8. Sebuah ajakan

18 7 2
                                    

      Jantung yang terus berdebaran
Namun tidak terasa sakit.

"Dasar keras kepala!" sedari tadi Dika masih saja mengumpat tanpa henti memaki sepupunya sendiri yang tak lain adalah Rena. Wajah jenakanya tenggelam sejak tadi entah dilautan mana. Tergantikan oleh wajah kusut penuh keringat.

Rencana yang telah dia susun gagal dan berakhir dirinya mendorong motor Rena dari sekolah menuju bengkel terdekat ditemani oleh Izza. Pasalnya tadi Rena mengomel lewat telepon dan menduga Dikalah penyebab dirinya naik angkutan umum.

"Benerkan tebakan gue, Rena bakalan nolak. Lo, sih! Sekarang jadi kerepotan sendiri." Izza mengeluarkan tisu dari tasnya dan dengan lembut mengelap keringat yang menetes dipelipis Dika.

Langkah Dika terhenti dan menoleh untuk sejenak menatap Izza. "Thanks!" Dika tersenyum manis sekali sampai membuat pipi Izza merona.

"Youre welcome." balasnya sambil mengulum senyum.

Mereka pun kembali mendorong sepeda motor Rena yang tadi mereka juga yang membuat kedua ban motor itu kehabisan angin alias bocor. Itu semua atas ide Dika yang tak terbantah hingga mereka kena batunya sekarang.

××××

Perempuan itu menyusuri koridor menuju kelasnya pagi ini. Sendiri tanpa seorang pun di sebelahnya. Sesekali ada beberapa teman dari kelas lain yang menyapa. Namun alih alih tersenyum dirinya hanya membalas dengan sebuah anggukan. Dirinya selalu tampil cuek namun tetap percaya diri. Dia tak begitu peduli dengan lingkungan sekitar. Membuat muncul beberapa penilaian tentang Rena. Yang di balas tak acuh olehnya.

"Rena!"

Rena lantas terhenti dan menoleh atas seruan yang meneriakkan namanya teesebut. Terlihat sosok dengan senyum mengembang menghampirinya. Hal itu memicu keriuhan. Bukan apa apa, hanya saja banyak siswi yang menyapa seorang Levin hingga koridor kelas X ramai. Levin membalasnya dengan senyuman khasnya membuat semakin riuh saja.

"Pagi, Rena!"

Rena membalas dengan senyuman yang sangat tipis. Sangat tipis. Hingga tak pantas disebut sebuah senyuman. "Pagi, kak!" ingin ia segera beranjak, tetapi sepertinya orang dihadapannya ini bermaksud lain tidak hanya sekedar menyapa.

"Nanti sore lo sibuk, nggak?" tanya Levin dengan antusias.

"Kenapa?" bukan Rena namanya jika menjawab sesuai pertanyaan. Di tanya malah balik tanya.

Dengan sekali tarikan napas Levin berkata kembali. "Jalan sama gue, ya?" dirinya berharap kali ini Rena akan mengiyakan.

Suara riuh tadi mendadak menghilang. Mereka menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulut Rena. Pasalnya siapa yang tidak mau di ajak jalan oleh seorang Levin. "Maaf, kak!" tak berlaku untuk Rena.

Raut kecewa terpampang pada wajah Levin. Kenapa kalimat itu yang terdengar lagi olehnya. Kali ini dia tak akan menyerah. "Kali ini aja?" tangannya menggenggam tangan Rena membuat keriuhan terdengar kembali.

Kalau gue jadi Rena sih, langsung gue iyain deh.

Coba aja gue, nggak usah ditanya dua kali deh.

Rena bego apa gimana, sih.

Sok jual mahal.

So sweet.

Gue yakin Rena bakal nolak lagi kayak waktu itu.

Siapa tahu kali ini berubah pikiran

Blue EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang