Sebuah Permintaan

3.3K 366 29
                                    

Ilham Abdullah:

Nisa, aku lagi di Salatiga. Bisa ketemuan?

Nisa tersenyum singkat membaca pesan dari Ilham. Ia merasa lucu dengan kalimat ‘ketemuan’ yang lelaki itu tulis. Nisa menyadari satu hal, selama ini mereka berdua memang tak pernah menyengaja untuk saling bertemu, pertemuan-pertemuan mereka adalah pertemuan yang penuh dengan kebetulan.

Tazkiya Annisa:

Bisa, insya Allah. Nisa lagi gak sibuk kok hari-hari ini. Kak Ilham dimana emang?

Ilham Abdullah:

Nanti sore, bisa? Di cafe deket kampus kita dulu. Aku nginep di kontrakannya Faris. Kenal Faris?

Tazkiya Annisa:

Oh, oke. Nanti Nisa kabarin lagi ya. Gak kenal sih, cuma tau. Temennya Kak Ilham, kakak tingkat Nisa. Hehe.

Ilham Abdullah:

Iya, Faris yang itu. Yaudah, sampai ketemu ntar sore. Aku mau diajak Faris keluar sebentar.

Tazkiya Annisa:

Siap, Pak Bos.

Nisa bangkit dari bangkunya, membereskan beberapa lembar jawab ulangan siswa dan buku bahan ajarnya. Ia harus segera pulang dan beristirahat, sore nanti ia telah memiliki janji dengan seseorang.

“Langsung pulang, Nis?”

“Eh, astaghfirullah. Mas Fatih bikin Nisa kaget.” Nisa mengusap dadanya perlahan. Suara Fatih yang tiba-tiba menyapa ruang dengarnya membuat ia terkejut.

“Maaf.” Fatih terkekeh lirih.

“Iya, Nisa langsung pulang. Mas Fatih ngapain disini?” Nisa menatap Fatih sejenak. Lelaki itu sedang duduk santai di kursi panjang yang kebetulan ada di depan kelasnya. Usai mendapat penolakan dari Nisa beberapa minggu yang lalu, Fatih memang sedikit berbeda. Namun, komunikasi keduanya tetap berjalan seperti biasanya, tetap baik-baik saja.

“Nungguin orang.” Fatih tersenyum singkat sementara Nisa menganggukkan kepalanya. Nisa hendak pamit ketika tiba-tiba sebuah suara menyapa ruang dengar mereka berdua.

“Ustaz Fatih udah lama nunggu? Maaf, saya baru saja ke ruangan Ustaz Hamid sebentar.” Nisa dan Fatih serempak menoleh. Untuk sepersekian detik, Nisa mengernyitkan dahi menatap seseorang yang baru saja datang dan berdiri di sampingnya.

“Eh, Ustazah Nisa. Ngapain disini?” Ira, seseorang yang baru datang tersebut menatap Nisa dengan tatapan aneh.

“Ini kan ruang kelas saya, Ustazah Ira. Wajar kalo saya disini.” Nisa semakin mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Ira.

“Oh iya sih. Ustaz Fatih, kita pulang sekarang?” Ira menatap Fatih yang masih sibuk dengan ponsel di tangannya.

“Oke, sekarang.” Fatih bangkit dari duduknya.

“Aku pulang dulu ya, Nis.” Fatih mengangguk sejenak pada Nisa.

“Iya.” Nisa tersenyum membalas anggukan Fatih.

“Kami pulang bareng dulu ya, Ustazah Nisa. Mari.” Ira ikut tersenyum pada Nisa. Sebuah senyum yang menurut Nisa terkesan aneh. Entah hanya perasaannya saja atau memang benar adanya, Ira terdengar menekankan kata ‘bareng’ ketika berpamitan.

“Oh, iya. Hati-hati di jalan.” Nisa membalas senyuman Ira dengan senyuman tulus.

Beberapa detik setelah Fatih dan Ira berlalu, Nisa menyadari sesuatu. Ia merasa ada yang aneh dengan Ira. Tatapannya seolah ingin mengatakan sesuatu, namun Nisa tak tau apa yang hendak ustazah muda itu sampaikan. Nisa menggelengkan kepalanya pelan, berusaha mengusir seluruh prasangka buruk yang mampir di otaknya. Ia melangkah menuju tempat parkir, kemudian mengendarai sepeda motornya menuju kontrakan. Ia harus beristirahat.

*****

“Assalamualaikum, Kak. Maaf Nisa baru dateng, udah dari tadi?” Nisa tersenyum singkat  sebelum duduk di kursi depan Ilham. Ia sedikit terengah.

“Waalaikumsalam, iya gakpapa. Aku belum lama kok.” Ilham membalas senyuman Nisa, menatap singkat gadis yang tengah terengah itu.

“Belum lama? Ini pesenan makanan sampek udah dateng semua.” Nisa terkekeh menatap beberapa menu makanan di hadapannya.

“Iya, lumayan. Tapi gak lama-lama banget kok.” Ilham ikut terkekeh sembari menggaruk tengkuknya pelan.

“Jadi, ada acara apa di Salatiga? Tumben banget, kapan coba terakhir kali menginjak tanah Salatiga?” Nisa kembali terkekeh.

“Ada acara aja. Eh, makan dulu yuk, keburu dingin semua. Aku gak tau makanan yang kamu suka, jadi aku pesenin sama aja kayak aku. Gakpapa, kan?” Ilham kembali menggaruk tengkuknya, ragu jika ternyata pilihan menunya salah.

“Tenang, Nisa pemakan segalanya, Kak. Apa pun masuk ke perut Nisa, apalagi menu-menu yang bermandikan cabe gini.” Nisa menatap seporsi ayam yang entah apa namanya, namun dipenuhi oleh biji cabai. Liurnya hampir saja menetes.

“Kamu keliatan laper banget gitu. Udah makan dulu yuk.” Ilham terkekeh menatap ekspresi Nisa. Lelaki itu menghembuskan nafas lega menyadari jika pilihannya tak salah.

“Aslinya udah makan, tapi liat yang beginian jadi laper lagi.” Nisa tertawa lirih. Tangannya telah sibuk mengoyak daging ayam. Ilham menggeleng pelan, ikut tertawa lirih.

Beberapa menit setelahnya, Ilham dan Nisa disibukkan oleh menu ayam pedas mereka. Sesekali, mereka menertawakan ekspresi kepedasan masing-masing, kemudian saling mengingatkan untuk menjeda sesi kunyah dengan meminum segelas lemon tea jumbo. Sungguh makan sore yang menyenangkan.

“Kak Ilham suka pedes juga ternyata?” Nisa mengusap bibirnya dengan tisu usai menuntaskan tetes terakhir dari lemon tea jumbonya.

“Suka sih enggak, cuma doyan biasa aja. Alhamdulillah, perut gak ada riwayat yang aneh-aneh buat nerima makanan yang kayak ginian. Beda sama kamu.” Ilham mengusap keringat yang mengalir di dahinya sembari terkekeh.

“Kayak Nisa? Maksudnya?” Nisa mengernyitkan dahi.

“Maniak makanan pedes kan?” Ilham kali ini tertawa.

“Eh, iya sih. Abisnya, kalo makan yang gak ada pedes-pedesnya itu hambar.” Nisa ikut tertawa.

“Perut atau tenggorokan gak ada masalah sama makanan begituan?” Ilham menatap Nisa sejenak, kemudian kembali mengusap keringat yang tak kunjung berhenti mengalir di dahinya.

“Gak ada alhamdulillah. Eh ya, emang Kak Ilham ada acara apa di Salatiga?” Nisa memainkan sedotan yang ada di gelas kosongnya.

“Acara nemuin kamu.” Ilham tersenyum singkat menjawab pertanyaan Nisa.

“Ih, Nisa serius ini.” Nisa menatap Ilham dengan ekspresi sebal yang dibuat-buat.

“Aku juga serius Nisa.” Ilham justru membalas tatapan Nisa dengan ekspresi serius yang tak dibuat-buat.

“Apaan sih, Kak.” Nisa mengibaskan tangannya di depan wajah, menghalau tatapan Ilham. Jujur saja, ia merasa gugup ditatap sedemikian oleh lelaki yang bukan mahromnya.

“Ini beneran, Nisa. Kamu mau aku ajak pulang ke Jogja? Ketemu Ummi sama Abah?” Ilham memutus tatapan, kali ini menunduk menatap tangannya yang terlihat gemetar di bawah meja.

“Eh? Maksudnya?” Nisa mengernyitkan dahi bingung. Entah mengapa, perutnya yang baru saja kenyang mendadak terasa melilit.

“Ikut aku pulang ke Jogja. Ummi sama Abah nanyain kamu terus sebulan ini.” Ilham masih menunduk. Entahlah, ia tak pernah merasa sepengecut ini sebelumnya. Berbicara tanpa menatap lawan bicara? Ia tak pernah seperti ini. Ia bahkan menantang tatapan-tatapan tajam para profesor ketika sidang tesis seminggu yang lalu. Lalu kini, hanya di hadapan seorang Nisa mendadak ia merasa se-tidak percaya diri ini.

“Nanyain Nisa? Emang Ummi sama Abah kenal Nisa?” Nisa semakin mengernyitkan dahi.

“Kamu pernah ke pesantren, wajar kalo Ummi sama Abah kenal.” Ilham menjawab singkat.

“Nisa cuma sekali ke pesantren, itu pun kebetulan pas nemenin Citra. Untuk intensitas pertemuan yang hanya beberapa menit itu, atas dasar apa Ummi dan Abah sering menanyakan Nisa?” Nisa masih tak paham.

Kali ini Ilham tak menjawab pertanyaan Nisa, ia justru sibuk mengotak-atik ponselnya. Beberapa detik kemudian, ia menyodorkan ponselnya di hadapan Nisa, membuat gadis itu terbelalak.

“Kenapa foto ini ada di mana-mana? Nisa bahkan gak punya foto ini, loh. Sebenernya siapa sih yang curi-curi foto ini terus nyebarin?” Nisa menghembuskan nafas kesal.

“Aku juga gak tau. Sekitar sebulan yang lalu, Ummi sama Abah tiba-tiba ngasih tau foto itu ke aku. Sejak hari itu, beliau berdua gak ada berhentinya nanyain tentang kamu. Aku sampek bingung mau jawab apa dan gimana. Minggu-minggu ini aku lagi sibuk ngurus sidang tesis, jadi gak ada waktu banyak buat ngelurusin semuanya. Seminggu yang lalu, alhamdulillah sidang tesisku lancar, aku lulus, Nisa. Hari ini aku baru sempet ketemu kamu. Jadi, Nisa. Kamu mau ikut aku ke Jogja? Nemuin Ummi sama Abah?” Ilham menghembuskan nafasnya setelah berpanjang lebar.

“Buat apa Nisa ikut Kak Ilham ke Jogja?” Nisa tak mengalihkan tatapannya dari ponsel Ilham. Mendadak ia merasa takut menatap lelaki itu.

“Meluruskan keadaan, Nisa. Biar Ummi sama Abah gak nanyain kamu terus. Kamu bisa jelasin banyak hal ke beliau berdua.” Ilham menatap Nisa yang tengah menunduk.

“Nisa gak bisa ninggalin sekolah, Kak. Nisa udah gak punya jatah cuti bulan ini.” Nisa menggeleng pelan.

“Berarti bulan besok bisa?” Ilham mengajukan pilihan.

“Insya Allah sih.” Nisa menjawab ragu.

“Awal bulan besok tanggal 3, yang itu artinya seminggu lagi, aku wisuda S2. Aku bakal tersanjung kalo kamu mau dateng. Bisa?” Ilham menatap Nisa penuh harap. Entah mengapa, mendadak ia memiliki keinginan yang besar pada kedatangan Nisa.

Nisa menghembuskan nafas panjang, pikirannya berkecamuk. Ia ingin mengiyakan, namun merasa takut dengan sesuatu yang bahkan tak ia pahami. Ingin menolak, namun entah mengapa hatinya terasa ingin mengiyakan. Nisa berada di dalam dilema terbesar.

“Tazkiya Annisa?” Suara Ilham membuat Nisa tergagap seketika.

“Eh,”

“Bisa dateng di wisuda aku?”

“Insya Allah, Kak.” Akhirnya kalimat itu meluncur bebas dari bibir Nisa. Gadis itu mengiyakan, membuat Ilham menampilkan ekspresi sumringah luar biasa.

Tanpa sadar, Nisa menyentuh pelan dadanya. Ada detak brutal yang muncul disana usai menatap ekspresi bahagia dari lelaki di hadapannya. Dan Nisa, sungguh tak paham ia mengapa.

*****
Jadi, sudah berapa abad tak bertemu Nisa? 😅😅
Hai,assalamualaikum. Kangen Kayanya udah terobati kan? Eh, kangen Nisa maksudnya. 😂😂
.
.
Maaf Naya gak konsisten banget up di wattys. Beneran, kesibukan dunia nyata bikin lupa dunia Maya sementara. Maaf yaaaaa..
Jangan tagih kapan mau up lagi, nikmatin yang ini dulu aja.
Be syukr 😘😘.
Jangan lupa,
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 💞💞💞.

Tahmid Cinta Nisa (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang