Nisa menuruni kereta api sembari menguap kecil. Sampai di undakan terakhir, ia meregangkan otot-ototnya sejenak, melepas lelah setelah menempuh perjalanan Semarang-Yogyakarta. Pada akhirnya ia memang harus tetap pulang, mengunjungi rumahnya. Ini hari ketiga lebaran. Jika pun tak ada mama dan papa, setidaknya ada ketiga keponakannya yang akan meramaikan rumah megah itu. Simbok juga mungkin telah kembali dari rutinitas pulang kampungnya.
Nisa melirik jam tangan, pukul 11.45 menit. Ia memilih menunaikan dhuhur di masjid stasiun sebelum melanjutkan perjalanan menuju rumahnya menggunakan ojek online. Toh, ia sedang tak terburu-buru. Sampai di rumah jam berapa pun, tak akan menjadi masalah.
Nisa menunaikan dhuhurnya dengan khusyu’. Usai menuntaskan dhuhur dan wirid ba’da shalat, ia keluar masjid. Seperti kebiasaannya, ia jarang memasukkan ponsel ke dalam tas. Ia lebih memilih menggenggam benda kotak itu kemana pun, lebih mudah jika ingin digunakan sewaktu-waktu menurutnya. Sampai di luar masjid, ia duduk sejenak untuk mengenakan kaos kaki beserta sepatunya. Ia segera berdiri dan pergi dari masjid begitu menyelesaikan kegiatannya mengenakan sepatu.
“Eh, Mbak, tunggu.” Tiba-tiba terdengar suara lelaki di belakang Nisa seperti berteriak memanggil seseorang.
“Mbak, tunggu sebentar. Ini ponselnya.” Nisa masih melangkah, mengabaikan suara itu. Meski terdengar dekat, ia tak merasa lelaki itu menujukan panggilan kepadanya.
“Mbak yang pake kerundung biru, tunggu. Ini ponselnya ketinggalan di masjid.” Dua hal yang membuat Nisa menghentikan langkahnya seketika. Pertama, ia memang sedang mengenakan kerudung berwarna biru. Kedua, ia merasa jika ponselnya memang tak ada di genggaman tangannya. Ia menepuk dahinya pelan. Ia pasti lupa mengambil kembali ponselnya yang ia letakkan di sisi kanan ketika mengenakan sepatu tadi. Nisa segera membalikkan tubuh. Dan seketika, matanya membulat.
“Tazkiya Annisa?”
“Gus Ilham?”
Kedua orang yang beberapa bulan silam pernah bertemu di sebuah acara resepsi itu mendadak sama-sama tertawa.
“Ya Allah, Nisa. Kamu ceroboh banget. Beberapa bulan yang lalu kunci mobil, dan sekarang ponsel? Jangan-jangan kalo idung kamu gak nempel, dia juga bakal ilang.” Ilham terkekeh sementara Nisa memajukan bibir pertanda sebal.
“Nisa lupa, Gus.” Nisa mengambil ponselnya dari tangan Ilham dengan wajah cemberut. Biasanya, gelar gadis ceroboh selalu tersemat untuk Dhila. Nisa tipe orang yang rapi dan disiplin. Namun di hadapan Ilham, entah mengapa ia selalu terlihat ceroboh berulang kali.
“Di stasiun Yogakarta? Mau kemana atau habis dari mana?” Ilham menatap Nisa sejenak, kemudian menundukkan pandangannya menatap sepatu.
“Dari Semarang terus pulang ke Yogyakarta.” Nisa tersenyum sembari melanjutkan langkahnya pelan, Ilham terlihat mengikuti.
“Pulang?” Ilham mengernyitkan dahi, kebiasaannya yang satu itu entah kapan akan hilang. Nisa hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Keburu-buru gak?” Sejenak, Ilham terlihat mengedarkan pandangan sebelum kembali memperhatikan Nisa dari samping.
“Gak sih. Kenapa, Gus?” Kali ini giliran Nisa yang mengernyitkan dahi.
“Makan siang dulu, mau?” Ilham mengarahkan tatapannya ke sebuah cafe di depan stasiun.
“Kenapa enggak? Pas banget Nisa laper.” Nisa terkekeh sembari mengangguk, menyetujui ajakan Ilham.
*****
“Jadi, kenapa gak ngomong kalo kamu orang Yogya?” Ilham menatap Nisa usai seorang pelayan restoran pergi dari meja mereka membawa catatan pesanan.
“Lah Gus Ilham gak nanya. Buat apa Nisa pamer?” Nisa mengendikkan bahu sembari tertawa.
“Ya harusnya kamu cerita, kan kita sering chattan juga.” Ilham memutar-mutar jarinya di atas meja, bingung hendak melakukan kegiatan apa.
“Terus kalo udah cerita kenapa?” Nisa mengernyitkan dahi bingung.
“Ya gakpapa sih, ternyata kita satu kota.” Ilham mengendikkan bahu.
“Terus kalo satu kota, kenapa?” Nisa merutuki mulutnya yang banyak sekali melontarkan kata ‘kenapa’ hari ini.
“Ya gakpapa, sih.” Lagi-lagi Ilham menjawab dengan kalimat yang sama, membuat Nisa memutar bola mata jengah.
“Gus Ilham di stasiun, mau kemana atau dari mana?” Nisa mengalihkan pembicaraan, membalik pertanyaan yang Ilham ajukan kepadanya di stasiun tadi.
“Dari Solo, rumah sodara. Jangan-jangan tadi kita naik kereta yang sama, cuma beda gerbong.” Ilham terkekeh.
“Nisa tebak sih iya.” Nisa ikut terkekeh.
“Kok baru pulang hari ketiga lebaran? Dua hari yang lalu sibuk kemana, Neng?” Ilham terlihat menggoda Nisa.
“Lebaran di rumah Hilya. Gak cuma dua hari yang lalu sih, dari lebaran kurang seminggu malah.” Nisa menjelaskan. Sejenak, obrolan mereka terhenti oleh kehadiran pelayan cafe yang mengantarkan pesanan.
“Kamu sebegitu deketnya ya ama Hilya dan keluarganya?” Ilham bersuara sembari menikmati makanannya usai mengucap basmalah.
“Lebih dari sekedar deket sih.” Nisa mengangguk-anggukkan kepalanya pelan.
“Oh, ya udah, kita fokus makan dulu, baru setelah itu lanjutin ngobrol.” Ilham mengarahkan garpunya menunjuk beberapa hidangan di meja. Nisa hanya mengangguk sekilas kemudian khusyu’ pada menunya sendiri.
*****
Nisa menikmati jalanan siang Yogyakarta dari balik jendela mobil Ilham. Lelaki itu memaksanya agar mau diantar sampai rumah, membatalkan pesanan ojek online yang sebenarnya terlanjur ia pesan.
“Gus Ilham di Solo berapa hari emang? Kok mobilnya ada di parkiran stasiun?” Nisa membuka obrolan, bosan dengan keheningan yang tercipta.
“Cuma sehari, ada urusan sebentar sama sodara pas habis solat idul fitri kemarin.” Ilham menjawab sembari fokus menatap jalanan.
“Gus Ilham,”
“Nis, bisa gak usah manggil aku Gus?” Ilham memotong ucapan Nisa sebelum gadis itu mengusaikan kalimatnya.
“Lah? Terus?” Nisa mengernyitkan dahi.
“Terserah apapun, asal jangan Gus.” Ilham mengendikkan bahu.
“Kak Ilham? Lucu ih Nisa nyebutnya.” Nisa terkekeh sendiri mendengar ucapannya. Sebenarnya bisa saja ia mengajukan panggilan Mas Ilham, namun entah mengapa ia merasa memanggil Fatih jika menggunakan panggilan itu.
“Itu lebih bagus sih.” Ilham justru menyetujui pemikiran Nisa.
“Oke, asal Gus Ilham bahagia. Eh, Kak Ilham maksudnya.” Nisa kembali terkekeh.
“Tadi mau ngomong apa?” Ilham mengingatkan Nisa akan pertanyaan yang tadi urung tersampaikan.
“Eh iya, lupa. Kak Ilham ngajakin Nisa makan siang, terus nganterin Nisa pulang, gak ada yang marah? Nisa takut aja kalo ntar tiba-tiba ada yang narik, terus ngata-ngatain Nisa pelakor.” Nisa tertawa.
“Ustazah Tazkiya Annisa hobi liat sinetron ya?” Ilham terkekeh ringan mendengar pertanyaan Nisa.
“Kak Ilham kenapa suka banget sih, manggil Nisa pake nama lengkap?” Nisa mengabaikan pertanyaan Ilham. Ia justru lebih tertarik pada alasan Ilham yang sering sekali menyebut nama lengkapnya.
“Nama kamu bagus. Aku suka aja.” Ilham tersenyum.
“Oke, alasan diterima. Suka namanya boleh, asal jangan suka orangnya.” Nisa dan mulutnya yang tak terkontrol telah menjadi sebuah kesatuan. Ia senang sekali bergurau.
“Kenapa? Orangnya udah ada yang suka?” Ilham memperhatikan Nisa dari cermin tengah mobil sembari tersenyum.
“Banyak dong, ada Hilya, Dhila, Hana, Niswa, dan berpuluh-puluh orang di luar sana.” Nisa tersenyum jumawa, membuat Ilham tertawa.
“Kalo saingannya cuma orang-orang itu sih aku gak takut, tetep maju lah.” Ilham terlihat nyaman meladeni gurauan Nisa.
“Baiklah, akan kulihat seberapa kerasnya perjuanganmu, Bung.” Nisa menepuk pelan dashboard mobil Ilham.
“Doakan semoga Abang kuat berjuang, Dek.” Ilham justru semakin mengikuti arus kegilaan Nisa, membuat mobil ramai oleh tawa mereka berdua.
“Eh, tapi ini Nisa serius tanya. Kak Ilham belum punya seseorang gitu kan? Calon istri, misalnya. Nisa takut aja gitu, ini kan Jogja, lingkungannya Kak Ilham.” Nisa menatap Ilham serius.
“Gak ada, Tazkiya Annisa.” Ilham menoleh, Nisa gelagapan dan segera menundukkan kepalanya begitu menyadari Ilham juga menatapnya.
“Kak Ilham jomblo? Ya Allah, orang Jogja pada kemana aja, ngebiarin spesies langka tetap jomblo selama ini?” Nisa terbahak dalam tunduknya.
“Kenapa endingnya nyebelin sih?” Ilham kembali fokus pada kegiatan menyetirnya.
“Kak Ilham masih gagal move on ama Hilya ya?” Lagi-lagi, Nisa memang memiliki mulut yang tanpa saringan apapun.
“Suka ngarang, aku masih fokus ama S2 aja.” Ilham menggelengkan kepalanya sembari terkekeh. Ia tak kaget jika Nisa tau permasalahan hatinya dengan Hilya, bertahun-tahun silam. Sejak masa kuliah S1, Ilham telah paham jika persahabatan Nisa dan Hilya tak tersekat oleh apapun.
“Kamu sendiri, kenapa masih jomblo juga? Gak iri ama Hilya?”
“Iri? Bukan pribadi Nisa sama sekali. Setiap orang memiliki takdirnya sendiri-sendiri, Kak. Dan barangkali, takdir Nisa sekarang masih diijinkan untuk berleha-leha lebih lama. Nisa masih suka main.” Nisa terkekeh.
“Harusnya Kak Ilham yang duluan, udah bertahun-tahun lulus S1, nunggu apa lagi sih?” Nisa melanjutkan ucapannya dengan kalimat pertanyaan.
“Nunggu yang cocok. Lagian, laki-laki itu lebih santai daripada perempuan, Nis. Jalan hidup kita lebih panjang. Semakin dewasa, semakin matang fikiran kami, semakin banyak kriteria yang kami jadikan patokan.” Ilham berucap serius. Nisa mengangguk-angguk paham.
“Kak, Nisa gak nyangka ngobrol langsung ama Kak Ilham bakal seseru ini. Sayangnya, rumah Nisa udah mau sampek. Itu yang nomor dua dari pos satpam.” Nisa menunjuk sebuah rumah megah di komplek perumahan.
“Eh, sampek gak kerasa. Untung maps yang kamu kasih bener dan gak mengganggu obrolan kita.” Ilham terkekeh, begitu pula Nisa.
“Nisa turun ya, Kak. Kak Ilham mau mampir dulu ato gimana?” Nisa membuka seatbelt begitu mobil Ilham berhenti di depan pagar rumahnya.
“Gak usah, lain kali mungkin.” Ilham menolak sembari tersenyum singkat.
“Makasih ya, Kak. Nisa duluan, assalamualaikum.” Nisa turun dari mobil Ilham sembari mengucap salam.
Nisa masih berdiri di depan pagar rumahnya sampai mobil Ilham benar-benar menghilang dari pandangannya. Ia terlalu banyak tersenyum bahkan tertawa hari ini. Dan, lelaki yang penah menyukai sahabatnya beberapa tahun yang lalu itulah tersangka yang membuatnya demikian. Nisa tak habis fikir, kemana Ilham yang kata Hilya seorang lelaki tak kenal wanita? Enggan mengobrol dengan lawan jenis? Mengapa Ilham yang ada di hadapannya sesiang ini justru Ilham yang ramah dan seru sebagai lawan bicara? Jadi, Hilya yang salah bercerita, atau Ilham yang berubah menjadi sosok berbeda?*****
Suara Ilham-Nisa mana?
Suara Fatih-Nisa mana?
Suara Ilham-Naya mana?
Suara Fatih-Naya mana? 😝😝
Jangan lupa bersyukur, jangan lupa beri bintang dan komentar, jangan lupa juga tetap jadikan Allah satu-satunya tempat bersandar.😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahmid Cinta Nisa (Sudah Terbit)
SpiritualNisa telah ikhlas. Demi apa pun, ia telah mengikhlaskan perasaannya. Ia baik-baik saja dan bahagia untuk sahabatnya. Masalah ia yang masih betah menyendiri sama sekali bukan karena hatinya yang pernah patah. Nisa memang masih ingin menyendiri saja...