KALIMERA: 10

28K 1.4K 26
                                    

Setelah pintu lift dibuka, Vintari terperangah karena di hadapannya kini membentang tanah lapang yang ditumbuhi rumput hijau. Ini adalah bagian paling pinggir negara Detroit City. Duncan membawa wanita itu ke sebuah bangunan seperti mansion.

Jika di bumi, mansion adalah bangunan untuk orang-orang kaya. Namun di Detroit City, di sini adalah tempat orang-orang terbuang. Mereka yang tak sanggup berpacu dalam teknologi, mengasingkan diri di sini. Hidup bagai manusia bumi dengan minim alat-alat modern.

"Mengapa kau membawaku ke sini?" tanya Vintari saat berdiri di depan pintu mansion.

Mansion milik Duncan tetap memiliki pindai tubuh di pintu depan. Sedangkan di dalamnya, persis rumah mewah di bumi tanpa alat canggih. Tentu bagi manusia bulan ini justru tempat paling tidak nyaman karena tidak ada perlindungan diri.

"Kau pasanganku. Aku berhak membawamu ke mana pun aku mau," tutur Duncan.

Selesai memindai tubuh wanitanya dengan alat yang terpasang di bagian depan pintu mansion, Duncan menarik lengan Vintari untuk masuk. Sementara itu, Vintari yang enggan, terpaksa mengikuti Duncan karena lengannya ditarik perlahan pria itu.

"Aku tebak, pasanganmu sebelumnya sudah mati. Kau membawanya ke sebuah mansion, jelas itu seperti membahayakan nyawanya dengan membiarkan wanita itu tanpa perlindungan," ungkap Vintari.

Duncan melirik petani gandum itu. "Aku bisa menjaga pasanganku. Lagipula, aku sebelumnya tak punya pasangan."

Tawa mengejek Vintari terdengar. "Pantas saja. Pria primitif sepertimu tak mengerti bagaimana caranya berkompetisi dengan teknologi."

Telinga Duncan panas mendengar sindiran itu. Petani gandum memang terkenal dengan keagungan strata sosialnya. Namun, Duncan tak menyangka, Vintari seangkuh ini. Andai saja wanita itu tahu, Duncan memang tak menyukai teknologi. Ia ilmuwan. Peneliti serum, racun, bahkan virus. Tak tahukah wanita itu, jika jenderal Detroit City menyerang suatu negara dengan pertempuran dua hingga tiga hari juga beberapa tentara yang dilengkapi senjata? Sedangkan Duncan, ia bisa melenyapkan seperempat populasi manusia bulan dengan gas beracun dalam dua jam saja.

Tentu Duncan tak sekejam itu. Tapi ya, mulut pasangannya ini harus diberi pelajaran agar tak sesumbar. Duncan meraih kedua lengan Vintari dan merapatkan tubuh mereka. Hidung Duncan menyentuh hidung lancip Vintari dan pria itu mendengar desah napas wanita yang kini membelalakkan mata.

"Dengarkan, aku. Riyu dan Martinez adalah sahabatku. Mereka dibunuh Jenderal di depan mataku. Kau tahu, rasanya saat itu juga aku ingin melenyapkan Detroit City."

Tangan kiri Duncan meraih pinggang Vintari sedangkan tangan kanannya menangkup pipi kiri wanita itu. "Jenderal melakukan itu pasti karena sesuatu. Ia menginginkan sesuatu dariku atau ...," Duncan memerhatikan tubuh wanita itu, "Kau."

Tangan Duncan kian mendekatkan wajah hingga bibir mereka bersentuhan. "Kita di sini, di mana pemerintah Detroit City akan sulit melacak karena daerah ini jauh dari jangkauan radar. Berbicara manislah padaku, Sayang."

Duncan menutup kalimatnya dengan melumat bibir manis Vintari. Pria itu mengernyit heran. Mengapa setiap jengkal tubuh Vintari terasa memabukkan baginya? Bibir itu begitu manis untuk dicecap. Tubuh Vintari bagai candu yang selalu membuat nikmat. Duncan melepaskan ciumannya ketika mereka sudah butuh udara.

Di sisi lain, Vintari terengah-engah dengan kedua tangan yang berpegangan pada lengan Duncan. Pria tampan itu selalu saja memancing gairahnya untuk meminta lebih. Vintari begitu menggenggam hatinya agar setiap sentuhan Duncan tak membuat hati wanita itu jatuh.

"Aku tunjukkan kamar kita," bisik Duncan setelah mengecup lembut bibir wanita yang bengkak karena ciumannya.

Mereka berjalan menuju sebuah kamar tidur. Satu ranjang besar dari besi dengan kasur bulu angsa di atasnya. Vintari duduk di tepinya dan memandang ke arah jendela yang menghadap ke arah padang ilalang.

"Aku tak pernah membayangkan. Bagaimana manusia di bumi dulu hidup di tempat seperti ini," Vintari mendongak ke arah Duncan yang kini berdiri melihatnya, "Mereka bisa terbunuh dari jendela yang terbuka seperti itu."

"Kau tak tahu apa-apa," Duncan berjalan ke arah Vintari sambil membawa sebuah suntikan nutrisi yang berbentuk pistol kecil. "Manusia di bumi justru hidup damai di tempat seperti. Anak-anak bermain bebas di taman tanpa takut terkena virus atau tembakan laser. Mereka mengerjakan seni, tak selamanya memikirkan membuat senjata atau teknologi."

Vintari mencibir. "Terdengar seperti mimpi buruk bagiku."

"Ya, tentu. Kalian petani gandum hidup jauh dari teknologi atau senjata, tetapi merasa was-was sehingga haus akan perlindungan dari pemerintah atau raja, 'kan? Mereka bilang kalian agung, tetapi bagiku kalian lemah."

Vintari berdiri dan menatap garang. "Jaga mulutmu, Duncan. Kau tak bisa menghina kaum kami karena dari tangan kamilah, roti, biskuit, bahkan bubur, masih dapat terhidang dan disantap para pembesar," Mata Vintari melirik ke arah alat di tangan Duncan, "Warga sipil sepertimu tak pernah tahu bagaimana rasanya."

"Ya ... ya," balas pria itu dengan bosan lalu menarik tubuh Vintari agar lebih dekat, "Cobalah nutrisi warga sipil ini. Mungkin kau sedikit menyukainya."

"Tidak. Aku tak ingin nutrisi sekarang ... Duncan!" Vintari mengerang saat Duncan mendekapnya lalu menyuntikan nutrisi itu ke lehernya.

"Apa yang kau lakukan?!" geram Vintari saat merasakan pahit di kerongkongannya.

Seringai Duncan terulas. "Kau pintar juga. Itu imun tubuh. Aku khawatir kau sakit karena kita akan tinggal beberapa hari di daerah padang rumput seperti ini. Aku akan siapkan nutrisi. Tunggu di sini."

Saat Duncan keluar kamar, Vintari mengumpat. Ia segera memeriksa setiap sudut kamar. Duncan ternyata kuno. Pria itu tak menyembunyikan serumnya dalam wadah yang dilindungi laser atau kode rahasia di sebuah lemari besi. Pantas saja mereka sulit mencari hasil penemuan Duncan karena teknologi tak bisa melacak penghambat kafein yang di sembunyikan di suatu tempat.

Geram karena ia tak juga menemukan apa pun di kamar ini, Vintari kembali menggunakan cara hina itu. Ia mengerang kesal dan bergegas menanggalkan seluruh pakaiannya. Bukankah memang seperti ini cara wanita itu memancing Duncan?

Beberapa menit kemudian, Duncan masuk kamar dengan membawa satu suntikan nutrisi. Ia membeku di tempatnya berdiri saat siluet Vintari menghadap ke arah jendela, tanpa busana. Jantungnya mulai berdetak lebih kencang, napas Duncan tercekat, dan tangannya mulai sedikit bergetar. Wanita itu mengacaukan hidupnya.

"Vintari, kau ... kenapa ...?" Duncan menelan ludah dengan susah payah saat pasangannya berbalik badan lalu datang padanya.

Vintari tersenyum kecil. "Aku ingin merasakan bagaimana rasanya tanpa perlindungan." Mata Vintari melirik pakaiannya yang tergeletak di lantai.

"Ya ... kadang tanpa perlindungan itu tanpa beban," balas Duncan yang tak sanggup berpaling dari payudara Vintari yang menggantung. Tak lupa celah di antara selangkangan wanita itu, Duncan gatal sekali ingin menyentuhnya.

"Itu nutrisi untukku?" tanya Vintari.

"Hem? Oh, ya ... ya."

Vintari berdecak bosan. Menghentakkan kaki merajuk, lalu berbalik badan, menyuguhkan pemandangan kedua bongkahan pantatnya yang bulat. Ia merangkak ke ranjang dan merabahkan tubuhnya miring ke kiri. Ia memastikan Duncan melihat kewanitaannya dalam posisi seperti itu.

"Ayolah, semua orang perlu nutrisi. Biar aku suntikkan ini ke perutmu," bujuk Duncan yang naik ke atas ranjang.

Vintari mengubah posisi menjadi terlentang, kedua kakinya ditekuk dan dibuka lebar, celah di antara pahanya seperti memanggil Duncan untuk dimasuki.

"Baiklah," desah Duncan lalu menempelkan ujung alat berbentuk pistol kecil ke arah lambung Vintari. Ia menyiapkan dosisnya lalu menembakan nutrisi itu.

Setiap pemberian nutrisi tak pernah terasa sakit seperti disuntik. Namun, beberapa memberi sensasi dingin bahkan terbakar di lambung. Erangan Vintari terdengar, ia meronta kecil dan mendorong tangan Duncan seolah-olah ingin pria itu berhenti. Namun, tangan Duncan yang ia tepis justru bergeser ke perut bawahnya. Ia mengerang lagi saat Duncan menyentuh titik kenikmatannya.

Duncan mengumpat pelan, membuang pistol nutrisi, lalu meraba tempat yang ia rindukan. Rasanya Duncan ingin kembali bercinta habis-habisan seperti saat ia baru bertemu Vintari. Maukah wanita itu? Mengingat Vintari tak lagi dalam pengaruh bius nafsu.

**** 

repost: 15/8/23

KALIMERA: Falling for BetrayalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang