Kamu seperti warna hijau, tenang, menyejukkan kalbu.
Malam ini hujan masih mengguyur kota Bandung. Membuat siapapun ingin segera beranjak untuk menarik selimut menuju alam mimpi. Hal yang sama juga ingin sekali dilakukan oleh Geraldi. Kalau saja tugas sekolahnya tidak menumpuk.
Di kamar kost yang berukuran 4×4 itu, Geraldi menguap lebar. Raganya merasa lelah. Tetapi Geraldi bukan tipe pelajar yang menyerah begitu saja dengan tugasnya.
"Mie rebus, Di. Biar tambah semangat ngerjain tugas." Bang Irham meletakkan semangkuk mie rebus dengan asap yang masih mengepul di meja Geraldi.
"Thanks, Bang."
"Yoi." jawabnya, kemudian duduk diranjang Geraldi.
Irham, cowok yang satu kost dengan Geraldi. Sudah dua semester dia menjalani kuliah dengan beasiswa. Tanpa beasiswa dia mungkin tak akan bisa kuliah. Dia sendiri di kota ini sama seperti Geraldi. Bedanya Irham sudah lebih dewasa ketimbang Geraldi maka dari itu Irham memberlakukan Geraldi seperti adiknya sendiri, begitu pun sebaliknya Geraldi menggangap Irham sebagai abangnya.
"Kenapa lo nggak turutin omongan tante lo aja, sih, Di?" setelah beberapa minggu tidak menanyakan perihal itu, Irham kembali menanyakannya lagi.
Geraldi menghentikan aktivitasnya menyantap mie rebus tadi, "Gue nggak bisa hidup sama orang serakah seperti dia." Rasanya Geraldi muak mengingat perlakuan tantenya itu.
"Lagian, gue lebih baik di Indonesia ketimbang di LA. Gue lebih merasa hidup menjadi orang biasa tanpa banyak sorotan kamera." lanjutnya sembari menerawang ke luar jendelanya yang masih menampilkan rintik hujan yang belum mau berhenti.
"Keputusan lo emang benar, Di. Cuma lo harus jaga diri, lo itu masih kecil."
"Kan, ada lo." katanya sembari tertawa yang diikuti oleh Irham.
"Kalau tiba-tiba gue jual lo gimana?" Irham mulai melemparkan guyonannya.
"Gue yakin lo nggak akan tega."
"Percaya diri banget, lo."
***
Pagi ini Rena berangkat lebih pagi dari biasanya. Bukan karena hari senin, bahkan hari ini hari jum'at bukan juga jadwal piketnya. Tetapi dia hanya ingin menghindar dari Si tukang labrak dan dayang - dayangnya itu. Walaupun tidak menutup kemungkinan kalau nanti siang akan bertemu dengan Sandra yang akan memakinya. Atau mungkin bisa lebih parah seperti kemarin misalnya dibuat basah kuyub di kamar mandi. Ah! Rena kesal mengingat itu, rasanya ingin ia olesi muka bedaknya itu dengan lumpur.
Rena berjalan dari parkiran sekolah menuju ke dalam. Rasanya menyenangkan bisa menghirup udara pagi di sekolah yang masih sepi ini. Baru beberapa orang saja yang lalu lalang di sekitarnya.
Sebelum masuk ke dalam tak lupa ia absen dengan menempelkan jari telunjuknya ke finger print yang terpasang di dinding sebelum gerbang lobi sekolah. Namun, bukan bunyi terima kasih yang terdengar dari mesin itu melainkan silahkan coba lagi. Reflek langkahnya kembali mundur dan hendak menempelkan jarinya kembali kalau saja kakinya tidak menginjak kaki seseorang yang mengenakan adidas putih. Membuat orang yang diinjak itu memekik tertahan.
"Maaf, maaf gue nggak sengaja," ujarnya merasa bersalah kemudian mendongak mendapati sosok yang diinjaknya tadi.
Sorot mata Rena bertemu dengan sepasang mata biru yang tak asing untuknya. Untuk beberapa detik tatapan mereka terkunci satu sama lain. Sebelum akhirnya sorot mata biru tajam itu mengalihkan pandangannya.
"Absen aja nggak bisa, sampai nginjak kaki orang seenaknya." sindir Geraldi sembari menempelkan salah satu jarinya kemudian pergi meninggalkan Rena yang masih terkejut.
"Gue kan udah bilang nggak sengaja." kata Rena tak terima dengan sindiran itu.
"Sengaja atau nggak, yang jelas lo nggak bisa absen." walau ucapannya lirih namun masih terdengar oleh telinga Rena.
"Yang penting gue udah minta maaf." sungut Rena kesal dengan sikap angkuh Geraldi padanya.
Geraldi tak menanggapinya, justru melanjutkan langkahnya sembari melengkungkan bibirnya ke atas. Sejujurnya dia merasa senang bertemu Rena sepagi ini.
Menyadari sesuatu Rena mempercepat langkahnya menyusul Geraldi yang jauh darinya. Dia ingat sesuatu dan Rena perlu membicarakannya.
"Geraldi!" teriaknya, pasalnya ia tak bisa mengimbangi langkah cowok itu.
Geraldi berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadap cewek mungil dengan napas tersenggal didepannya. "Ngapain?" tanyanya sembari memasukkan satu tangannya ke saku celana.
"Gue mau tanya sama lo. Soal scrapbook itu, gue beneran nggak tahu. Tolong jelasin ke gue biar gue paham maksud lo!" iya, satu hal itu yang ingin Rena tahu dari Geraldi. Tidak mungkinkan waktu itu Geraldi tiba tiba marah padanya untuk meminta scrapbook yang bahkan Rena tidak tahu.
"Lo masih nggak tahu?" pertanyaan itu membuat Rena bingung. Dirinya benar benar tidak tahu apa maksud Geraldi.
Geraldi tersenyum miring, "Lo pikir waktu itu gue marah sama lo tanpa sebab?"
"Ger, gue beneran nggak tahu." Rena semakin bingung, sebenarnya apa yang ia lakukan sampai bisa berurusan dengan cowok ini. Bahkan dia tidak mengenal Geraldi sebelumnya kalau saja bukan Dika yang membuatnya kenal dengan cowok bermata biru yang kini sedang menatapnya tajam.
"Lo beneran nggak ingat, Ren?" tatapan tajam itu kini berubah menjadi sorot yang sulit diartikan oleh Rena.
Hai! Author menyebalkan kembali. Hhe. Terakhir up kayaknya malam tahun baru ya, udah lama.
Berhubung udah kelas 12 jadi banyak banget yang dipikirin. Anak kelas 12 mana, sih, yang nggak stres? Ya, minimal bingung lah, ah! Jadi curhat. Ya, intinya bakal jarang update.
Oke see you!
Salam dari Rena yang lagi bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes
Fiksi RemajaGadis cuek dan menyebalkan yang hidup di antara dua orang yang berada pada friend zone. Sepupu yang penuh dengan sejuta kejahilan dan sahabat yang baik dan manis. "Saat melihatnya serasa ada sebuah getaran menjalar di seluruh tubuhku. Setelah itu di...