9. Pilihan yang salah.

27 9 1
                                    


Yang mana sifat aslinya? Aku tak bisa mengenalinya. Dia yang baik ataukah dia yang beku.

Rena merasa hari ini terasa begitu cepat hingga ia harus menghadapi berbagai pilihan. Apakah menepati janjinya bersama Levin ataukah pergi ke kafe menemui Geraldi? Sungguh membingungkan. Jika Rena tidak menepati janjinya, pasti Levin sangatlah kecewa kepadanya. Namun jika dia tidak bertemu Geraldi di kafe, maka Rena akan dianggap penakut. Bagaimana ini.

Rena tak henti hentinya berdecak kesal sembari menghentakkan kakinya di depan motor Dika.

"Nungguin gue dari tadi, ya? Tadi ada ulangan fisika." tumben Dika bertanya tanpa ada omongan receh.

"Gue bingung!"

"Kenapa? Lo masih penasaran siapa yang kempesin ban motor lo? Iya gue ngaku, itu gue." akhirnya Dika mengaku, tapi sudah tidak Rena pedulikan lagi karena ia sudah mengetahuinya.

"Bukan itu, gue harus pergi sama siapa? Levin atau Geraldi?"

"Lo ngomong apa? Gue nggak ngerti." kenapa juga Dika begitu lemot. Atau mungkin karena habis ulangan kali, ya.

"Gue diajak jalan."

"Ribet."

"Kasih solusi, Dika!"

"Jalan bertiga aja. Kan lebih rame. Ya, nggak?" Dika, ini serius tidak sedang bercanda. Membuat Rena kesal saja.

"Nggak bisa gitu. Ya kali gue jalan sama dua cowok yang gue nggak tahu karakter mereka."

"Yaudah tinggal tolak aja semua."

"Mana bisa gitu."

"Terserah lo, deh. Gue mau pulang. Capek!"

"Lah, kok jadi lo yang marah. Harusnya gue.." ucapannya terpotong kala matanya menangkap sosok yang tak lain adalah Levin yang menghampirinya.

"Gimana? jadi jalankan?" ucapnya dengan menampakkan senyuman khasnya.

Demi apapun Rena bingung. Bagaimana? Ayo Rena, cepat berpikir. Apa pilihanmu?

"Kok diam? Ayo!" Levin menarik tangan Rena. Dika hanya diam terduduk di jok motornya menyaksikan sepupunya. Kenapa tidak membantu. Sepupu laknat memang.

Rena menggigiti bibir bawahnya, "Maaf, kak! Tapi sebenarnya gue ada acara keluarga." Rena apa yang kamu lakukan membuat Levin kecewa lagi untuk kesekian kalinya. Sudahlah, Rena tak peduli.

"Kenapa nggak kasih tahu dari tadi?" raut sumringahnya berubah.

"Soalnya baru aja di kasih tahu Dika. Ya, kan, Dik?"

Dika yang dilibatkan merasa bingung, "Iya." jawabnya asal. "Maaf kak, gue nggak tahu soal ini." lanjutnya lagi agar terlihat jujur walau sebenarnya Dika malas mengatakannya.

"Kalau gitu lain kali masih ada waktu kan?"

"Hm, iya kak. Sekali lagi maaf."

"Iya, santai aja." kemudian dia meninggalkan Rena.

Rena menghela napas lega. Langkah selanjutnya, entah. Rena masih memikirkannya.

"Udah? Acara keluarga yang mana?" katanya kemudian tertawa melihat ekspresi Rena yang begitu menggemaskan.

***

Demi apa pun hari ini Rena sangat kesal dengan Dika. Sedari tadi Rena terus mengumpat dalam hati merutuki Dika sang sepupu laknat sedunia. Bagaimana tidak detik ini waktu ini Rena terjebak dalam sebuah kediaman di sebuah kafe tanpa segelas minum pun. Dan itu karena jebakan Dika.

Sosok dihadapannya yang sedari tadi menatapnya dingin. Rena tidak tahu harus berbicara apa. Sosok dihadapannya juga tidak memulai pembicaraan. Sungguh keadaan yang canggung sekali. Dan itu karena Dika. Dika.

"Kenapa lo disini?" setelah sekian menit diam akhirnya dia mengeluarkan pertanyaan yang menurutnya aneh.

"Loh, bukannya lo yang nyuruh gue kesini?" kali ini Rena memberanikan untuk menatap Geraldi.

"Bukannya lo mau jalan sama Levin?"

"Dari mana lo tahu?"

Ya, disini hanya pertanyaan yang terlontar. Pertanyaan dibalas pertanyaan. Jawaban dengan pertanyaan. Entah obrolan macam apa ini.

"Di parkiran tadi." dingin. Dia ini manusia yang terbuat dari apa, sih? Kenapa seperti ini? Dingin, ketus. Apa yang diinginkannya. Sebenarnya kepribadian apa yang dimilikinya. Berbagai pertanyaan terus saja berputar di kepala Rena tanpa henti.

"Lo sendiri ada perlu apa nyuruh gue kesini?" Rena tak ingin berlama lama dengan cowok yang hawa dinginnya sampai menusuk kulitnya.

"Scrapbook." satu kata yang membuat Rena bingung.

"Scrapbook? Lo ngomong apa gue nggak ngerti." ucap Rena benar benar tak mengerti arah pembicaraan cowok di depannya ini.

"Balikin scrapbook gue!"

Rena tersentak. Geraldi mengucapkannya dengan menggebrak meja. Membuat seisi kafe ikut tersentak dan menoleh kearahnya.

"Gue nggak ngerti lo ngomong apa. Kenapa lo jadi bentak gue? Lagian gue nggak pernah ngambil scrapbook lo, itu."

"Bohong!" kini tatapan mata biru Geraldi terlihat menusuk. Sampai Rena tak dapat berkutik.

Rena menoleh sekelilingnya. Ternyata mereka berdua menjadi pusat perhatian seisi kafe. Buru-buru Rena beranjak dari kursinya dan berlari keluar.

"Cowok aneh. Dingin. Gue benci."

Rena keluar dari kafe. Dan menuju jalanan untuk mencari kendaraan umum untuk membawanya pulang.

"Lo nggak bisa pergi gitu aja." Geraldi mencekal pergelangan tangan Rena kuat.

Rena kesakitan. Entah apa maunya cowok ini. Rena benar-benar bingung. Seharusnya dirinya tidak datang ke tempat ini. Untuk apa datang jika diperlakukan kasar seperti ini.

"Sakit." Rena berusaha melepaskan tangannya. Namun apa daya dirinya tetap kalah dengan cowok ini.

"Gue cuma mau scrapbook gue balik." lagi dan lagi Geraldi meminta scrapbooknya kembali.

"Gue nggak tahu. Gue nggak pernah ambil barang itu. Lo kenapa nggak ngerti juga, sih."

Rena hampir saja menangis. Dia sudah tidak tahan dengan perlakuan Geraldi. Dia benar benar tidak tahu mengenai scrapbook itu. Kalau tahu akan seperti ini lebih baik ia jalan dengan Levin.

Geraldi masih menatap tajam Rena. Dan cekalannya masih bertahan.

Detik berikutnya, Rena menggunakan tangan satunya untuk menampar wajah dingin Geraldi. Setelahnya air matanya runtuh juga. Detik itu juga Geraldi melepas cekalannya.

Cowok bermata biru itu hanya bisa memandang Rena yang berlari kencang meninggalkannya dengan ekspresi datar.

Jangan lupa kasih bintang, ya. Hhe. Terus ikuti kisah when i see you, ya. Dan jangn lupa baca cerita saya yang lain. See you!

Blue EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang