Tentang Tazkiya Annisa

5K 438 36
                                    

Nisa terdiam menatap hamparan sawah di belakang indekosnya. Tempat itu selalu menjadi candu baginya. Hening dan tenang. Tak seperti rumah mewahnya di Yogyakarta. Sama heningnya memang, namun tak menenangkan sama sekali. Rumah mewah yang kosong, seperti hatinya.

Ia terlahir sebagai putri ketiga sekaligus bungsu dari pasangan pengusaha sukses yang namanya dikenal dimana-mana. Siapa yang tak kenal dengan Tuan Hamdan Putra dan Nyonya Zakiya Arum Putra? Seluruh dunia perbisnisan mengenal dua nama itu. Sepasang suami-istri yang memiliki usaha di berbagai bidang. Piyantun sukses, kata orang-orang di sekitarnya.

Nisa tersenyum miris. Kedua orangtuanya memang sukses di dunia perbisnisan, tapi mereka berdua tak pernah sukses memenangkan hatinya. Ia terlahir dengan kekayaan yang melimpah. Mau makan enak? Tinggal pilih. Mau berlibur ke luar negeri? Tinggal sebut. Apa pun yang ia inginkan, mustahil jika tak tercapai. Hanya satu, satu keinginan yang sejak kecil ia miliki dan tak kunjung ia dapatkan. Kehangatan keluarga. Berkumpul dengan Papa, Mama dan kedua kakaknya. Justru keinginan sesederhana itu lah yang sampai detik ini tak pernah ia dapatkan. Papa dan Mama yang sibuk dengan bisnis, kedua kakaknya yang menuntut ilmu di negeri orang kemudian menikah usai menamatkan pendidikan, dan ia yang selalu merasa sendiri.

Orang-orang memandang Nisa sebagai gadis sempurna. Gadis yang cantik, kaya, serta berperangai baik. Nisa yang ceria selalu berhasil menutupi rasa sepinya. Orang-orang tak pernah tau, Nisa hanya memiliki Simbok di rumah. Perempuan paruh baya yang mengurusnya sejak balita, mendengar celoteh pertamanya, mengajarinya cara memakai sepatu dan menali, mengajarinya banyak hal, dan mendengar keluhan-keluhannya hingga ia sebesar ini.

Nisa tetap menjadi pribadi yang ceria tanpa perlu menunjukkan wujud aslinya selama bertahun-tahun. Sampai suatu hari, ia mengambil keputusan yang aneh, menurut kedua orangtuanya. Ia ingin menjadi guru, menuntut ilmu di sebuah universitas yang terletak di kota kecil bernama Salatiga. Kedua orangtuanya tertawa, mereka menganggap permintaan Nisa kali ini lelucon. Disaat kedua kakaknya menjadi lulusan universitas-universitas ternama di luar negeri, bungsu itu justru memilih melanjutkan kuliah di sebuah desa, dengan jurusan keguruan pula. Untuk apa? Jika Nisa memang mau, bahkan mereka bisa membangunkan sekolah sendiri, tanpa perlu Nisa repot-repot berkuliah hanya untuk menjadi guru. Bukankah di zaman sekarang, uang mampu mewujudkan seluruh keinginan? Namun, kedua orangtua yang memang tak pernah mau repot dengan urusan anak-anak mereka itu akhirnya mengangguk setuju. Nisa memilih Salatiga, tinggal di indekos sederhana, meninggalkan seluruh kemewahan yang ia punya.

Dan di detik pertama memasuki dunia perkuliahan, Tazkiya Annisa menemukan mereka. Empat orang yang di tahun-tahun berikutnya menjadi sahabat sejatinya. Ia menemukan Hilya Althafunnisa yang sama cerewet dan ceria, seolah duplikatnya. Lalu Hana Fariha yang dewasa, Nailin Niswa yang senang memperhatikan hal-hal kecil, dan Fadhilatul Laili, gadis cuek dan pemilik pengetahuan seluas samudra yang menyukai hal-hal ekstrim. Sejak hari itu, hari-harinya tak lagi sama.

Nisa belajar banyak hal dari keempat sahabatnya. Tentang kesederhanaan, tentang ceria yang sesungguhnya, tentang pertemanan yang benar-benar nyata tanpa embel-embel harta. Salatiga, kota mungil yang benar-benar berhasil merubahnya.

Nisa yang tak paham kehangatan keluarga seolah menemukan muara. Hilya dan keluarganya yang hangat membuatnya seolah mendapat keluarga baru. Interaksi Ibuk, Ayah, Kak Hanis, dan Abang Kembar resmi membuatnya nyaman. Rumah Hilya di Semarang berhasil menjadi rumah keduanya, setelah Salatiga. Iya, Nisa tak pernah benar-benar menganggap rumah mewahnya di Yogyakarta sebagai rumah, tak ada kehangatan apa pun disana, kecuali sikap penyayang Simbok.

Semuanya berjalan baik-baik saja. Sampai suatu ketika, hatinya membaca Rafa -abang kembar tertua Hilya- dengan perasaan yang berbeda. Baginya, yang namanya cinta selalu jatuh karena alasan terbiasa. Maka, ia menjatuhkan cintanya pada seseorang yang sering ia jumpai, seseorang yang baginya nyata, seseorang yang menurutnya memang menyadari bahwa ia ada. Dan seseorang itu, Rafa.

Namun, ternyata rasanya sepihak. Rafa justru jatuh hati pada Dhila, sahabat cueknya yang senang pada hal-hal ekstrim itu. Nisa patah hati? Tentu saja! Ia sempat mendiamkan Dhila sampai berhari-hari, bahkan sampai ikut menjauh dari keempat sahabat lainnya. Adalah Hilya, adik dari lelaki yang membuatnya patah hati itulah yang menyadarkannya. Merangkul dan mengajak kembali menjadi Nisa yang ceria. Memberikan pemahaman bahwa Dhila si gadis cuek bahkan tak tau jika Rafa memiliki rasa padanya, jadi untuk apa mendiamkan gadis itu? Semacam bermusuhan tanpa ada permasalahan saja, bukan?

Nisa tersenyum, ia masih terdiam menatap hamparan sawah di belakang indekosnya. Kejadian itu sudah setahun yang lalu, bahkan lebih. Seharusnya ia telah baik-baik saja. Bukankah ia telah berjanji pada Hilya untuk mengikhlaskan. Ah bukan, lebih tepatnya, ia berjanji pada dirinya sendiri. Ia yakin jika Rafa memang akan berakhir dengan Dhila sejak hari pertama ia berdamai dengan Dhila.

Pada Dhila, ia memang tak pernah mengatakan alasannya menjauh sementara. Untuk apa? Persahabatan mereka berlima sungguh sederhana. Bermasalah? Ya, bermaafan. Apapun kesalahan itu. Jika telah saling peluk, tak perlu lagi ada masalah yang diungkapkan, mereka telah kembali berbaik-baik saja. Maka Dhila, tak pernah tau alasan Nisa mendiamkannya beberapa waktu, apalagi perasaan Rafa terhadapnya, Dhila tak tau itu semua.

Nisa telah mampu menebak jika Rafa memang akan megungkapkan perasaannya pada Dhila usai mereka berlima meraih gelar sarjana. Iya, Nisa telah bisa menebak semuanya. Ia telah mempersiapkan hati sejak setahun yang lalu. Namun, mendengar cerita Dhila seminggu yang lalu, mengapa rasanya masih menyakitkan? Mengapa tameng yang ia buat berbulan-bulan itu seolah runtuh? Mengapa rasanya masih berat sekali untuk mempercayai? Nisa mengusap setetes air yang ada di pipinya.

Semenjak berbaikan, ia dan Dhila memang menjadi lebih dekat. Bukankah itu sudah biasa? Dua orang yang bermusuhan hanya memiliki dua pilihan hubungan usai mereka berdamai. Menjauh meski telah saling memaafkan, atau makin dekat karena mereka belajar dari pengalaman. Dan hubungan Nisa dengan Dhila menjadi lebih dekat usai mereka saling mendiamkan beberapa hari. Hilya yang sibuk dengan status baru sebagai istri resmi menambah kedekatan dua orang itu. Jadilah Dhila tempat Nisa berbagi keluh, menggantikan Hilya. Dhila pun sebaliknya, Nisa adalah tempatnya menumpahkan segala cerita.

Nisa membuka galeri ponsel. Ada fotonya bersama Hilya dan kedua Abang kembar. Itu foto bertahun-tahun yang lalu, sebelum Bang Rafi meninggal. Iya, salah satu Abang kembar Hilya telah tiada setahun yang lalu pula. Nisa meraba dadanya, degup tak beraturan itu masih ada. Dan lelaki berwajah sama dengan sebelahnya minus tahi lalat di bawah mata itu lah tujuannya.

Perasaan Nisa pada Rafa masih utuh, tak berkurang kadarnya sedikit pun. Bukan Nisa tak berusaha menghapus, ia telah sekuat tenaga mengusir rasa itu. Namun, nyatanya rasa itu tetap saja ada di hatinya.

Nisa mengusap setetes air yang lagi-lagi mengalir di pipinya. Ia ingin menutup galeri ponsel ketika tiba-tiba ponsel itu bergetar.

Dhila Cuek calling.

“Assalamualaikum, iya, Dhil? Kenapa?” Nisa mengucap salam usai menuntaskan tetesan airmatanya.

“Waalaikumsalam, Nis. Nisa, lagi-lagi kamu orang pertama yang aku kasih tau. Aku udah yakin, Nis. Istikharah aku juga udah nemuin jawaban. Aku nerima khitbahnya Bang Rafa.” Dhila berucap mantap di balik ponsel.

Nisa mematung seketika. Detik ini, apa yang ia sebut dengan cinta terpaksa harus diakhiri.

*****

Hai,masih ke patah hatinya Nisa ya.
Udah tiga part, gimana? Lanjut? Atau stop?😇
Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar.❤❤❤

Tahmid Cinta Nisa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang