“Nis, kamu gak ikut sholat ied kan? Ntar pas sholat, aku nitip Habibi ama Haikal ya? Dua rakaat doang.” Hilya menatap Nisa dengan tatapan memohon.
“Siap grak, Ammah Nisa mah selalu siaga ama ponakan-ponakannya.” Nisa memasang pose tegap.
“Ah ya, aku juga nitip Keysha yah, Nis.” Kali ini, Dhila yang berjalan di samping kiri Nisa ikut bersuara.
Dhila telah melahirkan dua bulan yang lalu. Bayi perempuan yang cantik dan menggemaskan. Keysha Ashalina, namanya.
“Siap grak part dua. Ammah Nisa siap siaga.” Nisa terkekeh.
Hari ini, bertepatan dengan hari raya idul fitri. Alih-alih mudik ke Yogyakarta, Nisa justru berkunjung ke Semarang, ke rumah Hilya. Ia bahkan telah berada disana semenjak seminggu yang lalu. Ia merasa tak perlu berada di rumahnya sendiri pada hari pertama tabuh takbir dikumandangkan. Untuk apa? Kedua kakak dan keluarga mereka akan pulang ke rumah hari ketiga setelah lebaran. Mereka memilih merayakan lebaran di rumah mertua masing-masing. Kedua orangtuanya? Ah, sebenarnya Nisa malas membahasnya. Mereka masih saja jarang di rumah meski lebaran, paling hanya sehari atau dua hari saja. Lagi-lagi alasan yang sama, kesibukan berbisnis. Simbok? Perempuan yang mengurus Nisa sejak kecil itu harus pulang ke kampung halamannya di Brebes setiap kali lebaran. Jadi alasan apa lagi yang mengharuskan Nisa pulang? Menemui siapa? Merayakan euforia hari fitri dengan siapa?
Nisa memilih rumah Hilya. Selain karena ia dekat dengan ayah dan ibu, ia juga rindu pada keponakan-keponakan mungilnya. Berbulan-bulan yang lalu, Nisa hampir mati oleh rindu jika sehari saja tak menemui si kembar tampan duplikat dosen kerennya. Ia selalu saja singgah di rumah Hilya setiap pulang mengajar hanya demi menciumi pipi gembul kedua kembar tampan itu. Kegiatan yang sering sekali membuat Hafid gusar. Lalu dua bulan yang lalu, ia justru kembali dibuat jatuh cinta setelah menatap mata lebar dari bayi perempuan yang terlahir dari rahim Dhila. Keysha yang cantik dan menggemaskan. Bayi mungil yang hanya bisa terlelap dan meminum asi itu membuatnya benar-benar jatuh cinta, sampai lupa bahwa ia pernah memiliki perasaan yang sama pada ayah sang bayi.
Setelah berjalan beberapa menit dan sampai di masjid, Hilya menata peralatan bayi yang ia bawa sebelum menggelar sajadah, begitu pula Dhila. Mereka sengaja memilih shaf paling belakang di serambi masjid. Selain karena Nisa yang sedang halangan dan tidak boleh memasuki masjid, mereka memilih shaf itu agar mudah jika keluar untuk menimang-nimang bayinya.
Takbir pertama dikumandangkan. Nisa masih tenang mengawasi ketiga bayi berbeda usia di depannya. Ketiganya sama-sama terlelap. Beberapa menit kemudian tepat ketika imam sholat membaca surah fatihah, Haikal terlihat mengerjapkan mata, kembar bungsu Hilya itu terbangun.
“Duh, ponakannya Ammah yang ganteng bangun. Mau minum, Sayang?” Haikal mengangguk dan menerima botol susu dari tangan Nisa. Bocah lelaki itu duduk dan menikmati susunya.
“Mmah, ndak colat aya Ummu?” Nisa menggeleng sembari terkekeh mendengar pertanyaan Haikal. Suara celatnya benar-benar menggemaskan.
Habibi dan Haikal memiliki perkembangan yang berbeda. Habibi lebih cepat berjalan namun belum lancar berbicara, sementara Haikal lancar berbicara namun terhambat pada pergerakan, ia masih kesulitan melangkahkan kaki.
“Bang Ibi, angun. Bang Ibi...” Haikal mencubit pipi abangnya, mencoba membangunkan. Namun, Habibi tak membuka mata, ia hanya menggeliat sebentar, kemudian kembali nyenyak.
“Mmah, Bang Ibi ndak au angun.” Haikal menatap Nisa, membuat gadis itu terkekeh.
“Biar, Bang Ibi ngantuk. Ikal mau bubuk lagi? Ammah timang-timang mau?” Nisa mengulurkan tangannya.
“Ndak au, Ikal au ain ayeng Bang Ibi pun. Bang Ibi angun ih.” Kali ini, Haikal mencubit keras lengan kembarannya. Sayangnya, Habibi bukan hanya terbangun, namun juga menangis kencang. Nisa sontak saja gelagapan.
“Hust, cup cup. Bang Ibi gak boleh nangis.” Nisa mengangkat Habibi, memangkunya sembari menenangkan.
“Mmuuu... Huaaaa.” Tangis Habibi semakin kencang, ia memanggil Ummunya.
“Ummu lagi sholat, Sayang. Habibi gak boleh nangis, nanti ganggu orang sholat ya.” Nisa kembali menenangkan, sayangnya bocah itu tak mau berhenti dari tangisnya.
Belum juga masalah dengan Habibi selesai, Haikal mulai berulah.
“Mmah, Ikal au angku uga. Bang Ibi uyunn.” Bocah yang telah lebih dulu terbangun itu menarik kembarannya dari pangkuan Nisa, meminta gantian dipangku. Habibi semakin mengeraskan tangisnya.
Nisa mengusap wajahnya frustasi. Ia benar-benar bingung harus bagaimana. Satu bayi saja membuatnya bingung, apalagi ini dua? Belum selesai berurusan dengan buntut Hilya, Keysha yang merasa lelapnya terganggu oleh suara tangisan Habibi terbangun dan ikut menangis. Nisa benar-benar frustasi kali ini.
‘Ya Allah, hukuman apa ini?’
Nisa tak habis fikir bagaimana frustasinya Hilya dan Dhila mengurus bayi-bayi ini selama 24 jam berturut-turut. Ia yang baru beberapa menit mengurus saja berasa ingin kabur.
Nisa memilih menurunkan Habibi dan menggendong Keysha. Ia berharap semoga tak ada lagi yang cemburu diantara kedua kembar itu. Namun, dugaannya salah. Haikal justru menaiki kakinya, duduk di atas lutut kirinya. Habibi mengikuti sang kembaran, ia duduk di lutut kanan Nisa. Jadilah ia memangku tiga bayi sekaligus.Nisa mendesah frustasi. Kali ini, ia hanya memiliki satu keinginan.
Imam sholat segera mengucap salam agar bayi-bayi ini kembali ke pangkuan ibunya masing-masing.
*****
“Hil, tau gak? Beberapa bulan yang lalu, waktu Mbak Helen nikahan, kan aku diajakin ama Dhila tuh buat ikut kondangan, disana aku ketemu ama Gus Ilham.” Nisa duduk di samping Hilya yang sedang santai mengamati kedua buah hatinya bermain di atas karpet.
“Trus? Gus Ilham kenal kamu gak?” Hilya menoleh, menatap Nisa yang sedang asik melahap kue lebaran.
“Malah Gus Ilham yang nyapa aku duluan. Kunci mobil aku jatuh di deket toilet, untung ditemuin ama dia, habis itu kita ngobrol bentar. Tau gak? Awalnya Gus Ilham lupa ama nama aku, ingetnya cuma kalo aku temen deket kamu. Nyebelin gak sih?” Nisa mengerucutkan bibirnya, membuat Hilya tertawa.
“Ya kan emang gak pernah kenal ama kamu, Nis. Wajarlah.” Hilya masih tertawa lirih.
“Alah, alibi itu sih. Dasarannya dia aja yang gagal move on ama kamu. Liat aja, sampek sekarang dia masih jomblo, gak nikah-nikah. Padahal kamu aja udah punya buntut dua.” Nisa mencibir, lagi-lagi membuat Hilya tertawa.
“Dosa kamu ghibahin anak Kyai.” Hilya memukul pelan lengan Nisa.
“Biarin, abis ini tinggal minta maaf, selesai.” Nisa terkekeh kali ini.
“Oh, kalian masih nyambung sampek sekarang setelah ketemu di resepsi?” Hilya mengerutkan dahi menatap Nisa.
“Masih, Gus Ilham minta nomor WA aku waktu itu. Kita jadi sering tukar pesan sampek sekarang.” Nisa membuka kaleng roti yang lain, mencicip satu persatu varian rasa sembari mengobrol dengan Hilya.
“Oh, Gus Ilham sekarang dimana?” Hilya ikut mengambil kue yang baru saja dibuka oleh Nisa.
“Di rumahnya lah, kan sekarang lebaran.” Nisa terkekeh.
“Nisa ih, maksud aku setelah lulus dia kemana? Ngajar? Atau ngapain gitu.” Hilya cemberut menatap Nisa.
“Tenang dong, Mama muda. Sensian amat sih.” Nisa terbahak.
“Tau ah.” Hilya mengalihkan pandangan, kembali mengawasi kedua balitanya.
“Gus Ilham lanjut S2 sekarang, di Yogyakarta. Sambil ngajar juga sih.” Nisa menjelaskan kegiatan Ilham masih dengan sisa tawanya. Ia memang sering bertukar pesan dengan lelaki itu. Wajar jika sedikit banyak, ia paham kegiatan apa saja yang kakak tingkatnya itu lalukan akhir-akhir ini.
“Oh.” Hilya menjawab singkat.
“Bentar deh, ngapain coba kamu tanya-tanya? Jangan-jangan kamu gagal move on juga? Atau jangan-jangan kamu cemburu Gus Ilham sering tuker pesan ama aku?” Nisa memasang wajah dramatis yang dihadiahi Hilya oleh sebuah pukulan.
“Ck, banyak-banyak baca Qur’an sana. Kalo ngomong minta diruqyah ya. Gagal move on darimana yang kamu maksud? Tuh Ikal ama Ibi yang bikin aku gagal move on, ganteng ngalahin bapaknya sih.” Hilya mendecih sebal.
“Ya kali aja, Hil.” Nisa mengusap lengannya yang baru saja dipukul oleh Hilya.
“Aku ama Gus Ilham itu masa lalu, lalu banget malah. Masa kini dan masa depan aku cuma ada Mas Hafid, Habibi, Haikal dan mungkin adik-adik mereka nantinya.” Hilya tersenyum menatap Habibi yang terlihat membantu Haikal untuk berjalan, mereka berdua sedang berpegangan pada sofa.
“Aduh istrinya Pak Dosen yang makin hari makin bijak. Nisa takut ih.” Nisa kembali tertawa.
“Aku malah seneng denger cerita kamu ini. Siapa tau kamu ama Gus Ilham jodoh, iya gak sih? Eh tapi, ntar Mas Fatih taruh mana? Kamu ama Mas Fatih sebenernya gimana sih, Nis?” Hilya menatap Nisa.
“Apaan sih, Hil. Aku ama Gus Ilham baru aja ketemu beberapa bulan yang lalu, dan kita cuma bertukar pesan biasa. Aku ama Mas Fatih juga gak ada hubungan apa-apa. Mas Fatih udah aku anggep kakak sendiri. Dia baik banget.” Nisa mengendikkan bahu cuek.
“Kalo misal Mas Fatih yang nganggep kamu lebih?” Hilya masih enggan mengalihkan pandangannya dari Nisa.
“Gak usah mikir yang enggak-enggak, Hil. Aku aja gak pernah mikir sampek kesana kok.” Nisa mencibir.
“Lagian kamu betah banget sendiri, Nis. Liat, Hana aja habis ini udah mau sebar undangan. Niswa juga otw lamaran. Kamu kapan? Jangan-jangan kamu masih belum move on ama Bang Rafa ya?” Hilya menatap Nisa dengan ekspresi takut.
“Allahuakbar, anak ini. Ya enggak lah! Kalo aku belum move on ama Bang Rafa, tuh tiap liat Keysha bawaannya pengen aku buang. Lah ini, aku liat Keysha aja bawaannya pengen aku bawa pulang.” Kali ini, Nisa yang memukul lengan Hilya.
“Terus kenapa belum nikah-nikah?” Hilya masih mendesak.
“Ya Allah, Hilya. Emang nikah gampang? Aku masih nyari yang cocok dulu.” Nisa menatap Hilya gemas.
“Emang gak cocok ama Mas Fatih?” Hilya memasang senyum menggoda.
“Tau ah, Hil.” Nisa memajukan bibirnya, cemberut.*****
Lah kan, Nis. Pilih siapa coba? Buruan tentuin sih. Ilham apa Fatih? Ntar biar Naya bisa dapet salah satunya juga. Hehe.
Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar.😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahmid Cinta Nisa (Sudah Terbit)
EspiritualNisa telah ikhlas. Demi apa pun, ia telah mengikhlaskan perasaannya. Ia baik-baik saja dan bahagia untuk sahabatnya. Masalah ia yang masih betah menyendiri sama sekali bukan karena hatinya yang pernah patah. Nisa memang masih ingin menyendiri saja...