12: Desiderata

1.3K 223 3
                                    

"Misalnya membakar sebuah gedung."

Tawa kikuk Jory mengisi kesenyapan yang menguap selagi mereka mencerna kalimat Ed. Nada tawa itu semakin lama terdengar semakin nyaring, membuat Evan dan Kiera ikut tertawa. "Mereka terlalu serius, Ed. Berhentilah menciptakan omong kosong," kata Jory.

"Dia memang pembual." Adina bergumam di hadapan burger dan jus jeruk.

Lula menyetujui gumaman Adina dengan tatapan dongkol ke wajah Ed, sementara Shad hanya tersenyum tipis.

"Adina?"

Semua orang yang ada di meja kantin itu menoleh.

"Hei, Niki!"

Niki menyambut senyuman Adina dan melirik orang-orang yang duduk bersama gadis itu, satu per satu.

"Ada apa dengan wajahmu?" tanya Kiera.

Adina baru menyadari, masih ada memar membekas di wajah Niki. Pelipis kanannya yang paling parah. Terlalu tidak adil bagi Adina, mengingat wajah Ed yang tetap bersih tanpa goresan apa pun.

"Seseorang mengacaukan studioku semalam," jawab Niki dengan nada mengandung celaan.

"O-ow ...." Spontan, Kiera melirik Ed setelah mengingat keluhan Adina di perjalanan menuju kantin.

Evan bertindak sebagai pahlawan dalam kecanggungan itu karena ponselnya berbunyi. Setelah membaca sesuatu di layar ponselnya, sepupu Adina itu segera memberi kode kepada yang lainnya untuk pamit.

"Tapi kita bisa melanjutkan latihan yang tertunda itu nanti sore." Niki masih berdiri di dekat Adina tanpa menghiraukan tatapan sinis Ed.

"Sepertinya tidak bisa." Adina menjawab ragu. Mendadak, matanya mencari sesuatu di wajah Shad yang ternyata juga sedang memperhatikan mereka. "Aku ada janji nanti sore." Adina berbicara sepelan mungkin, berharap ucapannya tidak terdengar seperti sebuah harapan di telinga Shad. "Mungkin besok."

Niki masih tersenyum dan mengangguk setuju, lalu pergi membiarkan meja itu kembali dalam keheningan.

"Kau ikut klub melukis?" Jory adalah orang pertama yang memecah keheningan itu. Adina segera mengangguk tidak nyaman karena Jory menatapnya seolah gadis itu adalah jelmaan Van Gogh.

"Aku baru saja bergabung dan Niki adalah ketua klub," jelas Adina.

"Tentu saja. Ibunya adalah penyumbang dana terbesar dalam pembangunan GLAC."

"Aku tidak mengetahui hal itu." Adina menatap Kiera tak percaya.

"Astaga, Adina. Kau tidak kenal Mirani Stacey?" tanya Lula.

Adina menggeleng.

"Baiklah. Kurasa Niki menerimamu karena dia naksir."

Adina hanya tertawa kaku menanggapi kesimpulan Kiera.

"Ibunya Niki pelukis terkenal dan sebagian besar lukisan di galeri GLAC adalah sumbangannya," tutur Kiera. "Ah! Bagaimana jika kita mengajak Niki untuk gabung ke dalam geng?"

"Berhentilah mengucapkan geng sialan itu, Kiera." Suara Ed kali ini terdengar serius. Rahang laki-laki itu semakin terlihat jelas dan itu terlihat persis seperti saat dia berkelahi dengan Niki. Tanpa mengajak siapa pun, Ed berdiri dengan gerakan kasar lalu pergi meninggalkan anggota geng buatan Kiera. Jory yang masih keheranan, mengikutinya, lalu disusul Shad.

"Sepertinya dia lebih sensi daripada perempuan," gumam Kiera ketika para lelaki di meja kantin di hadapannya menjauh.

"Mungkin karena artikel itu."

Adina dan Kiera menatap Lula penuh selidik.

"Kalian tidak membacanya? Berita tentang orang tuanya?" Lula menyalakan ponsel dan mengetuk-ngetuk layarnya. Setelah menemukan sesuatu, ponsel itu disodorkan ke hadapan dua temannya.

Sebuah artikel tentang keretakan keluarga Andrew.

"Jadi, ibunya Ed adalah seorang aktris?"

"Selama ini, apa yang kau ketahui, Adina?"

Adina hanya menaikkan kedua alisnya. Dia tidak tahu harus merasa beruntung atau tidak karena memiliki teman yang mengetahui segalanya. Kiera dan Lula berhasil membuatnya merasa dungu karena tidak mengetahui apa pun. Tetapi di lain sisi, dia hanya merasa tidak perlu mengetahui tentang Ed sejauh ini.

***

"Kau masih ingat jalan kemari."

"Toko buku ini hanya berjarak dua kilometer dari sekolah, Shad." Adina mengatur poninya yang berantakan tertiup angin.

"Kenapa kau melepas bandomu?" Shad membuka pintu Liberty dan membiarkan Adina masuk ke dalam toko buku itu. Aroma kertas bercampur dengan pewangi ruangan yang lembut langsung menembus hidung mereka.

"Hanya mencoba usul Kiera. Katanya, rambutku akan dihinggapi ketombe jika dibungkus terus." Penjelasan Adina berhasil membuat mereka tertawa kecil.

"Hai, Shad. Kali ini kau membawa teman?"

Seorang wanita paruh baya menyambut mereka dengan senyuman yang lebih ramah dari penampilannya. Wanita itu tampak seperti seorang penyanyi rock yang berada tidak pada tempatnya. Adina membalas senyuman itu dan segera memperkenalkan diri.

"Jadi, kau gadis kecil itu?"

Adina mencermati wanita di hadapannya. Begitu melihat gelang ungu di pergelangan kiri wanita itu, matanya membulat dan senyum berseri segera merekah di wajah keduanya.

"Apakah kau Elena?" tanya Adina yakin.

Mereka pun berpelukan dan saling menanyakan kabar masing-masing. Adina menatap ke sekeliling toko dan tidak mampu mengingat perbedaan apa yang terlihat di sana. Layout-nya masih tampak sederhana dengan nuansa violet di dindingnya.

"Kakek Dumbledore sudah meninggal tiga tahun yang lalu," kata Shad ketika menuntun Adina menelusuri rak buku. Adina yang mengikutinya dari belakang hanya mengangguk dan menyesali ketiadaan kakek tua pemilik toko buku itu. Adina berhenti ketika Shad berhenti di sudut toko. Mata mereka bertemu dan saling memberi tahu.

"Astaga!" seru Adina pelan ketika berhasil memahami sesuatu yang sedang Shad hendak sampaikan. Tangan laki-laki itu berusaha meraih sesuatu yang terselip di susunan buku-buku terbawah.

"Mereka masih menyimpannya," kata Shad dengan tawa kecil.

Adina membungkam mulutnya, berusaha menahan keterkejutannya. Shad menyodorkan sebuah buku dengan kover cokelat tua. Buku itu masih terlihat bagus tanpa cacat sedikit pun. Jari kurus Adina menelusuri judul buku yang tercetak emas.

Desiderata.

"Kau masih ingat?"

"Tentu saja."

Jejak-Jejak GladiolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang