“H-2 masuk sekolah, dan kamu baru aja balik ke Salatiga? Jadi Ustazah Nisa yang cantik, gerangan apakah yang membuat anda begitu betahnya di Yogyakarta?” Fatih memasang ekspresi berpura-pura serius, membuat Nisa tertawa.
“Citra anaknya Simbok yang kuliah di Surabaya liburan ke Jogja, Mas. Kita berdua pas kecil main bareng terus kemana pun, jadi ya Nisa betah di Jogja, ada temennya.” Nisa menjelaskan sembari tersenyum.
“Aku sampek kepikiran kalo kamu bakal pindah ke Jogja dan gak ngajar lagi di Mts.” Fatih terkekeh.
“Ya enggaklah, Mas. Nisa mana bisa ninggalin Bella, Rozaq, Kania, Anis, dan anak-anak lainnya.” Nisa mengabsen murid-muridnya masih dengan senyum yang sama.
“Aku tau, kamu mencintai mereka bahkan melebihi cinta pada diri kamu sendiri.” Fatih menggeleng-gelengkan kepala.
“Lah itu paham.” Nisa terkekeh.
“Langsung ke kost? Apa mau kemana dulu?” Fatih bertanya sembari menenteng ransel Nisa.
“Ke kost aja, Mas. Nisa udah capek.” Nisa menenteng plastik hitam berisi oleh-oleh khas Jogja sembari mengikuti langkah Fatih.
Nisa baru saja kembali dari Yogyakarta, menggunakan transportasi kereta api sampai Semarang kemudian lanjut menaiki bus dari Semarang menuju Salatiga. Nisa telah terbiasa dengan angkutan umum apa pun. Ia bisa saja meminta Pak Sutan, sopir pribadi keluarganya untuk mengantar, namun itu terlalu merepotkan, dan ia tak suka merepotkan orang lain. Fatih menjemputnya di terminal Tingkir ini pun, karena lelaki itu memaksa. Nisa awalnya tak mau, namun lelaki itu gigih sekali sampai ia tak tau bagaimana lagi caranya menolak.
“Mas Fatih lebaran gak mudik?” Nisa membuka obrolan begitu mobil Fatih bergerak meninggalkan terminal. Ia tak bisa berada dalam suasana hening terlalu lama.
“Kan aku asli Salatiga, Nis. Mudik kemana lagi?” Fatih tertawa mendengar pertanyaan Nisa.
“Ya siapa tau nenek atau kakeknya Mas Fatih bukan orang Salatiga.” Nisa mencoba mencari celah untuk pertanyaannya.
“Aku tujuh turunan orang Salatiga, Nis. Makanya besok kalo mau cari istri yang luar Salatiga, bosen Salatiga-an terus.” Fatih terkekeh.
“Pingin keluar dari Salatiga gitu maksudnya?” Nisa menatap Fatih dari samping. Fatih terlihat mengangguk.
“Wah, gagal Nisa mau daftar jadi calonnya. Nisa orang Jogja tapi pingin tinggal di Salatiga, asri sih.” Nisa tertawa ringan.
“Ya udah, kalo kamu mau tinggal di Salatiga juga gakpapa. Aku gak keberatan tinggal dimana pun asal sama kamu.” Fatih berucap mantap.
“Uluuhhhhh, Nisa terharu. Ngehubungin WO sekarang ayo.” Nisa terbahak. Fatih dan ucapannya selalu menjadi lelucon baginya. Nisa hanya tak tau, Fatih sungguh benar-benar berharap jika Nisa mengucapkan ajakannya sepenuh hati.
*****
“Ustazah Nisa, dipanggil Ustaz Bahrul di ruangannya.” Nisa mendongak menatap Dyah, Ustazah yang baru saja menjadi mama muda itu tersenyum ke arahnya.
“Eh, ada apa ya, Ustazah?” Nisa mengernyitkan dahi. Ini hari pertamanya kembali mengajar setelah libur tiga minggu, dan ia sudah dipanggil ke ruang kepala sekolah? Urusan apa?
“Kurang tau juga, Ustazah. Tadi Ustaz Bahrul cuma bilang itu ke saya.” Dyah mengendikkan bahu, ia memang tak tau alasan kepala sekolah memanggil kawan mengajarnya yang cantik itu.
“Ustaz Bahrul udah dari tadi nyuruhnya, Zah?” Nisa justru kembali bertanya, tak kunjung menemui kepala sekolahnya.
“Tadi pas habis halal bihalal beliau ke ruang guru, nyari Ustazah Nisa. Tapi Ustazah Nisa gak ada, masih di kelas halal bihalal sama anak-anak kayaknya.” Dyah menjelaskan.
“Iya, saya tadi ke kelas 7B dulu, nemuin anak-anak. Kangen, Zah.” Nisa tersenyum. Ia memang rindu dengan murid-murid 7B-nya. Ia menjadi wali kelas disana.
“Ya udah mending ditemuin sekarang aja, Zah. Siapa tau Ustaz Bahrul udah nunggu.” Nisa mengangguk dengan perintah Dyah. Ia segera berdiri dan keluar menuju ruang kepala sekolah. Entah apa pun urusannya, Nisa mendadak merasa hatinya tak enak.
*****
“Assalamualaikum, Ustaz? Benar Ustaz memanggil saya?” Nisa mengetuk pelan pintu ruangan kepala sekolah dan membukanya.
“Eh, waalaikumsalam, Ustazah Nisa. Iya, silahkan masuk.” Bahrul, sang kepala sekolah mengangkat kepala sejenak, kemudian mengangguk mempersilahkan Nisa masuk.
“Apa kabar, Ustazah? Bagaimana liburannya? Menyenangkan?” Bahrul menyingkirkan kertas-kertas yang sedari tadi ditekuninya ke sisi kiri meja.
Nisa tau bahwa lelaki yang hampir pensiun dari pekerjaannya itu sedang berbasa-basi. Ia paham jika ada masalah lain yang membuat lelaki itu memanggilnya ke ruangan ini.
“Kabar baik alhamdulillah, Ustaz. Liburan saya menyenangkan juga.” Nisa ikut tersenyum menjawab basa-basi Bahrul.
“Lebaran, berlibur dengan siapa saja, Ustazah Nisa?” Bahrul menatap Nisa, masih dengan senyum yang sama. Nisa menghembuskan nafas pelan, sepertinya ia telah paham arah pembicaraan sang kepala sekolah.
“Dengan kerabat di Jogja, Ustaz.” Nisa menjawab tenang. Ia tidak berbohong, ia memang menghabiskan liburannya dengan Citra dan Gladis di Yogyakarta.
“Ada apa, Ustaz?” Nisa kembali bersuara ketika Bahrul menanggapi jawabannya hanya dengan anggukan kepala.
“Saya bingung ingin memulai pembicaraan dari mana, Ustazah.” Bahrul terlihat ragu. Ia mengusap janggutnya yang mulai memutih sebagian.
“Utarakan saja yang ingin Ustaz tanyakan. Insya Allah saya jawab semampu saya.” Nisa tersenyum sembari mengangguk pelan, meyakinkan sang atasan.
“Baiklah, jadi begini, Ustazah Nisa. Saya kira Ustazah masih ingat dengan peraturan-peraturan bagi pengajar di yayasan ini. Salah satunya, dilarang memiliki hubungan spesial dengan sesama pengajar.” Bahrul terlihat mengehembuskan nafas pelan, gurat ragu masih terlihat di wajah sepuhnya.
Nisa tersenyum, sejak pertanyaan pertama yang Bahrul ajukan, ia telah paham apa yang akan mereka bicarakan.
“Ustazah Nisa memiliki hubungan spesial kah dengan Ustaz Fatih?” Bahrul meneruskan ucapannya, masih dengan nada penuh keraguan. Ia takut pertanyaannya memojokkan Nisa. Ustazah muda yang tengah duduk tenang dengan wajah penuh senyum di hadapannya ini adalah kader pengajar terbaik. Ustazah cantik yang selalu ceria, disenangi oleh banyak siswa, dengan metode pengajaran yang seru dan membuat siapa pun bahagia. Bahrul tak sampai hati jika harus membuat gadis yang bahkan telah ia anggap seperti anaknya sendiri itu tak nyaman.
“Kami berteman, Ustaz. Hubungan saya dengan Ustaz Fatih sama dengan hubungan saya dengan Ustaz Bahrul, Ustazah Dyah, Ustaz Mustofa dan para pengajar yang lain. Kalau pun ada yang mengatakan pertemanan kami jauh lebih dekat dibanding dengan pertemanan pada pengajar lain, itu karena kami sama-sama pengajar muda disini. Saya merasa nyaman mengobrol dengan Ustaz Fatih karena obrolan kami terasa searah, sudah itu saja. Tidak ada hubungan spesial seperti yang Ustaz Bahrul tanyakan.” Nisa masih dengan senyum yang sama. Ia sungguh tidak merasa terintimidasi sedikit pun. Nyatanya, memang itu yang ia rasakan.
“Kalau begitu, saya boleh minta tolong? Tolong jangan sering berpergian berdua saja dengan Ustaz Fatih seperti kemarin.” Bahrul memberikan tatapan memohon pada Nisa.
“Maksud Ustaz?” Nisa mengernyitkan dahi.
“Ada seseorang yang melaporkan kepada saya kalau Ustazah Nisa sedang berjalan berdua dengan Ustaz Fatih kemarin.” Bahrul memutar-mutar bolpoin di atas mejanya.
“Ustazah Ira?” Nisa jelas paham dengan seseorang yang dimaksudkan oleh kepala sekolahnya. Siapa lagi jika bukan Ustazah pengajar matematika itu? Nisa paham jika rekan mengajarnya yang satu itu tak menyukainya, entah dengan alasan apa. Seharusnya, ada tiga pengajar muda dalam sekolahan yang ia ajar. Namun, bagaimana bisa Nisa memiliki obrolan searah dengan Ira jika gadis itu selalu menatapnya dengan tatapan tak suka?
“Baiklah, kali ini saya tidak lagi berbicara sebagai kepala sekolah. Saya berbicara sebagai ayah. Nisa, kamu paham kalau saya begitu menyayangi kamu, lebih dari sekedar hubungan atasan dengan bawahan. Kamu seperti putri saya, itulah sebabnya saya selalu menulikan telinga atas gosip-gosip yang bertebaran tentang kamu.”
“Namun, saya tak bisa selamanya menulikan telinga, Nak. Saya pemimpin disini, pemegang kebijakan. Maka akhirnya, saya memanggil kamu kesini. Dunia kerja memang kejam, Nak. Beberapa orang mungkin menyukaimu, namun beberapa yang lain tentu saja tidak. Selalu ada pro-kontra dalam hidup ini. Orang-orang yang tidak menyukaimu itu, akan selalu berusaha mencari-cari kesalahanmu, tak peduli sekecil apapun itu.”
“Dalam kasus ini, saya melihat Ustazah Ira lah yang berada dalam kubu kontra. Sebegitunya ia membenci kamu, entah apa alasannya. Ia selalu saja meminta peraturan yayasan ditegakkan setiap kamu membuat kesalahan sekecil apa pun. Dan kemarin, ia melihat kamu berjalan berdua dengan Ustaz Fatih, ia meminta kamu dikeluarkan dari yayasan. Tentu saja saya menolak, setiap penegakan peraturan ada tata caranya. Maka hari ini saya memanggil kamu, menasehati agar kamu bisa memperbaiki diri.”
Nisa berkaca-kaca, ia benar-benar terharu dengan setiap kalimat yang keluar dari lisan atasannya. Ia tak pernah menyangka jika di kelilingi dengan orang-orang yang menyayanginya setulus ini. Ia memang se-emosional itu, mudah tertawa, mudah terenyuh, mudah marah.
“Ustaz, terimakasih untuk kasih sayang Ustaz yang tulus, bahkan menganggap saya seperti putri Ustaz sendiri. Insya Allah saya akan memperbaiki diri, akan saya batasi pertemanan saya dengan Ustaz Fatih, akan saya junjung nama baik Ustaz. Sekali lagi saya berterimakasih dan minta maaf sebesar-besarnya.” Nisa bersuara pelan, terdengar parau. Ia sedang menyembunyikan tangis harunya.
“Nak, lakukan apapun yang membuatmu nyaman. Saya tidak memaksa, percayalah.” Bahrul tersenyum menatap Nisa. Gadis muda itu menunduk dalam, membuatnya terlihat ringkih.
“Terimakasih sekali Ustaz.” Nisa masih menunduk, enggan mengangkat kepala.
“Tetap anggap siapa pun sahabat, Nak. Tak peduli betapa orang itu tak menyukaimu. Saya sudah selesai, silahkan melanjutkan aktifitasmu. Hari ini para murid pulang lebih awal karena hanya memiliki jadwal halal bihalal. Kamu juga lekas pulang, istirahat yang cukup. Esok, kembali lah mengajar dengan aura ceria seperti biasanya.” Bahrul mengusap kepala Nisa pelan, menyalurkan rasa sayangnya. Ia hanya melihat Nisa seperti putri bungsunya yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Mereka berdua mirip sekali.
“Iya, Ustaz. Sekali lagi terimakasih sekali. Saya pamit, assalamualaikum.” Nisa mendongak menatap Bahrul dengan tatapan kagum, kemudian menganggukkan kepala pelan dan beranjak.
“Waalaikumsalam.” Bahrul menjawab singkat sembari menatap Nisa yang telah melangkah keluar dari ruangannya.*****
Nisa kambekkkk.
Masih ada yang nunggu kah?
Jangan lupa voment,
Jangan lupa tetap jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar .😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahmid Cinta Nisa (Sudah Terbit)
SpiritualNisa telah ikhlas. Demi apa pun, ia telah mengikhlaskan perasaannya. Ia baik-baik saja dan bahagia untuk sahabatnya. Masalah ia yang masih betah menyendiri sama sekali bukan karena hatinya yang pernah patah. Nisa memang masih ingin menyendiri saja...