuk disebut sebagai kemenangan," bantah Adina.

"Aku tidak peduli. Hari ini, kita harus merayakan semuanya!" Kiera memandu mereka menuju pelataran parkir sekolah. Lula menyetujui semangat Kiera dengan mengacungkan kedua jempol. Adina hanya pasrah dan memilih untuk mengikuti kedua temannya yang terlalu berlebihan dalam bertindak.

"Kau sudah menghubungi mereka?" tanya Lula setelah mereka tiba di pelataran parkir.

Kiera mengangguk mantap. "Seharusnya mereka di sini," jawabnya.

"Apa? Menghubungi siapa?" tanya Adina tidak mengerti.

"Itu mereka!"

"Astaga-kenapa-harus …." Adina mengesah kesal ketika melihat wajah Shad, Ed, dan Jory. Ketiga laki-laki itu berjalan gontai mendekati mereka.

"Selamat, Adina."

Adina membalas pelukan hangat Jory dan berusaha tidak menunggu ucapan selamat lainnya dari mulut Shad, apalagi Ed.

"Baik, begini." Kiera mulai bertindak sebagai pemimpin. "Langkah pertama, kita ke supermarket, membeli camilan dan yang lainnya. Lalu kita ke rumah Shad. Ah, aku sudah memberitahumu sebelumnya, jadi tidak ada penolakan." Kiera menatap tajam Shad.

"Terserahmu," jawab Shad.

Adina menelan ludah, menyadari kalau Kiera benar-benar berbakat dalam hal menaklukkan seseorang.

***

Di supermarket, mereka terlihat seperti gerombolan anak sekolah yang penuh ancaman. Dua orang pegawai mengawal mereka tanpa mencoba membuatnya tersamar. Kiera memasukkan dua botol besar soda ke dalam keranjang yang di dorong Jory. Lula merusak kesenangan gadis itu dengan menambahkan sekotak susu kacang kedelai.

"Bisakah kau bertindak normal sesekali?" protes Kiera.

"Aku tidak menyuruhmu menghabiskannya."

Mereka kembali bertengkar ketika memilih camilan. Kiera memasukkan tiga bungkus Doritos ukuran besar dan beberapa tabung Pringles Sriracha sementara Lula menambahkan sekotak Fitbar.

"Aku harus kenyang lebih awal sebelum tergoda merasakan snack tinggi kalori itu." Lula menjelaskannya dengan bangga.

Pada akhirnya, Adina, Shad, Ed, dan Jory tidak memilih makanan apa pun. Sebelum membayar, Kiera membawa mereka singgah di gerai DVD.

"Kenapa tidak nonton di bioskop?" protes Lula.

"Di sana, kau akan diusir karena ribut."

"Kau serius mau menonton itu?" tanya Ed dengan sungguh-sungguh ketika melihat Kiera meraih film Final Destination 4.

"Jadi kalian mau menonton apa?"

"Star Wars saja," usul Jory.

"Tidak! Jangan paksa aku untuk berpikir hanya demi film itu. Romance lebih baik." Lula memilih-milih film di hadapannya. "Mm, The Fault in Our Star cukup oke. Ah, atau La La Land." Tangan kurusnya meraih keduanya. "Oh-My-God!" pekik Lula kemudian. Pandangannya tertuju pada sebuah kotak DVD di rak bawah. "500 Days of Summer! Mereka memiliki film ini!"

Semua memandang Lula ngeri.

"Sekarang aku mengerti kenapa berada di dekat kalian terasa penuh drama," ucap Ed pelan.

"Hei, ini perayaan untuk Adina. Bagaimana jika dia yang memilih?" Shad bertindak sebagai penengah. Jory mengangguk setuju. Kini, semua menatap Adina, menunggu film pilihannya.

"The Nightmare Before Christmas."

***

Rencana perayaan dilanjutkan. Mereka menuju rumah Shad. Lula membawa Kiera dan Adina di mobilnya, Shad membawa Jory di mobilnya, dan Ed menyusul dengan sepeda motor. Semua sampai dengan selamat dan dengan sukacita penuh. Shad hendak membuka pintu rumah, tetapi pintu itu ternyata sudah terbuka. Hal itu membuatnya kecewa.

"Kau sudah pulang?"

Cekikikan Kiera dan Lula terhenti ketika melihat kehadiran seorang pria di ruang tamu. Adina mengingat pria itu. Tuan Hans, ayahnya Shad. Belum sempat dia memberi salam, Hans menghampiri mereka dengan tatapan kurang bersahabat.

"Kau membawa banyak teman."

Shad meremas tengkuknya dengan kasar. "Kami ada tugas kelompok," katanya enggan.

Kiera dan Lula saling lirik. Mereka menyembunyikan kantong belanjaan yang sedang mereka tenteng ke belakang kaki masing-masing.

"Kalian, naiklah," perintah Shad.

Gerombolan itu pun segera naik ke kamar Shad dengan gerakan kaku dan tanpa suara. Sebelum mengikuti teman-temannya, Adina menatap Shad cemas, mencoba mencari tahu apakah semua baik-baik saja. Shad meyakininya dengan senyuman yang dapat dipercaya.

Jejak-Jejak GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang