Prolog

302 52 53
                                    


Cahaya senja menyelimuti kota itu. Mega merah indahnya membentang di langit yang mulai menggelap.

Orang-orang berjalan ke sana ke mari menuju rumah mereka masing-masing. Sebagian menyempatkan waktu untuk bermain bersama teman-temannya.

Seorang anak duduk di sebuah ayunan dalam tatapan yang diam dan kosong. Matanya sayu dan kakinya sedikit menggerakkan ayunan yang mulai bergerak kiri dan kanan.

Bibirnya sama sekali tidak mengukirkan senyum yang harusnya dilemparkan anak-anak seumuran. Tapi, dia hanya diam, tanpa sedikit pun senyum terpintas di sana.

Ia hanya diam, sambil melihat matahari yang dengan cepat tenggelam. Rambut coklat ikalnya sedikit berantakan. Pipi kirinya merah dan sedikit bengkak ditambah dengan perban yang menutupi dengkulnya yang luka. Lengan panjang bajunya menyembunyikan bekas-bekas luka di tangannya. Mata besarnya berbinar. Menutupi luka besar di hati kecilnya.

"Tuhan, walaupun hanya kebohongan. Biarkan aku bisa merasakan bahagia. Meski hanya sekejap saja."

Remaja itu sesekali menoleh ke samping kiri dan kanan. Matanya menerawang, menatap tiap sudut taman yang mulai sepi pengunjung.

Di sinilah tempat dia meratapi semua yang terjadi pada dirinya sendiri. Tempat dia akan memikirkan dan merenungkan semua yang terjadi pada dirinya.

Senja Raya. Nama gadis itu. Seorang gadis cupu dan pendiam. Dia sering diajak 'bermain' oleh teman-teman seusianya-seperti di sekolah. Bermain dalam artian lain.

Seorang gadis seperti Senja mudah dikenali. Gadis Pendiam, ceroboh, kikuk, cupu, cuek dan polos. Matanya yang bulat besar dan bersinar, rambut coklat ikal alami yang tersibak halus saat disapu angin, dan bibir mungil yang merah tanpa polesan make up.

Kulitnya sawo matang dengan badan kurus dan tubuh yang lumayan tinggi. Senja yang selalu berjalan sendirian, duduk sendirian dan menatap langit-yang mungkin hanya itu-itu saja.

Dia sama sekali tidak suka berkelompok dengan teman-teman yang lain. Hingga, tak jarang jika dia dianggap sebagai seorang anti sosial dan menjadi bahan buly, dan juga babu dadakan. Sangat miris memang.

Namun, bukan berarti dia juga autis, atau pun punya kekurangan pada otaknya-yang memang sering dianggap belum berkembang. Senja bukan gadis seperti itu. Bahkan, Senja bisa mempertahankan peringkat satunya sejak dia menginjak bangku sekolahan.

Tak ada yang menyangka. Di balik fisiknya yang jauh dari sempurna, dan juga sifatnya yang jauh dari kata luar biasa. Dia punya otak yang tak biasa, dia sering membawa pulang piala bertingkat tiga dan juga piagam-piagam kejuaraan yang tiada duanya. Berbanding terbalik dengan penampilannya yang jauh dari kata sempurna.

Kendati demikian, dia tetap dipandang sebelah mata oleh orang lain.

Gadis itu sangat gemar membaca dan menggambar. Setiap istirahat atau jam kosong, dia tidak hanya menghabiskan waktunya untuk menggosipkan hal-hal yang tidak jelas dengan teman-temannya. Dia bukan orang yang seperti itu. Karena dia tak punya teman.

Di belakang gedung sekolah, dia sering duduk di sana sembari membawa secarik kertas di tangannya. Pemandangan yang luar biasa membuat Senja selalu menyempatkan diri ke sana dan duduk berdiam diri sembari menggoreskan tintanya di atas kertas. Melukis pemandangan yang indah itu.

Pikiran gadis itu terlalu putih. Dia seringkali memikirkan bagaimana rasanya memiliki seorang pacar yang akan ada saat kapan pun. Orang yang menemani kita sampai kapan pun dan melakukan apa pun jika kita membutuhkan. Tapi, dia tak bisa merasakan hal itu. Walaupun sebenarnya dia tak mengelak-jika dia memang ingin tahu bagaimana rasanya pacaran.

Tapi, semua itu dipatahkan ketika ia berpikir. Adakah yang mau pacaran sama aku?

Terkadang, Senja juga ingin tahu.
Apa rasanya bahagia? Bersama orang yang kita cintai?

.
.
.
.
.
.

Sunrise Become Sunset (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang