KALIMERA: 18

17.7K 1.2K 100
                                    

Dekapan hangat dan remasan tak senonoh di bagian terlarangnya, membuat Vintari membuka mata. Ia menoleh ke arah kanan dan melihat sosok tampan itu masih di sana. Pia dengan rambut pirang yang acak-acakan itu memberi Vintari tatapan penuh nafsu yang seakan tak berujung. Tangan Vintari menyingkirkan tangan Duncan seraya menggeram kesal. Ia berbaring miring ke kiri dan memeluk tubuh sendiri.

Sebaliknya, Duncan terkekeh geli. Wajah mengantuknya ditelusupkan ke ceruk leher Vintari. Tangan Duncan tak berhenti meraba tubuh polos di sampingnya. Seolah tuli, Duncan tak mengindahkan larangan Vintari dan malah mencium lembutnya kulit wanita itu di setiap inci.

"Ada apa denganmu? Saat di Detroit City, kau lebih menggairahkan."

Vintari berbalik badan, memberi beberapa pukulan di dada pria itu, lalu menarik selimut untuk menutup tubuh telanjangnya. "Tutup mulutmu."

Tawa Duncan lolos saat kalimat ketus itu terlontar. Ia membelai rambut cokelat Vintari. "Ayo, kita mandi."

"Berhenti menyentuhku!" sentak Vintari saat Duncan mencoba meraih selimut wanita itu.

"Galak sekali," ucap Duncan sebelum beranjak dari tempat tidur. Ia memerhatikan ranjang yang kusut berhiaskan darah Duncan dan bekas-bekas percintaan mereka. Duncan tersenyum miring saat teringat bagaimana ia menaklukan Vintari di bawah tubuhnya.

Setelah pria menjengkelkan itu masuk kamar mandi, Vintari beranjak dan memakai pakaian. Ia keluar kamar untuk menuju pintu keluar. Rasa panik menyerang saat pintu rumahnya tak mau terbuka. Sensor suara, wajah, bahkan kode untuk membuka pintu tak juga dikenali oleh pemindai. Vintari mengumpat ketika menyadari Duncan melakukan sesuatu pada rumahnya.

Vintari bergegas menuju alat komunikasi di bulan. Menyalakan layar datar dan menghidupkan mesin untuk menghubungi pihak luar. Sayang semuanya terkunci. Vintari mengerang frustrasi. Dengan napas tersengal ia berjalan ke loker penyimpanannya. Ia mengambil sebuah tabung yang berisi cairan bening. Salah satu senjata yang akan ia gunakan jika ia terancam di bumi.

Sedangkan Duncan yang sudah membersihkan diri dan mengobati luka di lengan kanannya, mengambil sebuah kimono hitam untuk menutup tubuhnya. Ia kembali ke kamar dan melihat Vintari berdiri waspada di dekat pintu kamar. "Kau ingin menggunakan kamar mandi? Aku tidak akan mengintip."

Tak ada ekspresi yang Vintari tunjukan saat kalimat itu terucap. Wanita itu tetap siaga, menunggu Duncan datang padanya. Saat Duncan sudah beberapa senti di hadapannya, Vintari menyerang pria itu dan sebuah pukulan memalingkan wajah tampan Duncan.

"Ini caramu mengungkapkan rindu?" singgung Duncan.

Senyuman licik Vintari tersungging. "Bukan, tapi ini!" Vintari kembali menyerang dengan mengayunkan tabung itu ke arah Duncan.

Sigap, Duncan menangkis dan menyentak tangan Vintari hingga tabung itu jatuh. Saat Vintari akan mengambilnya, Duncan menendang keras hingga tabung itu pecah membentur tembok. "Kau mengotori kamar ini, Gadis Nakal," geram Duncan sambil memegangi tangan Vintari.

Vintari menendang pria itu hingga ia dapat lolos. Secepat kilat Vintari mengambil pecahan tabung dan akan melukai tangannya. Harus Duncan atau dirinya yang mati.

"Hey!" seru Duncan sambil melempar sebuah hiasan dari kayu. Benda seukuran kepalan tangan manusia itu mengenai tangan kanan Vintari sehingga wanita itu menjatuhkan pecahan tabung yang akan ia gunakan untuk melukai diri sendiri. Hal itu Duncan manfaatkan untuk meraih tubuh Vintari dan mendekapnya. Tangan kanan Duncan menahan kedua tangan Vintari di belakang tubuh wanita itu sementara tangan kiri Duncan meraih rahang bawah Vintari.

"Katakan padaku, apa itu?"

Mata Vintari nyalang menatap Duncan. "Persetan denganmu."

"Apa mulutmu tak bisa mengucapkan kata lain selain namaku seperti semalam?" Duncan menyeringai.

Ketika Vintari meronta kembali, tangan Duncan menarik rambut wanita itu hingga wajah Vintari menengadah. "Aku lebih suka teriakanmu, tapi saat ini aku butuh jawaban."

"Tetanus," kata Vintari.

Dahi Duncan berkerut dan menelengkan kepalanya. "Mengapa kau menyerangku dengan virus tetanus ... dan menyakiti dirimu sendiri?"

Satu hentakan membuat salah satu tangan Vintri terlepas dan meninju wajah Duncan. Pria itu mengerang beberapa detik lalu mendorong dan memepet tubuh Vintari ke tembok. Kedua tangan Duncan menahan kedua tangan Vintari di sisi wajah wanita itu.

"Tak ada yang aku inginkan selain menikmati tubuhmu tanpa jeda. Tapi saat ini aku lebih butuh penjelasan darimu, Vintari." Kaki Duncan memaksa kaki wanita itu terbuka. Dengan tangan kirinya, Duncan menyentuh dan menggoda pusat kenikmatan Vintari hingga wanita itu menggelinjang menahan segala hasrat yang mulai datang.

"Di sini sangat menyenangkan tapi yang harus kau lakukan sekarang adalah, mandi sebelum mengatakan hal yang sebenarnya," ujar Duncan lalu mengeluarkan jemarinya dari lipatan hangat wanita itu.

Dada Vintari naik turun karena napas yang tersengal. Perbuatan Duncan tadi sangat kurang ajar dan membuat dirinya hampir hilang kewarasan. Kini Vintari hanya mengeluarkan erangan protes saat Duncan menggendong tubuh wanita itu dan membawanya ke kamar mandi.

****

Kasih vote and comments, Love.

Thank you.

1 Jan 2019

KALIMERA: Falling for BetrayalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang