Bab VIII ✅

1.1K 39 0
                                    

Kediaman keluarga Hamadi
09 September 2017

(Andra's POV)

Aku menggeliat, lalu mengerjapkan mataku. Hari masih gelap, mataku pun masih berat untuk diajak melihat semesta, namun penuhnya kandung kemih memaksaku untuk beranjak pergi ke kamar mandi.

Dengan langkah berat aku melangkahkan kakiku menuju pintu. Derit engsel pintu terdengar jelas karena suasana sudah sangat sepi.

Aku berjalan menyusuri lorong yang berisikan pintu pintu kamar. Menuju pintu terakhir yang terdapat kloset didalamnya.

Usai dengan urusan selangkangan aku pergi dengan terburu. Bukan karena takut, tapi karena masih ada mimpi yang harus ku lihat malam ini.

Tanganku sudah memegang handle pintu, namun terangnya ruang tamu membuatku bertanya. Siapa yang masih hidup dijam segini.

Dengan langkah santai kusingkap tirai pintu yang menjadi batas antara lorong dan ruang tamu. Kosong, tak ada pemandangan manusia disini.

Hanya ada seonggok arwah penasaran Disana. Aku tak tau itu siapa, yang aku tau dia adalah sosok yang terus terusan ada di dekat adik kecilku sejak 9 tahun yang lalu. Tepat setelah aku mulai bisa melihat sosok tak kasat mata.

Jujur selama ini aku tidak pernah mau berkontak mata dengannya langsung. Seperti ada aura yang membuatku enggan untuk mengetahui siapa dia.

Aku berjalan santai, berusaha mengabaikan sosok yang masih berdiam diri, bersandar di tembok dekat dengan tombol lampu. Dengan mata yang ku alihkan ke objek lain, aku berusaha segera menyelesaikan tugasku.

Tapi gagal, mataku tak sengaja menatap matanya. Sejenak aku terpaku menatapnya.

"Tidak mungkin!!!" Aku berseru secara tidak sengaja.

Aku mundur perlahan, aku tidak akan mungkin salah mengenali mata itu, tapi apakah itu mungkin???

Mata yang 14 tahun silam pernah mengerjap seakan memohon untuk aku tidak menutupkan bantal ke wajah kecilnya.

Aku menggeleng, mundur lalu bergegas masuk ke kamar. Aku perlu penenang Dari semua hal yang baru saja terjadi.

Jadi ini alasan kenapa arwah itu selalu berada di samping Najmi??

"Mas Andra." Sebuah suara dingin masuk ke dalam telingaku.

Suara dingin yang datang hendak membalaskan dendamnya padaku. Tapi aku tak menyerah, aku tetap menganggapnya hanya angin lalu. Bergegas naik ke kasur dan berharap ini semua hanya mimpi.

"Aku tau mas Andra bisa liat aku." Ucapnya lagi. Namun aku tetap diam, berusaha keras untuk tetap memejamkan mata.

Angin dingin perlahan merengkuh badanku. Jantungku dibuat makin tak karuan karenanya.

"Mas Andra kenapa jantungmu memainkan irama ketakutan??" Dia masih bertanya?? Seakan lupa bahwa dia penyebabnya.

"Hihihi." Kikikan tawanya terdengar sangat menyeramkan untukku.

Kasur disampingku bergerak, seakan ada yang hendak tidur disana.

"Hufft..." Dia menghela nafas panjang, seakan menyerah dengan keadaannya.

"Andai saja mas Andra tidak melakukan hal itu dulu. Mungkin sampai sekarang kita masih jadi adik kakak ya. Pasti menyenangkan."

Jantungku seakan berhenti berdetak saat dia mengatakannya. Sebenarnya hatiku juga sangat perih saat mengingat kejadian itu. Aku tetap terpejam walau air mata memaksa keluar dari tempatnya.

"Yaaaaa,,, aku tau mungkin saja waktu itu mas Andra membenci adik penyakitan seperti aku. Tapi tak apa, aku tak mempermasalahkan itu. Aku sudah ikhlas jika harus pergi terlebih dahulu."

Bastaril Jarimati (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang