Perlahan Duncan berlutut di hadapan Vintari dan memerhatikan luka yang mengangan di perutnya. Sedangkan Vintari merasa malu luar biasa karena wajah pria asing itu tepat di depan kewanitaannya. Selama ini hanya Dean yang menyentuh tubuhnya dan wanita itu bukan jalang yang mampu menerima sentuhan sembarang pria.
"Bagaimana kau mendapatkan ini?" tanya Duncan sambil mendongak.
"Bi-bisa kau menyingkir dari sana?" Sudah cukup! Vintari hampir runtuh pertahanannya. Napas pria itu menyapa kulit telanjangnya dan membuat getaran aneh di bagian sensitifnya. Wanita itu mulai resah jika saja Duncan menangkap bagian tubuh lain Vintari mulai mendamba.
Seringai Duncan terbit di wajah tampannya. Tanpa bertanya, ia menggendong Vintari dengan kedua tangan kekakrnya. Saat kesakitan itu kembali datang, mata Vintari terpejam dan menelusupkan wajah di dada bidang Duncan.
"Kau tak seberbahaya itu. Aku akan menolongmu," ujar Duncan.
Pria itu membawa Vintari ke sebuah ruangan pengobatan. Ia menyalakan lampu tepat di atas tubuh telanjang Vintari. Mempersiapkan segala yang dibutuhkan, Duncan pun kembali mendekat ke arah meja."
"Siapa namamu, cantik?"
Vintari ingin mendengus, tetapi rasa sakit mengalahkannya. "Vintari."
Untuk mengetesnya, Duncan mengambil sebuah alat berbentuk layar pipih dan mengarahkan pemindai ke wajah dan tubuh wanita yang kesadarannya mulai mengikis. Ia tersenyum puas saat alat itu menampakan identitas Vintari. Meletakkan alat pendeteksi identitas, Duncan mengambil benda berbentuk tabung sebesar pena dan berwarna hitam.
"Dengar, kau tak punya barcode di tubuhmu, jelas kau bukan warga negara Detroit City. Karena itu, aku tak dapat membawamu ke rumah sakit. Aku akan mengobatimu," terang Duncan sambil menunjukkan tabung kecil itu.
"Ini akan sedikit sakit," ucap Duncan yang menundukkan tubuh sambil mendekatkan alat itu ke luka Vintari.
"Tunggu," cegah Vintari. "Kau akan mengobatiku secara manual? Oh, bunuh saja aku!"
Di negera Kalimera, pengobatan dilakukan dengan lebih canggih. Orang yang sakit dibaringkan dalam sebuah tabung besar dan setelah kaca penutup tabung ditutup, seorang petugas kesehatan mengatur alat itu bekerja menyembuhkan sakit yang di derita. Tak ada rasa sakit sama sekali. Gelombang-gelombang listrik yang masuk ke dalam tubuh bahkan tak terasa menyengat. Dalam hitungan menit, orang akan merasa sehat.
Namun, pengobatan manual adalah menyalurkan energi listrik dari tabung yang dipegang Duncan, yang mana akan menimbulkan rasa pedih, sensasi terbakar, bahkan sengatannya membuat sakit kepala. Vintari bergidik ngeri, sementara Duncan tersenyum menenangkan yang sama sekali tak membantu.
"ini tak akan membunuhmu. Sakit sedikit, tahan saja, ya," bujuk Duncan dengan santai.
"Ngomong-ngomong namaku Duncan."
"Duncan, tunggu," cegah Vintari lagi. "Kumohon, aku butuh sesuatu. Ayolah, aku tak ingin merasakan sakitnya."
Duncan berdiri tegak dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kaupikir aku menyimpan semacam obat terlarang agar kau teler? Lupakan saja! Aku bukan warga yang melanggar pemerintah."
Kata-kata Duncan membuat mata Vintari berputar. Jika saja Vintari tak tahu siapa penjahat tampan di hadapannya. "Kumohon, Duncan. Aku tak ingin merasa sakit," rengek Vintari.
Terkadang sifat manjanya akan meluluhkan Dean-sahabatnya. Mungkin kali ini akan berhasil menundukkan Duncan. Mereka kan sama-sama pira.
"itu ... aku ... ada, hanya saja lumayan berbahaya."
"Aku ambil resikonya," pungkas Vintari mantap.
Duncan menatap Vintari beberapa detik lalu mengangkat bahu. "Baiklah, jika itu keinginanmu."
Vintari bernapas lega. Sedangkan Duncan mengambil satu kaleng dengan masker di ujungnya. "Hirup gas dalam kaleng ini."
Vintari segera mengambil kaleng itu dan menghirup melalui masker. Beberapa tarikan napas, membuat Vintari rileks. Ia tak mengeluh saat Duncan meraba perut datarnya.
"Kau pasti merasa rileks sekarang." Duncan menyalakan tabung pengobatan dan menyetel sebera aliran listrik untuk merapatkan luka wanita di hadapannya.
"He em," gumam Vintari.
Duncan melirik Vintari sekilas. "Kau terus menghirupnya. Itu akan membuat tubuhmu terasa ringan."
"Aku terbang," tutur Vintari dengan senyum yang tak ia tahan. Wanita itu seperti mati rasa karena sentuhan Duncan saat ini tak berarti apa-apa baginya.
"Aku tak bisa menolong dengan apa yang akan terjadi berikutnya."
"Apa?" tanya Vintari. Ia mendesah kecil saat merasa aliran darahnya bagai dirasuki angin panas.
"Kau akan bergairah."
****
9 Agustus 2018
repost: 15/8/23
KAMU SEDANG MEMBACA
KALIMERA: Falling for Betrayal
Ciencia FicciónNegosiator negara, Vintari, ditugaskan mencuri penangkal virus dari seorang profesor muda, Duncan. Namun Vintari harus kehilangan sahabatnya Dean--seorang prajurit garis depan perang-dan menjadi tawanan Jenderal Achilles-penguasa paling kejam. *** ...