“Kak Ilham ngobrolin apa aja ama Pak Hafid?” Nisa menikmati es krimnya sembari menatap Ilham sekilas.
“Kenapa kepo?” Ilham menampilkan wajah jenaka.
“Cuma tanya aja, Kak. Nisa penasaran, harusnya kalian berdua kan jadi rival, ini kok malah bisa ngobrol asik berdua.” Nisa mengendikkan bahu sembari terkekeh kecil.
“Rival? Rival dalam hal apa?” Kali ini Ilham mengernyitkan dahi.
“Memperebutkan hati Hilya.” Nisa menjawab singkat sembari tertawa.
“Astaghfirullah, masih itu aja yang dibahas.” Ilham menatap Nisa gemas.
“Kan siapa tau masih nyimpen rasa.” Nisa masih tertawa.
“Kalo disebut memperebutkan, jelas Pak Hafid yang menang. Dan lagi, aku udah gak ada perasaan apapun sama Hilya. Jangan suka ghibah kamu.” Ilham menggeleng-gelengkan kepalanya, masih gemas pada Nisa.
“Kan Nisa cuma bilang siapa tau, kalo salah ya udah.” Lagi-lagi Nisa tertawa.
“Salah, udah ga usah dibahas-bahas lagi.” Ilham mengibaskan tangannya, seolah abai.
“Iya-iya yang udah move on.” Nisa mengangguk-anggukkan kepala sembari tertawa.
Beberapa menit, Nisa dan Ilham saling terdiam. Nisa yang sibuk menikmati es krimnya, dan Ilham yang sibuk mengedarkan pandangan menelisik jalanan, menunggu Nisa mengusaikan sekotak es krim demi mengembalikan moodnya. Mereka sedang duduk santai di sebuah kursi yang berada di depan minimarket.
“Kamu, Hilya, Hana sama siapa lagi yang dua? Itu kalian bikin geng gitu ya?” Ilham menoleh sejenak ke arah Nisa, kembali membuka obrolan.
“Aku, Hilya, Hana tambah Dhila ama Niswa, Kak. Bukan geng ih, kalo dibilang geng kok berasa kita anak-anak ibukota yang nge-hits itu. Kita cuma lima orang yang saling cocok satu sama lain, terus bersahabat dari awal kuliah sampek sekarang.” Nisa mengusap bibirnya dengan tisu, ia berhasil menuntaskan sekotak es krim tanpa sisa.
“Oh, tapi dari zaman kuliah dulu aku paling paham ama kamu loh. Kayaknya kamu yang paling sering kemana-mana bareng Hilya ya?” Ilham memperhatikan Nisa yag sedang membersihkan kotak bekas es krim.
“Iya sih, pas kuliah Nisa lebih sering bareng Hilya kemana-mana. Terus Hilya nikah, Nisa kemana-mana jadi ama Dhila. Abis wisuda Dhila nikah juga, Hana ama Niswa jauh dari Salatiga, ya udah Nisa sendiri. Kasihan bener ya jadi single.” Nisa tertawa.
“Disyukuri, kan jadinya masih bisa bebas kemana-mana sendiri.” Ilham terkekeh.
“Iya sih, Nisa jadi punya waktu banyak buat main.” Nisa ikut terkekeh.
“Oh ya, setelah aku lihat-lihat, kamu hampir mirip ama Hilya ya? Bukan wajahnya sih, lebih ke sifatnya. Kebanyakan kumpul bareng ya?” Ilham menatap Nisa sejenak, kemudian kembali memperhatikan jalanan.
“Kak Ilham orang ke-sekian yang bilang kayak gitu,” Nisa terkekeh sejenak sebelum melanjutkan ucapannya.
“Temen-temen kuliah kita berdua dulu banyak banget yang bilang gitu. Katanya Nisa ama Hilya itu sifatnya sama. Mungkin emang karena kita sering kemana-mana barengan sih. Malah, beberapa orang yang baru kenal kita sulit ngebedain mana yang Nisa, mana yang Hilya kalo kita pas gak barengan.” Nisa terlihat bersemangat menceritakan persamaannya dengan Hilya.
Nisa selalu senang jika ia disamakan dengan Hilya, begitu juga sebaliknya. Nisa dan Hilya sama-sama bahagia menjadi bayangan satu sama lain. Mereka berdua sama sekali tak terusik dengan persamaan yang selalu diungkapkan oleh teman-teman mereka.
“Oh, pantesan.” Ilham menganggukkan kepala singkat.
“Kak Ilham se-begitu cintanya ama Hilya ya? Eh, dulu maksudnya.” Nisa berkata pelan, ia takut pertanyaannya salah.
“Maksudnya?” Ilham menoleh, menatap Nisa sembari mengernyitkan dahi.
“Se-teliti itukah Kak Ilham memperhatikan keseharian Hilya? Sampek siapa aja yang deket ama Hilya, gimana sifat Hilya, dan banyak hal tentang Hilya yang Kak Ilham tau.” Nisa menjelaskan maksudnya pada Ilham, masih dengan suara pelan.
“Eh, es krim kamu udah habis kan? Balik ke acaranya Hana yuk. Kasian temen kamu udah pada nunggu.” Ilham bangkit dari duduknya, hendak melangkah mendahului Nisa.
“Eh, iya. Kita udah kelamaan disini.” Nisa ikut bangkit, menyusul Ilham yang telah beberapa langkah meninggalkannya.
Nisa berjalan dalam diam sembari menatap punggung Ilham. Ia merutuki pertanyaannya. Mengapa pula mulutnya tak terkontrol untuk memberikan pertanyaan semacam itu pada Ilham? Ilham membuat mood baiknya kembali muncul, sementara ia justru merusak mood baik lelaki itu. Lagipula, untuk apa ia membahas perasaan Ilham, meski hanya perasaan di masa lalu? Bukankah tidak ada hati yang benar-benar baik ketika ditinggal pergi? Bukankah perihal rasanya pada Rafa bertahun-tahun yang lalu, ia juga sedemikian? Ah, Nisa benar-benar merasa bersalah pada lelaki yang kini sedang berjalan di depannya itu.
*****
Ilham tersenyum menatap langit-langit kamar. Ia tengah membayangkan pertemuannya dengan gadis yang sesiang tadi berhasil menuntaskan sekotak es krim sendirian, hanya agar mood baiknya kembali. Porsi makan seorang gadis yang benar-benar menakjubkan, menurutnya.
Adalah Tazkiya Annisa, nama gadis itu. Gadis yang selalu Ilham panggil dengan nama lengkapnya. Entahlah, lidahnya senang sekali menyebut nama lengkap gadis itu. Gadis yang bersih, arti nama yang indah.
Ilham tak pernah menyangka jika ia masih akan berhubungan dengan Nisa hingga detik ini. Mereka hanya bertemu di sebuah acara resepsi sepupu Ilham, berbulan-bulan yang lalu. Nisa yang teledor karena tak menyadari kontak mobilnya yang terjatuh, dan Ilham yang kebetulan menemukan kontak tersebut. Momen paling menyebalkan bagi Nisa karena ia harus dianggap sebagai gadis teledor oleh Ilham. Dan sebutan gadis teledor benar-benar Nisa sandang ketika untuk kedua kalinya, ia bertemu dengan Ilham dengan kejadian hampir serupa. Nisa meninggalkan barang pentingnya di tempat umum, tanpa sengaja. Dan sebuah kebetulan lagi, Ilhamlah yang menemukan barang itu. Sejak saat itu, mendadak sifat teledor telihat begitu menggemaskan di mata Ilham, dengan catatan harus Nisa yang melakukannya.
Ilham seorang guru di sebuah Madrasah Aliyah, ia juga mengajar di pesantren yang diasuh oleh abahnya. Beberapa kali, ia menggantikan abahnya mengisi kajian pesantren. Selain kesibukan itu, ia juga tengah menempuh studi S2 di sebuah Universitas Negeri. Baginya, disiplin dan teliti adalah hal mutlak yang harus ada. Ia menetapkan bahwa dunianya dan dunia yang ada di sekelilingnya harus penuh dengan ketelitian. Namun, mengenal kawan dari seseorang yang pernah menghuni hatinya itu, membuat ia mendadak memaafkan segala keteledoran yang ada. Nisa menjadi pengecualian baginya.
Mengingat tentang seseorang yang pernah mengisi hatinya, membuat Ilham menghembuskan nafas pelan. Sebenarnya, ia masih kesulitan membedakan. Apa benar perempuan itu sekedar pernah menghuni hatinya, atau justru masih? Bertahun yang lalu, usai mendapat penolakan dari Hilya, Ilham sengaja menghilang. Ia menutup seluruh akses yang bisa menghubungkannya dengan perempuan itu, hatinya benar-benar tak baik-baik saja. ia terus berusaha mengusir Hilya dari hati dan fikirannya. Saat itu, Ilham berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia jatuh cinta untuk pertama kali dan harus patah hati untuk pertama kalinya pula di waktu yang sama.
Kemudian, beberapa bulan yang lalu, Allah mempertemukannya dengan Nisa. Bertemu Nisa sama dengan menyerahkan diri untuk kembali membuka akses dengan Hilya. Dan ternyata, Ilham tak benar-benar melupakan. Ia belum seikhlas itu melepas Hilya. Mendengar celoteh Nisa tentang kelucuan bocah kembar yang terlahir dari rahim Hilya, mendengar romansa Hilya bersama dosen karismatik mereka, mendengar kehidupan pernikahan Hilya, membuat Ilham merasa entah. Ia sedang merutuki hatinya, bisa-bisanya ia memikirkan istri orang lain. Ilham banyak meng-istighfari hatinya.
Ilham memang mulai membaca Nisa dengan pemahaman yang berbeda. Namun, pengaruh Nisa di hatinya tentu saja tak sebesar pengaruh Hilya. Ilham berbohong jika ia telah abai pada rasanya untuk Hilya. Mendadak, setelah bertahun-tahun ia melupakan, ia seolah kembali memiliki perasaan asing di hatinya. Rasa yang sungguh tak bisa ia jabarkan, rasa yang tak tau ia tujukan pada siapa.
*****
“Loh, Abah. Ini bukannya cah ayu yang pernah main ke pesantren beberapa bulan yang lalu to?” Seorang perempuan paruh baya berwajah teduh tersenyum sumringah menatap layar ponsel.
“Iya, Mi. Owalah, ternyata ini perempuan yang bisa bikin mbarepku kesengsem to? Cah ayu ini orangnya.” Seorang lelaki yang terlihat beberapa tahun lebih tua menyahuti ucapan istrinya.
“Lihat, Bah. Mbarep kita keliatan sumringah sekali jalan bareng cah ayu ini. Uma dapet foto ini dari siapa ya, Bah?” Perempuan berwajah teduh masih enggan mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. Ia terlalu bersemangat.
“Iya juga ya, Uma dapet foto ini dari siapa? Ini ndak bisa dibiarin terlalu lama loh, Mi. Kita gak bisa membiarkan si mbarep runtang-runtung terus sama cah ayu ini. Untung ini cuma Uma yang liat, gimana kalo orang lain? Bisa jadi fitnah. Kita harus segera menemui orangtua cah ayu ini. Lagipula, mereka berdua itu kan udah sama-sama cukup umurnya.” Sang suami menatap istrinya, berpendapat.
“Iya, Bah. Ummi setuju. Tapi kita tetep harus diskusi juga sama si mbarep, kapan dia siap.” Sang istri terlihat mengangguk sembari membalas tatapan suaminya.
“Iya, Mi. Pokoknya, lebih cepat lebih baik.”
“Ya Allah, Bah. Ummi gak nyangka bentar lagi punya menantu.”
Sepasang suami istri itu terlihat begitu bersemangat. Mereka tak bosan menatap sebuah foto yang baru saja dikirimkan oleh keponakan jauhnya. Foto putra sulung mereka bersama seorang gadis cantik, dimana keduanya sedang sama-sama tersenyum bahagia. Mereka berekspektasi terlalu tinggi pada hubungan yang sulungnya jalani. Mereka hanya tak tau, di dalam kamarnya, sang sulung justru sedang memandang atap dengan tatapan kosong, sibuk meraba rasa.*****
Cah Ayu: gadis cantik.
Mbarep: anak sulung.
Kesengsem: terpesona.
Runtang-runtung: jalan berdua.*****
Assalamualaikum,
Rindu aja, rindu banget, apa rindu sekali?😇😇.
Maafkeun Naya yang menghilang lama sekali.
Bangku perkuliahan mulai susah diajak kompromi, sok sibuk banget Naya.
Oh ya, ini masih ada yang nunggu si Nisa kan? Semoga iya!
Udah sih ya, Naya pamit.
Jangan lupa!
Tekan bintang, ramaikan komentar, dan tetap jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar. 😘😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahmid Cinta Nisa (Sudah Terbit)
EspiritualNisa telah ikhlas. Demi apa pun, ia telah mengikhlaskan perasaannya. Ia baik-baik saja dan bahagia untuk sahabatnya. Masalah ia yang masih betah menyendiri sama sekali bukan karena hatinya yang pernah patah. Nisa memang masih ingin menyendiri saja...