Jarak sekolah sudah tak terlalu jauh. Karena jaraknya hanya 1 kilometer. Bisa ditempuh dengan motor dalam waktu kurang lebih lima menit. Tidak terlalu lama bukan?
"Lo udah gak papa, kan? Karena kejadian kemaren?" Fajar memulai obrolan di tengah motornya yang berjalan pelan.
"Iya, aku baik-baik aja ...." Ucapan Senja membuat Fajar mengangguk.
"Lo selalu gitu, ya?"
"Gi-gimana?"
"Gugup dan kikuk gitu," tawa Fajar pecah membuat Senja sedikit malu.
"Gue nanya doang, gak usah jawab," lanjut Fajar lagi setelah hening beberapa saat.
Tanpa sadar, mereka sudah sampai di parkiran sekolah. Keduanya turun dan Senja menyerahkan helm itu pada Fajar.
"Makasih," ucapnya kemudian melenggang pergi.
Dengan cepat Fajar menarik tangan Senja. "Mau ke mana?" tanyanya.
"Ke kelas," jawab Senja ragu.
"Kelas kita beda?"
Senja menggeleng."Yaudah, tunggin gue, dong .... Kita bareng," lanjutnya.
Senja hanya menganguk mengiyakan. Dia menunggu Fajar membuka helm dan kemudian mengunci motornya. Diteruskan dengan gerakan cepat Fajar turun dari motornya dan berdiri di sebelah Senja cepat.
"Ayo!" ajaknya.
Senja lagi-lagi hanya mengangguk dan berjalan beriringan dengan Fajar. Dia seketika menjadi pusat perhatian karena berjalan dengan orang yang begitu dikenal di sekolah.
Siapa yang tak mengenal Fajar?
Laki-laki kelas dua belas yang begitu menawan dan menarik hati semua gadis. Dia selalu bersikap seenaknya, cabut bila dia suka, belajar bila dia ingin melakukannya, dan membantah jika dia tak suka. Sesederhana itu.
Namun, hal itu membuat sebagian besar gadis yang ada di SMA-nya menaruh hati padanya. Dan alasan terakhir kenapa dia begitu dikenal adalah karena dia anak dari kepala sekolah di SMA itu.
Nor Hadi Cakra Winata Natabata Limo Ambruk Sedaya, nama ayahnya.
Seorang kepala sekolah yang terbilang tegas dan selalu adil dalam bertindak. Dia sudah menjabat sebagai kepala sekolah selama tiga tahun di sekolah itu. Dia menjabat bersamaan dengan Fajar duduk di kelas sepuluh.
Disengaja? Sepertinya tidak. Fajar sudah lebih dahulu sekolah di sana satu bulan sebelum ayahnya dipindah tugaskan.
Bisikkan panas sekali lagi di hari yang cerah. Senja yang mendengarnya merasa risih. Bagaimana tidak? Dia yang biasanya hanya menjadi pemain latar belakang dalam sekolah kini menjadi pusat perhatian.
Dia memang berprestasi dalam bidang akademik. Menjuarai berbagai lomba mata pelajaran, selama ia duduk di bangku kelas sepuluh dan sebelas. Dia sudah duduk di kelas dua belas sekarang. Sudah menjadi seorang senior. Akan tetapi, rasa rendah diri dan tidak percaya dirinya selalu melekat padanya.
"Kenapa?" tanya Fajar saat menyadari kegugupan Senja yang berjalan beriringan.
Gadis itu hanya tertunduk. Tak mau semakin menjadi pusat perhatian karena Fajar mengajaknya bicara.
"Santai aja, Sen ... anggap mereka semua gak ada. Lagian, mereka semua juga cuman adek kelas lo, kan?" lanjut Fajar lagi ketika sudah memahami kenapa Senja bertingkah demikian.
Senja berusaha tenang. Dia menarik nafas dalam dan menatap dengan gugup ke depan. Dia berusaha agar tak menunduk lagi. Perubahan sikap itu membuat Fajar tersenyum senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunrise Become Sunset (End)✓
Fiksi RemajaSenja dan Fajar apa bisa bersatu? Karena saat Senja datang, Fajar telah hilang. Dan saat Fajar muncul, Senja masih lama akan keluar. Cerita klasik yang sering terjadi. Masalah hati, cinta, perasaan, dan persahabatan. Jika memilih antara sahabat dan...