Bab XV ✅

1K 25 0
                                    

Kampung Girisono
17 September 2017

(Author's POV)

Seorang pria dengan udeng khas Jawa terlihat mondar mandir didepan rumahnya. Badannya agak bungkuk, seakan banyak beban yang kini tengah ia tanggung.

"Sek ngapo lho Kowe Wo." Pria yang lain bertanya sambil terkekeh.

"Asu lah. Demitku mati neh, padahal dilut neh Wulan suro. Mumet tenan aku." Pria itu mengetuk ngetik tongkatnya pada lantai, kesal.

"Ngopi pait sek lah. Demit lho sek akeh, selama cah kui sek urep. Demit soko ndi ndi balapan ngumpul neng kene. Tinggal pinter pintere Dewe golek bolo." Pria itu menawarkan kopi pada temannya.

Pria dengan udeng berdecih lalu duduk. Dia menyeruput kopi milik temannya tadi.

"Aku nduwe ide No." Pria berudeng itu memandang lekat temannya dengan senyum penuh kemenangan.

"Piye."

"Bapak e." Ucap pria berudeng sambil mangut mangut.

"Maksute piye Wo." Pria itu bingung.

"Hamadi kae kan murit e si Mangun. Jelas Dewe iso ngakali wong kae, utekke cetek wae kok. Tinggal diomongi lak arep ngeruwat anak e, bar kui tinggal jukuk wae pusokone." Pria berudeng itu berkata dengan wajah menyakinkan.

"Heh,, arep dipateni Tah Kowe Iki. Lak Hamadi nganti ngerti anak e dipateni Yo ngamuk ta." Pria itu memukul kepala pria berudeng dengan udengnya yang dia lepas.

"Eneng coro njukuk pusokone tanpa mateni bocah kui."

"Piye carane??" Pria itu akhirnya penasaran.

"Kawini."

****

Kediaman Keluarga Hamadi
17 September 2017

Petang itu juga sujewo dan kusno mendatangi kediaman keluarga Hamadi. Pak Hamadi menyambut dengan antusias para teman seperguruannya itu. Sedangkan yang bertamu ikut tersenyum bahagia karena mereka akan memulai sesuatu yang bagus.

Ketiganya mengobrol dengan seru, sampai sebuah ketukan pintu mengalihkan perhatian ketiganya.

Najmi muncul dari celah pintu. Dia terdiam sejenak melihat ketiganya lalu berlari naik ke kamar tanpa sepatah katapun.

"Anakmu wes gadis ya Di." Sujewo angkat bicara, memulai rencananya.

Hamadi berdecih. "Iya, tapi nambah gede nambah angel tuturane. Kerjaanne Nang masjid terus, mboh ngapo. Mben surup sampe bengi neng masjid. Bali Nang omah juga langsung ke kamar. Gitu terus." Hamadi mengeluhkan sikap sang anak yang dinilai gak berguna.

"Biasalah Di. Cah Saiki seneng ketemu kancane." Kusno menambahi.

"Nah bener itu. Kadang siang juga masih pingin main sama temennya. Main kesini lah, kesana lah. Padahal dia kan perempuan, malah gak bisa jaga diri." Hamadi kembali mengeluarkan unek-uneknya.

"Biasa Di, bocah neng kampungku juga ngunu kabeh. Biasa wae lah Di, koyo wong edan wae nanggepi bocah gadis." Sujewo tertawa kecil.

Hamadi lagi lagi berdecih. "Pusing Wo, Najmi kui weton e cilik. Wes rezekine seret, cah e malah gak nurut. Aku lak bandani sembarang e sampe kewalahan. Bedo banget Karo si Andra. Nakal koyo opo wae juga Rapopo, aku sek iso sabar. Soale rezekine gede banget, jare Mbah Mangun malah Andra kui pintune rezeki." Hamadi menceritakan perbedaan Andra dan Najmi, sementara sujewo dan kusno saling pandang bahagia.

"Kalau seperti itu kayaknya anakmu itu harus diruwat. Pas banget bentar lagi bulan suro, cocok buat acara ruwatan." Sujewo mulai mengeluarkan kata kata manisnya.

Bastaril Jarimati (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang