Kejutan untuk Hati

3.5K 420 85
                                    

“Kamu nginep sini aja ya, Nduk. Nanti tidur di kamarnya Fafa sama Sabila. Bisa ganti pake bajunya Fafa juga, kayaknya kalian seukuran.” Nisa yang tengah mencuci piring bersama Fafa di dapur menoleh, menatap Farida yang sedang duduk di sebuah kursi dekat rak piring.

“Gak usah aja, Ummi. Besok Nisa udah harus balik ke Salatiga biar Seninnya bisa ngajar. Nisa udah bolos ngajar Sabtu kemarin.” Nisa menatap Farida dengan senyum sungkan.

“Lah, itu malah kebetulan to, Nduk. Biar besok dianter Ilham ke stasiun atau terminal. Oh, atau ke Salatiga sekalian?” Farida justru tersenyum bahagia mendengar alasan Nisa.

“Aduh, mboten usah (tidak usah), Ummi. Nisa malah semakin merepotkan. Nisa pulang ke rumah aja. Lagian, masak Nisa ke Jogja gak mampir ke rumah sama sekali.” Nisa kembali menolak.

“Kamu kan udah sering nginep di rumahmu, kalo di rumah Ummi kan belum pernah. Sekali-kali lah cobain nginep di rumah Ummi. Masalah ijin, sini Ummi minta nomer telfon ibu kamu, biar Ummi yang ijinin.” Farida masih kukuh meminta Nisa untuk menginap di rumahnya.

“Eh, gak usah, Ummi. Biar Nisa yang ijin sendiri ke Mama.” Nisa seketika menolak. Mengijinkan ke mamanya? Nisa merasa hatinya tiba-tiba teriris. Wanita yang melahirkannya itu entah sedang berada di rumah atau sibuk mengurus usahanya. Sekali pun sedang berada di rumah, Nisa juga tidak yakin jika mamanya masih mempedulikan apakah putri bungsunya hendak pulang atau tidak. Mama dan dunianya yang tak pernah bisa Nisa pahami.

“Jadi kamu setuju nginep disini, kan?” Farida berbinar.

“Eh,”

“Udah, Kak Nis. Nginep sini aja, ntar semaleman Fafa ceritain keburukan-keburukannya Mas Ilham. Biar bisa mikir ulang, beneran mau sama Mas Ilham apa enggak.” Fafa terkekeh sembari membilas tangannya.

“Hust, kok malah ngumbar aib kakaknya sendiri.” Farida menatap Fafa dengan tatapan tak suka.

“Ya Allah, Ummi. Bercanda kali ah.” Fafa kembali terkekeh.

“Ummi, kesenengan ada Nisa disini sampek lupa minum obat. Ini diminum dulu.” Nisa, Fafa dan Farida serempak menoleh ke arah sumber suara. Ilham sedang berjalan menuju Farida sembari membawa segelas air putih dan beberapa tablet obat.

“Ummi katanya sehat? Kok ini minum obat?” Nisa yang telah mengusaikan kegiatan mencuci piringnya menghampiri Farida.

“Ummi sehat terus, Nis. Ilham aja yang nyuruh Ummi minum obat terus.” Farida menerima gelas air dari Ilham sembari terkekeh.

“Ummi aja yang suka bandel.” Ilham menggelengkan kepalanya sementara Nisa terkekeh.

“Oh ya, Mas. Tau gak? Kak Nisa mau nginep disini loh, mau tidur bareng Fafa sama Sabila.” Fafa menatap Ilham dengan wajah sumringah.

“Loh? Aku kan belum ngomong iya?” Nisa mengernyitkan dahi sembari menatap Fafa.

“Tadi udah bilang sama Ummi kalo mau ijin sendiri ke mamanya Kak Nisa? Hayo, Kak Nisa gak boleh php-in Ummi loh. Ummi udah terlanjur seneng denger Kak Nisa mau nginep sini.” Fafa menjulurkan lidah, terlihat menggoda Nisa.

“Nginep sini aja, Nis. Besok ke Salatiganya biar dianterin Ilham.” Farida kembali merayu Nisa usai menuntaskan kelima tablet obatnya.

“Eh, kok?” Ilham mengernyitkan dahi.

“Besok kan Ahad, kamu gak ada kerjaan.” Farida menatap tajam Ilham, seolah mengatakan bahwa putra sulungnya itu wajib menuruti perintahnya.

“Iya, Ummi. Insya Allah. Emang Nisa udah beneran mau nginep sini?” Ilham menatap Nisa sekilas sebelum kemudian kembali menunduk.

“Yaudah, Nisa mau nginep sini, gakpapa.” Nisa mengangguk sembari tersenyum singkat.

“Nah itu, dia mau.” Farida tersenyum sumringah.

“Eh ya, tadi rasa gurame gorengnya gimana?” Ilham terlihat mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan ibunya.

“Enak. Gak kayak masakan Ummi biasanya sih, kali ini lebih enak. Ummi tambahin bumbu lain? Ilham gak bohong, yang tadi enak banget.” Ilham mengangguk-anggukkan kepala, seolah mengingat rasa lezat dari gurame goreng favoritnya.

“Itu tadi bukan masakan Ummi. Masakannya Nisa.” Farida tersenyum lebar.

“Eh? Beneran?” Ilham membulatkan mata. Nisa mengangguk dalam tunduk. Entah mengapa hatinya menghangat mendengar pujian Ilham.

“Ummi udah tenang kalo gini, perut putra Ummi udah ada yang menjamin.” Farida lagi-lagi tersenyum lebar.

“Maksudnya, Mi?” Ilham mengernyitkan dahi.

“Gak ada maksudnya. Udah ah, Ummi keluar dulu.” Farida sekali lagi tersenyum lebar sebelum keluar dari dapur, meninggalkan Nisa, Ilham dan Fafa yang saling pandang dengan tatapan tak mengerti.

*****

Tazkiya Annisa:

Assalamualaikum, Ma. Nisa ke Jogja hari ini. Tapi maaf gak bisa mampir ke rumah, soalnya nginep di rumah temen.

Nisa menatap sebaris pesan yang baru saja ia kirimkan pada mamanya. Awalnya, ia merasa tak perlu ijin kepada perempuan yang telah melahirkannya itu. Lagi-lagi untuk apa? Mamanya belum tentu ada di rumah, belum tentu pula memedulikannya sedang ada dimana, sedang ada keperluan apa. Namun, Nisa terlanjur berjanji pada Ummi Farida untuk memohon ijin pada mamanya. Pesan tadi hanyalah formalitas sementara.

Nisa meluruskan pandangan, menatap beberapa santri yang terlihat berlalu-lalang di halaman pesantren. Ia sedang berada di balkon, menyendiri. Abah, Ummi, Ilham dan Fafa sedang mengajar madrasah diniyah, sementara Sabila dan Ishak sedang mengerjakan tugas di kamar mereka masing-masing. Nisa yang tak memiliki kegiatan memilih untuk mengelilingi rumah, kemudian berhenti di balkon lantai dua, tempat yang menurut Nisa nyaman. Ia bisa menatap santri-santri yang tengah melakukan kegiatan. Terkadang, beberapa santri terlihat mendongak dan menatapnya malu-malu, kemudian kembali menundukkan pandangan mereka. Nisa merasa lucu dengan semua itu.

Nisa melirik ponselnya sejenak. Ia menghembuskan nafas pelan, merasa menyesal telah berharap mamanya akan membalas pesan singkat yang ia kirim. Ia justru kecewa ketika mendapati tanda dua centang biru yang terpampang di layar ponsel. Pesannya hanya dibaca, tanpa mendapat balasan.

Nisa kembali meluruskan pandangan, membayangkan Ummi Farida dengan seluruh ketelatenannya dalam mengurus suami dan putra-putrinya. Mendadak, Nisa merasa iri dengan kehidupan Ilham dan ketiga adiknya. Betapa beruntungnya mereka, memiliki sepasang orangtua yang masih memperhatikan anak-anaknya di tengah kesibukan mengelola pesantren yang sedemikian pesatnya.

“Jogja gak sedingin Salatiga sih, wajar kamu malem-malem gini berdiri di luar tanpa ngerasa kedinginan.” Sebuah suara membuyarkan lamunan Nisa.

“Eh, Kak Ilham.” Nisa menoleh, tersenyum singkat menatap Ilham.

“Maaf ya, gara-gara dipaksa Ummi kamu jadi nginep disini.” Ilham melangkah mendekati Nisa di balkon, mengambil jarak beberapa jengkal dari tempat Nisa berdiri.

“Nisa gak dipaksa, Kak. Emang Nisa aja yang mau. Kayaknya Nisa lagi butuh suasana malam yang baru selain di kost-an dan balkon rumah.” Nisa terkekeh, kembali meluruskan pandangan.

“Kebanyakan alibi kamu.” Ilham ikut terkekeh dan meluruskan pandangan, menatap halaman pesantren.

Benerapa menit, Nisa dan Ilham sama-sama terdiam, sibuk menyelami fikiran masing-masing.

“Kak,”

“Nis,”

“Eh, Kak Ilham duluan aja.” Nisa tersenyum canggung mendapati ia dan Ilham membuka suara bersamaan.

“Kamu duluan aja.” Ilham ikut merasa canggung.

“Eh, enggak. Sebenernya Nisa gak tau mau ngomong apa, tadi  cuma mau buka obrolan aja biar gak sepi gini. Kayaknya Kak Ilham yang mau ngomong lebih penting.” Nisa menggelengkan kepala.

“Oke. Ehm, Nisa, kamu merasa gak nyaman sama keramahan Ummi yang berlebihan?” Ilham bertanya dengan nada hati-hati.

“Eh, enggak. Nisa gak ngerasa kayak gitu sama sekali. Nisa malah seneng banget sama keramahan Ummi.” Nisa menjawab pertanyaan Ilham dengan cepat. Ia tak berbohong, ia benar-benar merasa nyaman dengan keramahan Farida. Awalnya, ia memang sedikit merasa risih. Namun kemudian, ia justru merasa luar biasa nyamannya. Ia selalu menyukai ibu-ibu bersifat ramah karena ibunya tak pernah bisa seperti itu.

“Alhamdulillah, aku takut kamu gak nyaman sama Ummi.” Ilham tersenyum.

“Enggak, Kak. Nisa nyaman.” Nisa menekankan suaranya, berusaha meyakinkan Ilham jika ia memang benar-benar nyaman dengan Farida.

“Kalo kamu nyaman sama Ummi, kamu mau jadiin Ummi ibu kedua? Jadiin Abah ayah kedua? Dan jadiin aku orang pertama, di hati kamu? Mau, Nisa?”

“Uhukk... uhukk.”

Nisa sungguh tak tau saat ini ia sedang berada dalam posisi apa. Yang ia tau, ia hanya bisa menjawab pertanyaan Ilham dengan batuk yang tiba-tiba mendera.

*****
Nah, Nis. Tolak, plis tolak. Naya takut patah hati, Nis. Harusnya pertanyaan kek gitu buat Naya. Ilham mah salah orang 😥😥.
.
.
Jadi, gimana? Gantung? Biarin 😝.
Biar tau rasanya sabar menunggu 😂.
Udah ah, gitu aja dulu.
Jangan lupa bintang, komentar, dan jadikan Allah sebaik-baik tempat bersandar 😘😘😘.

Tahmid Cinta Nisa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang