16: Kesungguhan

1.2K 230 3
                                    

Adina menyelesaikan percobaan pertamanya dalam waktu dua hari. Lukisannya tidak terlalu bagus namun masih pantas untuk dilihat. Proporsinya sudah sesuai meski ada beberapa warna terang di tempat yang tidak seharusnya.

"Perhatikan sinar matahari," kata Niki.

"Aku sangat suka dengan cahaya yang mengkilap di permukaan sungainya," ucap Samantha.

"Proporsinya sudah cukup bagus, tapi seperti ada yang kurang," tambah Brian.

Adina tersenyum miring menanggapi komentar-komentar anggota klub melukis yang sedang menjadi kritikus dadakan. Lukisannya masih berdiri pasrah di hadapan mereka.

"Objek utama," kata Niki, memecahkan kebingungan Brian.

Adina menoleh dan menunggu penjelasan laki-laki itu.

"Apa yang ingin kau sampaikan? Sungai Abraham mengandung banyak komponen. Air yang tenang, rumput hijau di musim panas, aktivitas di sekitarnya, atau tanaman liar di beberapa sudutnya. Kau harus menentukan sesuatu yang mesti ditangkap penikmat. Kau harus punya tujuan."

"Perspektif." Leah mengangguk-angguk, membuat Adina semakin tidak mengerti.

Nada dering singkat dari ponsel Adina menyela penilaian Niki dan yang lainnya. Dengan mengucapkan maaf  tanpa bersuara, Adina membuka pesan chat dari Kiera.

Lula terkena flu dan tidak ke sekolah. Kau harus menemaniku makan siang di kantin. Lima menit, kutunggu. Mungkin kita bisa menemukan Ed atau Shad di sana.

Menemukan Ed atau Shad. Terdengar seperti dua hal yang berbeda namun tidak mungkin bagi Adina. Ketika menemukan Ed, sudah pasti dia menemukan Shad ataupun sebaliknya. Dua nama itu pun kembali membuat Adina memandang kanvasnya dengan tatapan suram. Terlihat seperti sebuah benda yang mungkin akan musnah. Entah kapan, belum jelas.

"Kau kembali melamun."

Teguran Niki membuyarkan bayangan lukisan yang termakan api dari kepala Adina. Semua anggota klub sudah tidak lagi berdiri mengelilingi kanvasnya. Mereka kembali dengan kegiatannya masing-masing.

"Beberapa hal cukup menggangguku." Adina membersihkan kuasnya dan membereskan peralatan yang lain.

"Aku sarankan, lebih baik kau fokus saja pada klub ini. Maksudku, kau bisa bergabung dengan kami kapan pun dan di mana pun. Berada di dekat Ed akan menghancurkan daya imajinasimu." Niki tertawa sinis namun tidak terdengar sadis.

Adina ikut tertawa setuju namun tetap menolak halus. "Aku ada janji dengan Kiera. Setengah jam lagi aku akan kembali," katanya, lalu mengunci ritsleting tas.

***

"Aku harus mengejar ketinggalanku. Batas pengumpulan lukisan dua minggu lagi." Adina mencoba menjelaskan alasan keterlambatannya, meskipun itu hanya tujuh menit.

"Ya, aku doakan kau akan menyusul Van Gogh atau Picasso."

Adina hanya mencebik karena tidak mengerti maksud di bagian menyusul. Entah itu merujuk ke arah ketenaran ataupun kematian. Setelah menerima roti lapis dengan isian telur, Adina mengikuti Kiera yang hanya membawa milkshake blueberry.

Belum selesai Adina meratapi nasibnya yang ternyata hanya menemani Kiera untuk minum milkshake, kemalangan kembali datang. Kiera mengarah ke meja yang telah diisi Shad, Ed, dan Jory.

"Kenapa kalian selalu mengganggu?" protes Ed.

"Kita sudah jadi anggota geng," jawab Kiera santai sembari mengambil tempat duduk di samping Jory. Adina tidak punya pilihan lain selain ikut duduk di sebelah Shad. Dia sedikit kecewa karena Lula tidak menemaninya, menghadapi kecanggungan yang diciptakan Kiera.

"Aku punya pengumuman. Adina akan mengikuti sayembara."

Adina hampir tersedak mendengar ucapan lantang Kiera.

"Golden Art Week?" tanya Jory.

Adina mengangguk dan membuka bungkusan roti lapis. "Batas pengumpulannya semakin dekat. Mungkin aku akan fokus jika seseorang berjanji tidak membakar sebuah gedung." Suara Adina mengawali keheningan yang seketika menguap di meja kantin itu. Shad melirik Ed tajam, dan Jory terkesima menatap Adina. Dari mana kau tahu? Itu yang dibaca Adina.

Hanya Ed yang tertawa sumbang. Nadanya menyamarkan nada dering di ponsel Adina, namun gadis itu masih bisa merasakan getarannya. Sebuah pesan singkat dari Samantha.

Adina, kau lupa melampirkan fotokopi kartu pelajar di formulir pendaftaran.

"Aku harus kembali." Adina membungkus kembali roti isi yang tidak sempat digigit dan segera meninggalkan meja kantin tanpa menunggu sahutan siapa pun. Semua gerakan Adina tampak seperti sebuah kesungguhan di mata teduh Shad.

***

Studio terasa menjemukan dan berantakan meskipun beberapa anggota klub sudah meninggalkan ruang itu. Adina merapikan meja bundar meski hasilnya sama saja. Setelah selesai dengan aktivitas bersih-bersih, mereka meninggalkan studio.

"Aku akan meminta izin agar batas waktu penggunaan studio ditambahkan," kata Niki ketika mereka melewati lobby di lantai dasar. Leah dan Samantha menyetujuinya. Mereka lalu bergegas menuju jemputan masing-masing.

"Aku akan mengantarmu pulang," kata Niki bersamaan saat mata Adina menangkap sosok yang familiar sedang menunggu di dekat pintu masuk.

"Shad?"

Niki menoleh dan mengartikan kehadiran Shad sebagai jawaban dari penawarannya tadi. Tanpa menunggu penolakan secara langsung, Niki pamit pulang dan mengingatkan Adina untuk tidak pulang terlalu malam.

Kau menungguku? Pertanyaan itu terdengar begitu percaya diri, jadi Adina hanya bertanya lewat tatapan.

"Aku akan menemanimu menunggu bus," kata Shad pelan, lalu mereka bergerak menuju halte ditemani keheningan.

"Kau terlihat serius dengan melukis. Sampai melewatkan makan siang tadi."

"Aku benci mengatakan ini, tapi aku sangat membutuhkan beasiswa itu. Mungkin itu bisa meringankan beban paman dan bibi," jelas Adina, lalu bersyukur karena Shad tidak bertanya lebih lanjut. "Soal ucapanku di kantin …," lanjutnya dengan hati-hati.

"Ed yang memberitahumu?"

Adina mengangguk, lalu menggeleng. "Tidak sepenuhnya. Aku melihat denah GLAC di meja belajarmu."

Shad mengangguk-angguk kecil. Mereka sudah tiba di halte dan memutuskan untuk menunggu sambil berdiri karena tempat duduknya tersisa hanya untuk satu orang.

"Soal Julie … aku juga mendengarnya dari Ed." Adina melirik Shad, mencoba mencari kesedihan di wajah itu. Namun, semua tetap sama. Masih terasa asing baginya. Itu membuat Adina gusar. Ditambah kebisuan Shad menunjukkan kalau dia tidak tertarik membahas topik yang diciptakan Adina.

"Dengar, Shad. Meskipun perceraian orang tuamu terlalu menyakitkan, kau tidak harus menjadi—"

"Menjadi apa?" potong Shad.

Lidah Adina berubah kelu memikirkan lanjutan untuk ceramah—sok tahu—nya. "Ya …." Dia mencoba mencari kalimat yang tepat. "Menjadi seperti Ed," ucapnya cepat lalu menunggu reaksi Shad.

"Aku serius!" Adina tidak terima ketika melihat Shad tersenyum geli, seolah perkataannya adalah sebuah lelucon. Atau mungkin menjadi seperti Ed bisa jadi memang sebuah lelucon.

"Bisakah kau berjanji untuk tidak bertindak bodoh?" tanya Adina kemudian. Suaranya semakin meninggi dan semakin cepat karena bus yang mereka tunggu sudah tampak di ujung jalan.

"Dengar, Adina. Berusahalah untuk menang di sayembara itu. Kau tidak perlu ikut campur dalam pertemanan kami. Itu membuang waktu." Shad menatapnya sungguh.

Bus semakin dekat dan melambat. Sebelum naik, Adina menjawab saran Shad dengan senyuman licik mirip seperti yang sering diperlihatkan Kiera. "Mana bisa aku tidak ikut campur. Kita, kan, anggota geng," katanya.

Jejak-Jejak GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang