Bast*rd Psychologist

106 14 9
                                    

Story update!

⚠ Mengandung konten gore!

Namaku Alvin, aku adalah orang yang baik hati. Terutama kepada teman-temanku, meskipun terkadang aku juga sadar bahwa tak sedikit dari mereka yang hanya memanfaatkanku.
Orang tuaku beberapa kali melarangku untuk tidak terlalu bermurah hati kepada teman-temanku. Dan memintaku untuk bersikap lebih berani, supaya tidak terlalu banyak dimanfaatkan.

Tak hanya baik hati, Tuhan rupanya juga menganugerhiku kepintaran diatas rata-rata. Meskipun, akhirnya pun sama aku menjadi bahan penulisan skripsi gratis. Entahlah, mungkin akulah sosok yang bodoh dalam berbisnis. Sedari awal memang aku sendiri yang membuka joki pembuatan dan penulisan skripsi. Namun, hingga ke sepuluh skripsi yang pernah aku buatkan, tak sepeserpun aku menerima upah.

Setiap menyadari kerugian, aku hanya bercermin dan meluapkan emosi di depannya. Sering kali yang bisa ku lakukan hanya mengacak-acak rambut frustasi dan melempar hingga menendang apapun yang ada di sekitar cermin. Aku seperti tak mengalami kenaikan emosi sejak kecil, itulah yang mungkin tergambar di pikiran teman-temanku. Aku  memberikan apa yang temanku pinta, secara cuma-cuma. Sebuah ponsel canggih atau sebuah notebook yang mampu diisi ribuan game berukuran giga hingga tera. Mereka meminjamnya dariku, dan benda itu tak pernah kembali lagi padaku. Bodohnya pun aku tak pernah berani menanyakannya.

Suatu hari aku memutuskan mendatangi seorang psikolog untuk menanyakan apa yang salah dengan diriku. Psikolog itu tersenyum dan mempersilahkanku duduk untuk menceritakan titik permasalahannya. Akupun antusias bercerita dari huruf A sampai ke huruf Z, psikolog pria itu tak kalah antusias mendengarkan ceritaku. Tangannya yang dilipat dan kepalanya yang beberapa kali mengangguk menambah keyakinanku untuk menceritakan semua yang ada.

Tepat sekali, kau datang pada psikolog terbaik di dunia.

Pria itu tersenyum padaku, sesaat setelah aku merampungkan ceritaku padanya. Ia pun mengangguk paham dan beranjak berdiri untuk membawa sepasang gelas berisi minuman. Tangannya bergerak kesana kemari tak beraturan sebagai penjelas apa yang ia bicarakan. Hingga pada titik terakhir sebelum jeda bicaranya, ia menanyai seputar riwayat pendidikanku. Lagi-lagi aku masih antusias menjelaskan sepenuh hati, aku berharap penuh padanya supaya rencana ini bisa berhasil.

“Pertama-tama, kau beruntung! Kau dibekali Tuhan kepintaran di atas rata-rata. Yang kedua, kau juga beruntung! Kebetulan saja kau mengambil jurusan kedokteran. Dan yang ketiga, kau harus lulus lebih dulu daripada waktu yang telah ditentukan.” Aku hanya mengangguk mendengar panjang lebar bicaranya. Ia pun terlihat meyakinkan, bahwa rencana yang ia buat akan berhasil.

Aku jatuh pingsan setelah minuman yang ia berikan habis ku tenggak, tubuhku kemudian dibaringkan di atas ranjang. Aku tersadar, aku mulai memasuki alam bawah sadar. Tapi, aku tak sepenuhnya yakin karena hampir tak ada bedanya pada dunia nyata, hanya saja ini bukan seperti mimpi yang biasanya. Di sini aku bebas melakukan apapun, menjadi pendosa dan jauh dari “alvin” di dunia nyata.

Aku berubah menjadi pria muda yang periang. Beberapa teman yang sering memanfaatkanku, ku ikat pada tubuh pohon. Beberapa kali mereka meneriakiku dan bertanya apa yang sebenarnya ingin ku lakukan. Aku hanya tersenyum sadis menatap matanya yang semakin lama semakin terlihat ketakutan.

Kepintaranku cukup berfungsi sekarang. Ku buat mereka sedikit pusing supaya mereka tak terlalu sadar sebelum nanti ku eksekusi. Ku lemparkan batu berukuran sedang beberapa kali tepat mengenai kepalanya, ku yakin teriakan dan suara benturan tadi adalah tanda pecahnya tulang tengkorak mereka. Ini belum apa-apa, mereka belum sepenuhnya menggelinjang kesakitan. Akan ku buat mereka ikut bersenang-senang.

Ku nyalakan gergaji mesinku dan mulai ku potong kaki mereka satu persatu. Terlihat di sana darah segar mengalir, jeritan yang keluar dari mulut mereka sempurna tanpa satupun terdapat not yang fals. Belasan jumlah kaki telah usai ku pisahkan dari tubuh mereka.

Ku rasa gergaji mesin terlalu cepat untuk menghabiskan kesenanganku. Ku tanggalkan alat itu dan kini ku beralih pada gergaji manual untuk memulai mengeksekusi belasan tangan mereka.

Entahlah, mungkin gergaji itu kurang tajam. Sebuah lengan yang ku jadikan bahan percobaan tak sampai habis terpotong. Mungkin baru sampai tulangnya saja, dan suara seperti penyanyi metal keluar dari mulutnya. Ia mendesakku untuk segera menghabisi nyawanya saja, tapi tak sepatah kata jawaban ku untaikan padanya.

Ku tarik paksa gergaji yang masih menancap di lengannya, gigi gergaji itu mengenai pembuluh darahnya. Darah yang kental mengucur deras membasahi wajahku, ada yang tak sengaja mengenai lidahku. Aku tak pernah menyangka jika ternyata rasanya manis dan menyegarkan.
Baiklah, ku rasa waktunya kapak dan parang yang ku gunakan. Ku rasa sudah saatnya ku hentikan teriakan merdu dari mereka, manusia yang tak utuh lagi. Perutku juga sudah cukup mual melihat darah yang segar itu terlalu banyak mengalir.

Saatnya.

Sebuah genggaman kapak ku layangkan di atas ubun mereka satu persatu. Ku lihat kini bola matanya mencuat keluar, membuat siapapun yang melihatnya akan mengira jika itu adalah topeng hallowen. Beberapa bagian tubuh dari mereka masih bergerak-gerak kejang layaknya orang yang terkena sengatan listrik. Aku benci itu, aku bahkan tak bisa menirukan gerakan tarian mereka. Langsung saja, ku goreskan parang pada leher mereka. Kini kepala mereka telah berpisah dari tubuh mereka. Membuat mereka telah berhenti dari pesta kecil-kecilan ini.

Pandangan mataku kabur, aku jatuh tumbang di atas genangan darah.

Aku terbangun dengan seorang psikolog dan belasan polisi berdiri di hadapanku. Seorang polisi yang paling tinggi jabatannya mendekatkan posisinya ke hadapanku. Aku hanya menganga ling-lung ketika polisi tadi memasangkan borgol pada kedua tanganku. Di tambah lagi genangan darah yang membasahi celanaku. Dan teman-teman kampusku? Kenapa terpotong-potong seperti ini. Ada apa ini?

Gerombolan polisi menarik paksa badanku untuk dimasukkan ke dalam mobil. Namun sebelum itu, psikolog itu membisikan sesuatu padaku. “Maafkan aku yang telah bersalah memberimu obat. Harusnya aku memberimu obat tidur, dan memberikanmu terapi emosional. Aku tak pernah mengira jika obat yang ku berikan akan mengubahmu menjadi emosional seperti ini. Sekali lagi maafkan aku.”

Aku hanya meronta ketika polisi menahan badanku supaya tidak berontak kabur.

Psikolog Bangsat!

When weekend comes, I will update my story :)

Buat para siders tolong hargain sedikit karya penulis. Jangan hanya baca tanpa meninggalkan vote dan komentarnya.

Dan buat yang vote dan komentar tapi cuma scroll panjang. Awas, author tahu perbuatan kalian ☝

Happy reading!

Creepypasta Horror Story IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang