Nisa menggeliat pelan, ia merasa tidurnya terganggu. Awalnya ia mencoba mengabaikan, namun pipinya yang seperti dicium oleh seseorang membuatnya membuka mata. Sedetik setelah matanya terbuka, senyumnya merekah seketika.
“Morning, Aunty Icha.” Seorang bocah cantik berusia enam tahun menyambutnya dengan senyum menggemaskan. Gadis itu lah yang menciumi pipinya sepagi ini. Nisa memang dipanggil Icha oleh keluarga besarnya. Bibir celat kakak keduanya berpuluh-puluh tahun yang lalu lah penyebabnya.
“Morning too, Gladis cantik.” Nisa bangun dari tidurnya dan tersenyum. Subuh tadi usai menunaikan kewajiban dua rakaatnya, ia kembali tertidur karena semalam matanya nyaris tak terkatup hingga sepertiga malam. Entahlah, ia bahkan merasa kesusahan memejamkan mata di rumahnya sendiri.
Ah ya, kembali pada bocah cantik yang mengganggu tidurnya. Nama bocah itu Gladis Anindya, putri dari kakak lelaki pertamanya. Gadis kecil yang cantik, menggemaskan dan aktif. Nisa selalu merasa melihat masa kecilnya ketika memandang bocah itu. Simbok bahkan tak pernah bosan mengatakan jika Gladis adalah kembaran Nisa dalam versi kecil.
“Kenapa ke kamar Aunty?” Nisa menarik Gladis pelan, memangku bocah itu.
“Aunty Icha dicari sama Kak Citra.” Nisa membulatkan mata bahagia mendengar jawaban Gladis. Ia senang mendengar Citra mencarinya. Citra adalah anak bungsu simbok. Teman sepermainan Nisa sejak kecil karena usia mereka yang hanya terpaut beberapa tahun saja.
Nisa dan Citra tumbuh di lingkungan yang sama, dengan lingkupan kasih sayang yang sama pula, kasih sayang dari simbok. Citra menghabiskan bangku pendidikannya di Yogyakarta, tinggal di rumah Nisa sampai ia duduk di bangku sekolah menengah pertama. Usai menuntaskan kewajibannya berseragam putih biru, simbok mengirim Citra ke sebuah pesantren di Yogyakarta, jadilah Nisa dan Citra terpisah. Selanjutnya, Nisa memilih menjadi sarjana di Salatiga sementara Citra di Surabaya, hal itu semakin membuat keduanya jarang bertemu. Libur lebaran seperti sekarang inilah satu-satunya waktu bertemu mereka.
“Kak Citra dari tadi?” Gladis terlihat mengangguk.
“Oke, terimakasih, Putri Cantik. Ayo kita turun menemui Kak Citra.” Nisa bangkit dari ranjangnya, merapikan selimut sejenak, kemudian menyambar dan segera turun menemui teman masa kecilnya sembari menggandeng tangan Gladis.
*****
”Citraaaaaaaa, aku kangen.” Nisa menghambur ke pelukan Citra begitu melihat gadis itu sedang sibuk membantu ibunya di dapur.
“Eh, Kak Icha. Ya Allah, kok sekarang makin cantik? Aku kaget liatnya.” Citra membalas pelukan Nisa.
“Alah, cantikan juga kamu.” Citra hanya terkekeh mendengar pujian Nisa.
“Eh, kamu baru dateng dari Brebes, kan? Ngapain ngikut Simbok di dapur? Simbok juga, pagi siang sore malem di dapur mulu. Ayo ah, kita ngobrol di depan tv.” Nisa menarik tangan simbok dan Citra, menggiringnya ke arah ruang keluarga. Bagi Nisa, tak ada batasan apapun untuknya dan simbok, begitu pula dengan keluarga simbok yang lain.
“Kamu kok gak ke Jogja dari kemarin bareng ama simbok?” Nisa membuka pembicaraan usai mereka duduk di sofa depan televisi.
“Kemarin masih ada urusan, Kak. Jadi bisanya sekarang. Simbok aku ajakin bareng hari ini gak mau, katanya keburu kangen Neng Icha, takut Neng Icha di Jogja cuma dua hari. Kadang aku sampek bingung, Simbok kok gak pernah kangen sama aku malah kangen ke Kak Icha terus. Padahal sama aku kan juga LDRan.” Citra memajukan bibir, pura-pura merajuk.
Nisa tertawa, ia terbiasa berinteraksi seperti itu dengan Citra. Citra tak pernah benar-benar marah atau merasa perhatian ibunya terbagi. Ia telah menganggap Nisa sebagai kakak, putri simbok juga.
“Duh, Icha makin sayang simbok deh. Sini Icha peluk.” Nisa memeluk erat perempuan semi senja di sampingnya.
“LDR itu apa to, Cit?” Pertanyaan polos simbok sontak membuat Nisa dan Citra terbahak.
“LDR itu istilah buat orang yang punya hubungan jarak jauh, Mbok.” Citra menjelaskan.
“Halah, bahasa anak jaman sekarang kok ya susah-susah.” Simbok menggeleng-gelengkan kepalanya. Nisa dan Citra kembali tertawa melihat ekspresi simbok.
“Kamu udah skripsian ya, Cit?” Nisa merubah haluan pembicaraan.
“Iya, Kak. Doain semester ini ntar wisuda ya.” Citra tersenyum lebar, terlihat sumringah.
“Amin, Ya Allah.” Nisa mengaminkan ucapan Citra.
“Mama sama Papa kemana, Mbok? Kok udah sepi?” Nisa mengedarkan pandangan. Seingatnya, semalam ia masih makan malam bersama mama, papa dan keluarga dari kakak pertamanya. Namun pagi ini, Nisa hanya melihat Gladis dan Kakak pertamanya saja.
“Ibu sama Bapak ke Cirebon, Neng. Ada yang harus diurus katanya. Berangkat tadi habis shubuh.” Simbok menatap Nisa dengan tatapan sendu.
“Subuh banget sampek gak sempet pamit ke Icha ya, Mbok?” Nisa tersenyum miris. Simbok segera mengusap pelan bahu Nisa. Wanita itu paham betapa nyonya muda yang telah ia anggap anaknya sendiri itu bersedih hati.
Nisa merasa sudut hatinya tercubit. Bukan ingin membandingkan, hanya saja mendadak Nisa ingat Ibu, wanita yang melahirkan Hilya. Ibu dan Ayah selalu berpamitan kepada putra-putrinya kemana pun mereka pergi. Pernah suatu hari ketika Nisa menginap di rumah Hilya, ibu dan ayah bahkan membangunkan Hilya dan Nisa yang tengah terlelap hanya untuk berpamitan pergi kondangan ke tetangga sebelah. Lalu kini, mama dan papanya yang bahkan pergi ke luar kota, tak menyempatkan barang semenit pun untuk berpamitan dengannya. Lelucon apa ini?
Nisa tak muluk-muluk. Ia tak meminta mama dan papanya bersikap macam ibu dan ayah yang setiap akan pergi kemana pun selalu berpamitan dan mengecup kening putra-putrinya. Nisa sungguh tak ingin berharap sejauh itu. Setidaknya, kedua orangtuanya mengucapkan salam, atau minimal menghubunginya lewat ponsel. Namun sepertinya, yang seperti itu hanya akan menjadi angan Nisa selamanya.
“Kak Icha, ikut aku pergi yuk.” Citra memecah keheningan dengan suara cerianya. Ia paham dengan apa yang Nisa rasakan. Maka sebisa mungkin, ia mencoba untuk menghibur majikan mudanya itu.
“Kemana?” Nisa menooleh lesu. Ia sudah tak seceria beberapa menit yang lalu.
“Aunty Icha sama Kak Citra mau kemana?” Gladis muncul dari kamar dengan ibunya dan langsung duduk di pangkuan Nisa. Bocah kecil itu begitu menyayangi tantenya.
“Ke pesantren Kak Citra waktu dulu, mau ya, Kak? Gladis mau ikut juga?” Citra tersenyum menatap Gladis.
“Hari ini? Oke deh, daripada aku jadi pengangguran di rumah.” Nisa mengangguk setuju.
"Eh tapi, emang mau ngapain kesana?" Nisa mengernyitkan dahinya.
"Kebetulan ada kajian hari ini, kajiannya yang ngisi putra sulungnya Abah Yai, Kak. Rugi kalo aku gak ikut. Mumpung lagi di Jogja juga. Lagian, aku juga belum sempet halal bihalal lebaran ini, nanti sekalian aja." Citra menjelaskan berpanjang lebar.
"Oh, oke deh." Nisa mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bun,” Gladis menoleh ke arah ibunya, meminta persetujuan untuk ikut. Jogja dan Aunty Icha kesayangannya tak boleh ia lewatkan.
“Asal gak boleh ngrepotin Aunty Icha.” Ferly, kakak ipar Nisa mengangguk, membuat Gladis bersorak riang dan seketika memeluk Nisa.
“Ya udah, kita siap-siap yuk.” Nisa segera bangkit menggandeng Gladis menuju kamarnya. Bocah cantik itu tersenyum sumringah.
*****
Nisa mau berangkat kajian dulu, sekali-sekali lah. Hehe.Ah ya, Naya lagi sedih denger berita sodara-sodara kita di Lombok. Semoga diberi ketabahan, kesabaran, dan semoga Allah segera mengangkat musibahnya ya. 😞😞
Eh, Naya bawa kabar baru juga.
Hafid-Hilya sekarang ada E-booknya loh. Mau info selengkapnya, cek aja di lapaknya Duo H, udah Naya umumin disana. Hihi.Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar. 😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahmid Cinta Nisa (Sudah Terbit)
SpiritualNisa telah ikhlas. Demi apa pun, ia telah mengikhlaskan perasaannya. Ia baik-baik saja dan bahagia untuk sahabatnya. Masalah ia yang masih betah menyendiri sama sekali bukan karena hatinya yang pernah patah. Nisa memang masih ingin menyendiri saja...