“Dimakan dulu buahnya, Alby. Kata bidan kemarin kamu harus banyak makan buah. Ini Mas udah beliin loh.”
“Ya Allah, Mas. Hilya udah makan buah dari tadi, Hilya punya kenyang juga. Lagian juga persediaan buah di kulkas masih banyak.”
“Mas belum liat kamu makan buahnya.”
“Kan Mas barusan pulang ngajar, ya mana bisa liat.”
Nisa menghembuskan nafas pelan melihat pasangan di sampingnya. Dosen yang dulu ia kagumi mati-matian karena sikap coolnya itu kenapa sekarang justru terlihat manja-manja menggemaskan?
“Pak Ustaz Kece gak ada cita-cita buat beralih dari ruang tamu ya? Ada bisnis sesama wanita ini, Pak.” Nisa mendengus sebal sembari melirik Hafid, suami Hilya. Lelaki itu terkekeh kemudian mengusap puncak kepala sang istri dan masuk ke dalam rumah.
Sore ini, Nisa bertamu ke rumah Hilya untuk berbagi cerita. Namun, baru setengah jalan ia membuka suara, lelaki tampan yang menjadi suami Hilya itu telah pulang dari mengajar dan merecoki istrinya, menjadikan Nisa seolah tak ada. Lelaki itu sibuk menyuruh Hilya menghabiskan sekotak buah segar yang baru saja ia belikan. Padahal demi apa pun, semenjak Nisa datang, Hilya sudah menghabiskan sepiring lebih melon dan pepaya macam simpanse. Nisa benar-benar sebal dengan dosen satu itu.
“Terus, Hil? Jadinya Ibu sama Ayah mau ke rumah Dhila kapan?” Nisa melanjutkan obrolannya yang sempat terputus.
“Seminggu lagi kayaknya. Bang Rafa masih sibuk banget akhir-akhir ini. Butiknya rame pelanggan, kan udah mau ramadhan terus lebaran. Belum lagi bengkel Bang Rafi yang akhir-akhir ini juga banyak pemasukan. Kantongnya lagi tebel si Abang ganteng mah.” Hilya terkekeh.
“Kamu ikut ke Boyolali? Ke rumah Dhila?” Nisa kembali bertanya.
“Belum tau juga, liat sikon. Perut segedhe ini susah mau kemana-mana, Nis.” Hilya mengusap perutnya.
“Lagian nih perut delapan bulan gedhe amat sih, Hil. Isinya lima ya?” Nisa terkekeh sembari ikut mengusap perut Hilya, ada tendangan kecil disana.
“Astaghfirullah, ya gak sebanyak itu, Nisa. Lima ngeluarinnya gimana?” Hilya menatap Nisa horor. Nisa terbahak kali ini.
“Apa kamu aja sana yang ikut ibu ke rumah Dhila.” Hilya memberi usulan.
“Lah? Kok malah aku? Aku siapa?” Nisa mengelak.
“Mewakili aku, kan kamu sahabat aku.” Hilya tersenyum merayu.
“Aku sahabatnya Dhila juga, mending aku ke rumah Dhila langsung aja. Lebih deket juga dari Salatiga. Ya kali, masak aku dari Salatiga ke Semarang buat ntar ke Boyolali, ngapain banget muter-muter.” Nisa memutar bola matanya.
“Terserah kamu aja deh.” Hilya terkekeh lagi.
“Hil,”
“Hem?” Hilya menoleh, mengernyitkan dahi menatap Nisa.
“Kalo di hati aku masih ada perasaan nyesek, meskipun dikit. Namanya udah ikhlas belum sih?” Nisa menunduk, memperhatikan kakinya yang bergerak-gerak.
“Maksud kamu? Emm... masih tentang Bang Rafa?” Hilya bertanya hati-hati.
“Maafin aku, Hil. Demi Allah, aku udah sekuat hati ngusir rasa ini. Harusnya udah gak ada lagi, tapi kenapa aku masih sakit denger Bang Rafa mau ngekhitbah Dhila?” Nisa semakin gencar menggerak-gerakkan kakinya.
“Nis, ikhlas kata Mas Hafid itu gak keliatan. Selama kamu masih ngomong ‘aku udah ikhlas’, selama itu juga kamu belum benar-benar ikhlas.” Hilya mengusap lembut lengan Nisa.
“Percaya sama aku, Nis. Ada seseorang yang jauh lebih baik dari Bang Rafa dalam segi apa pun di luar sana, dan seseorang itu lagi nungguin kamu.” Hilya masih mengusap lengan Nisa.
“Doain aku, Hil.” Nisa bergumam pelan.
“Tanpa kamu suruh pun, aku ngedoain.” Hilya tersenyum tulus.
*****
“Dhilaaaaaaa.... Ya Allah, demi apa kamu dilamar Bang Rafa? Abang gantengnya Hilya?” Hana memukul pelan lengan Dhila.
“Dhil, sumpah jujur ke aku. Kamu emang udah ada sesuatu ama Bang Rafa dari dulu ya?” Kali ini Niswa yang memukul lengan Dhila.
“Demi Allah gak ada. Ya emang udah jalannya aja aku ama Bang Rafa.” Dhila mengusap lengannya yang dipukul oleh Hana dan Niswa.
“Nis, diem aja dari tadi. Kamu gak kaget pas denger kabar Dhila ama Bang Rafa?” Hana menatap Nisa yang hanya terdiam di pojok kamar Dhila.
“Kaget lah, masak gak kaget.” Nisa tersenyum. Ia tak berbohong, ia memang terkejut dengan fakta ini. Ia tau jika Rafa memiliki rasa pada Dhila. Namun, ia tak tau jika mereka berdua memang benar-benar akan berakhir bersama.
“Kamu gak malu, Nis? Ini Dhila loh. Orang yang cueknya ama cowok masya Allah. Masak iya dia ngelangkahin kamu.” Niswa memanas-manasi.
“Iya ih, gak sopan anak ini.” Nisa bangkit, ikut menepuk lengan Dhila yang lagi-lagi membuat gadis itu bersungut-sungut.
“Kalian malah pada sibuk mukulin calon kakak ipar aku sih, gak liat apa muka dia gugup setengah mati gitu?” Hilya yang baru saja memasuki kamar Dhila tertawa.
“Heh, bumil. Kok bisa sampek sini? Katanya tuh perut udah susah dibawa kemana-mana.” Nisa melirik Hilya dengan tatapan mencibir.
“Kangen kalian, pengen reunian. Maksa Mas Hafid deh.” Hilya memamerkan rentetan giginya.
“Dasar bumil bandel, tapi gakpapa, aku kangen.” Hana memeluk Hilya, begitu pula Niswa.
“Jangan kenceng-kenceng, bayi aku kecepit.” Hilya mendorong kedua sahabatnya. Diantara mereka berlima, rumah Hana dan Niswa lah yang paling jauh. Hana di Jepara dan Niswa di Lamongan. Wajar jika mereka jarang bertemu usai wisuda.
“Hai, Kakak ipar. Gak usah tegang-tegang. Cuma dilamar Bang Rafa aja tegang, udah sering bareng-bareng juga. Bayangin aku dulu dilamar ustaz kece yang aku gak kenal sama sekali.” Hilya menghampiri Dhila yang sedang tegang di atas ranjang.
“Hil,”
“Eh, Dek Hil manggilnya. Bang Rafa kalo manggil aku gitu.” Hilya membenahi panggilan Dhila, lagi-lagi terkekeh.
“Bumil manja emang.” Niswa mencibir.
“Bodoamat.” Hilya menjulurkan lidah, tak peduli.
“Aku milih Bang Rafa udah bener belum sih, Hil?” Dhila menatap Hilya serius.
“Tanya ke Nisa coba.” Hilya justru menggerakkan kepalanya ke arah Nisa.
“Kok aku? Kan kamu yang adiknya Bang Rafa.” Nisa menatap Hilya dengan ekspresi tak suka.
“Ya kan aku cuma nyuruh kamu berpendapat.” Hilya mengendikkan bahu cuek, sengaja memancing kekesalan Nisa.
“Bang Rafa baik, kamu gak salah milih Bang Rafa.” Nisa memilih menjawab, enggan meladeni keisengan Hilya.
“Eh, ada suara mobil. Bang Rafa udah dateng kali ya?” Hana berlari kecil ke arah pintu kamar, mengintip.
“Dhil, beneran Bang Rafa.” Hana kembali ke sisi Dhila. Dhila terlihat gugup.
“Udah sana keluar, ntar kita-kita nyusulin.” Nisa mengusap pundak Dhila, tersenyum tulus. Dhila mengangguk pelan dan melangkah keluar kamar. Ia telah memantapkan hati.
“Ikhlas ya, Nis? Biar hubungan Dhila ama Bang Rafa berkah.” Hilya berbisik lirih.
“Insya Allah.” Nisa tersenyum. Ia juga telah memantapkan hati.
****
Empat part sudah. Masih ada yang mau mantengin? Jangan lupa dimasukkan ke library yak. 😊😇
Jangan lupa juga Bintang di pojok dan komentarnya ditekan. 💕❤
Terakhir,
Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar. 💞❤💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahmid Cinta Nisa (Sudah Terbit)
SpiritualitéNisa telah ikhlas. Demi apa pun, ia telah mengikhlaskan perasaannya. Ia baik-baik saja dan bahagia untuk sahabatnya. Masalah ia yang masih betah menyendiri sama sekali bukan karena hatinya yang pernah patah. Nisa memang masih ingin menyendiri saja...