Bab XXIX ✅

9 2 0
                                    

Masjid Bani Hasan
10 Februari 2018

(Author's POV)

Tiga bulan berlalu setelah kepergian Najwa. Najmi masih berusaha menata hidupnya. Mencoba melupakan sosok Najwa dan kembali menjadi Najmi yang sendirian. Sekarang tak ada lagi teman bercanda ataupun sekedar teman curhat. Keluarga Hamadi juga baik baik saja, semua berjalan seperti biasanya. Namun kini Naya dan Ahmad mulai mengikuti acara ngaji di masjid.

Ustadz Arif tersenyum bahagia. Masjid Bani Hasan kini sudah berdiri kokoh, walaupun tanpa warna. Jamaah juga terlihat semakin banyak. Apalagi anak santrinya, sekarang semakin ramai karena tambahan anak anak SD dan SMP. Hubungan Najmi dan ustadz Arif kini hanya sebatas saling tegur sapa dan senyum saja. Mereka tak pernah lagi keluar malam untuk membasmi jin, apalagi sampai mendiskusikan sesuatu di ladang.

Semuanya benar benar seperti tak pernah terjadi. Arif kadang juga bingung dengan apa yang telah terjadi. Tapi dia bersyukur, perjuangannya bersama Najwa dan Najmi tidak berakhir sia sia, walaupun nyatanya hanya ustadz Arif yang dipuja.

"Assalamualaikum." Sebuah salam mengalihkan pandangannya dari masjid Bani Hasan.

Sekumpulan santri dengan pakaian khas orang dakwah tengah berdiri didepannya.

"Oh maaf,, saya gak sadar." Ustadz Arif malu sendiri.

"Mari silahkan duduk." Ustadz Arif mempersilahkan para tamu Allah untuk duduk di teras masjid.

"Terimakasih pak ustadz." Jawab mereka serempak.

"Jangan panggil ustadz, rasanya belum pantas. Panggil saja kak Arif."

Para santri itu mengangguk. Salah satu dari mereka berkata. "Sebelumnya kami hendak memperkenalkan diri. Kami semua dari pondok pesantren Baiturrahman kota tengah. Sengaja kami khuruj ke daerah sini untuk menyebarkan dakwah, sekaligus silaturahmi kepada para warga. Apabila kak Arif berkenan, izinkan kami untuk tinggal di masjid ini selama seminggu kedepan. Mohon bantuannya." Santri itu menunduk takzim.

"Oohh,, tentu saja boleh. Masyarakat sekitar pasti sangat senang dengan kedatangan para fisabilillah ini. Semoga kalian betah disini ya. Rumah saya tepat sebelah masjid ini. Dan disampingnya lagi ada rumah pak Hamadi, beliau orang berpengaruh juga disini, kalau ada waktu mampir saja dulu."

Santri itu mengangguk. "Oh iya,, kalau boleh tau. Adek adek ini namanya siapa ya, biar enak saya manggilnya."

"Ah iya maaf sebelumnya. Nama saya Mubarok." Ucap santri yang sejak tadi menjadi juru bicara.

"Saya Adam." Ucap santri jangkung disebelahnya.

"Saya Dika."

"Saya Misbah."

"Saya galih."

"Saya Azmi."

"Saya Rofiq."

"Saya Ahmad."

"Saya Ghani."

"Saya Abdul."

"Masyaallah. Semuanya tampan tampan dan insyaallah Sholeh." Kak Arif memuji. Semua santri itu tersenyum malu.

"Oh iya,, berhubung sudah masuk waktu ashar, bagaimana kalau salah satu dari kalian adzan. Ya buat perkenalan lah, siap tau dapet gadis sini." Kak Arif menggoda Mubarok. Wajahnya bisa dibilang paling tampan diantara yang lain, ditambah lagi gigi gingsulnya yang membuat wajahnya makin manis jika dilihat.

Mubarok bangkit lalu segera masuk ke masjid. Sementara teman temannya yang lain pamit untuk meletakkan barang bawaan mereka. Kak Arif menunjukkan kepada mereka sebuah ruangan untuk menyimpan semuanya.

Bastaril Jarimati (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang