Goa Shinjiro

95 21 17
                                    

Namaku Daici, umurku 11 tahun dan aku sangat terkenal di sekolahanku. Bersama ketiga temanku Ichiro, Masumi, dan Shinji, kami berempat menjadi sekawan yang terkenal bandel di sekolah. Beberapa siswa yang lain menyebut kami preman sekolah, meskipun tingkatan kami berempat baru sampai di sekolah dasar.

Entah mengapa, ketika melakukan hingga mengulangi hal buruk begitu menyenangkan. Aku sebenarnya sudah bosan menjadi pembangkang seperti ini, inginku bisa seperti teman-teman seumuranku. Yang bisa mendapat rangking kelas dan tidak mengurangi waktu bekerja orang tua karena mendapat undangan ke sekolahan lebih banyak. Inginku berhenti bertengkar, memalak, ataupun mencari keributan lain. Bagiku itu tak ada gunanya selain hanya bersenang-senang saja. Namun bagaimana lagi, aku juga menyukai diriku yang seperti ini.

Beberapa hari yang lalu seorang pria jangkung misterius datang pada kami berempat. Ia tiba-tiba muncul entah darimana ia datang. Ia mengatakan sesuatu pada kami,"Kalian ini hanya sekumpulan anak-anak bodoh, berhentilah membuat keributan. Dan kembalilah menjadi diri kalian yang dulu, aku melihat jika kalian berempat ini sebenarnya penakut."

"Maksudmu apa bilang kami bodoh dan penakut?" Tanya Masumi menantang pria jangkung itu.

"Ya, kami memang masih bocah. Tapi kami berani!" Ketus Shinji menambahkan.

"Urusi saja hidupmu, jangan ikut campur urusan anak-anak!" Ichiro ikut membantu, kali ini telunjuknya ikut maju berperan.

Aku hanya diam dan terduduk karena memang perkataan pria jangkung itu ada benarnya juga. Kami hanya sekumpulan anak-anak bodoh dan kalau boleh jujur, kami berempat juga amat penakut, apalagi dengan hantu. Bisa dibilang jika keberanian kami tak sebanding dengan keributan yang kami buat. Lebih tepatnya, kami berempat ini memang sekumpulan anak payah.

"Tunjukkan jika memang kalian ini bukan anak yang payah, apalagi penakut. Pergilah ke Goa Shinjiro tengah malam dan bersenang-senanglah di sana." Pria itu berkata lirih sambil memasukkan tangan ke saku celananya. Ia menunduk, mengambil beberapa langkah, kemudian hilang misterius seperti di telan bumi.

Ketiga temanku bereaksi biasa sambil berfikir bagaimana kami berempat bisa sampai ke sana tengah malam, itu karena ketiga temanku bukan asli Shinjiku. Tepatnya mereka adalah orang pindahan, dan orang tuanya baru menetap di sini saat anaknya menginjak kelas 1 SD. Lain halnya denganku yang bergikiran lain, aku hanya teringat urband legend yang merakyat di telinga masyarakat Jepang. Tentang siapapun yang berani mendatangi Goa Shinjiro tengah malam, maka kedua bola matanya akan diambil paksa makhluk penunggu goa.

Mereka bertiga masih sibuk berbincang menyusun rencana, mulai dari rencana belajar kelompok hingga transportasi apa yang bisa mengantarkan mereka agar bisa sampai ke sana. Aku masih terdiam, di benakku aku sedang mencari berbagai cara agar aku bisa terbebas dari ajakan mereka bertiga. Bukan tanpa alasan, ikut mereka bertiga berarti aku sedang meregang nyawa, aku meyakini sesuatu yang buruk pasti akan terjadi.

"Ayolah, Daici! Kenapa kamu tidak mau ikut bersama kami?" Katakan alasanmu, apa kamu takut pergi ke sana tengah malam?" Tanya Ichiro memaksa.

"Apa kamu tidak ingat? Jika kita ini sekawanan preman kecil di sekolah, jangan sampai ada yang menganggap kita penakut karena kita batalkan rencana ke sana tengah malam!" Masumi tiba-tiba menggertak, tampaknya ia masih terlalu muda untuk bisa berfikir dini.

"Ya, Ichiro dan Masumi benar. Kita harus tetap ke sana malam ini juga!" Tanggapan Shinji penuh semangat, semangat kebodohan yang mengundang bahaya.

Beberapa kali ku ceritakan tentang makhluk penunggu goa itu, namun tak ada yang mendengarkanku. Beberapa alasan juga telah ku buat, namun tampaknya mereka bertiga akan tetap pergi dengan mengikutsertakan aku di dalamnya. Akupun terpaksa menyetujuinya, di dalam hati aku hanya berdoa, semoga tak ada yang lebih buruk ketimbang kematian.
***

Pukul 00.01, kam tiba di depan gerbang Goa Shinjiro. Gerbang pintu terkunci rapat, menandakan tempat rekreasi ini telah ditutup beberapa jam sebelum kami tiba. Suara burung gagak menggema keras di atas kepala kami, membuat suasana di sini kian bertambah mistis.

Ketiga temanku masih sama, entahlah ada rasa ketakutan yang ditutupi atau tidak di dalam dada mereka. Yang jelas sejak kami berempat tiba di sini tadi, perasaanku sudah tidak enak. Seperti memiliki firasat ada hal buruk yang akan terjadi pada kami.

"Baiklah teman-teman, kita akan masuk ke dalam dengan cara memanjat. Tak ada jalan lain, di sana ada tembok yang sedikit lebih pendek daripada tembok-tembok yang lain." Ucap Shinji sambil menunjuk bagian sebelah timur gerbang.

Shinji berjalan paling depan memimpin rombongan. Kedua temanku menguntit di belakangnya, dan mau tak mau aku juga harus menguntit di belakang mereka bertiga.

Dinding gerbang juga cukup sulit untuk dipanjat. Selain hanya dipenuhi lumut, penerangan di sana juga amat minim. Beberapa lampu yang berada di sisi gerbang bahkan tidak menyala. Dan mungkin hanya kebetulan saja, ketika senter yang dibawa Shinji, Ichiro, dan Masumi tiba-tiba saja berhenti berfungsi. Dan anehnya, satu-satunya senter yang bisa dinyalakan hanya milikku saja. Senter yang jelas-jelas paling redup nyalanya.

Iblis apa yang merasuk ke dalam tubuh teman-temanku, minimnya penerangan tak menyurutkan sedikitpun kemauan mereka untuk bisa sampai ke goa. Ini jelas-jelas sudah menjadi peringatan bagiku, jika nanti di sana akan ada sesuatu yang terjadi pada kami.

Baru pukul 00.30, kami berempat bisa masuk ke dalam. Perjuangan yang amat menyusahkan untuk sebuah pengakuan yang bodoh. Tapi tak apalah, ini akan sangat membanggakan bila aku bertemu dengan pria jangkung itu lagi dan telah menyanggupi tantangannya.

Mulut goa terlihat hanya beberapa meter dari posisi kami berdiri. Perlahan kami berempat berjalan menuju ke sana. Cahaya lampu senter yang samar-samar menerangi jalan setapak yang kami pijak.

Aku dibuat tidak mengerti ketika langkah kami semakin dekat dengan mulut goa. Sosok bayangan tinggi sedang berdiri gagah di depan mulut goa, dan teman-temanku baik-baik saja seperti tak melihat apa-apa.

Barulah aku ketahui saat aku memanggil nama mereka satu-persatu. Mereka menoleh secara berurutan. Betapa terkejutnya aku ketika melihat 3 pasang mata yang telah kosong, mereka kini seperti memakai kacamata hitam.

Aku mendesah ketakutan daj berusaha menyelamatkan diri. Tapi, tiba-tiba saja sosok pria jangkung telah berdiri gagah di depanku. Ia memajukan wajahnya yang rata dan berbisik ditelingaku. "Kini giliranmu."

Story update!
Selagi ada waktu nyelo, seminggu sekali pasti update.

Tambahkan cerita author ke reading list kalian :v. Biar kalian para readers tahu kalo ada update chapter.

Don't forget to give me vote and comen :)

Sorry kalo cerita yang kali ini malah agak absurd :v

Happy reading :)

Creepypasta Horror Story IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang