Part 9 : Habis

71 18 2
                                    


"Aku melihat dirimu dari jarak yang tak dapat kujengkal. Bayang kita menjalar, memanjang, mengejar setiap hari sepiku."

~Awan~

Pagi yang cerah di hari Selasa. Awan sudah siap dengan seragam putih abu-abunya. Laki-laki itu benar-benar terlihat menawan. Dia selalu berpenampilan rapi dan menarik. Rambutnya selalu disisir ke samping dan dasi selalu melekat di kerah bajunya.

Berbeda dengan Fajar-sahabatnya. Yang setiap kali selalu berpenampilan acak-acakkan. Tanpa dasi, baju keluar dan rambut yang berantakan. Awan sendiri heran, kenapa dia bisa begitu dekat dan menjadi sahabat dengan orang seperti itu, yang jelas sangat berlawanan dengannya.

Awan punya otak yang lebih encer dari pada Fajar. Setidaknya, dia selalu di atas Fajar yang hanya mendapat ranking lima belas besar. Sementara itu, Awan selalu mendapat ranking lima besar.

Dia memang jauh lebih tenang dibandingkan Fajar. Selalu bersikap datar dan masa bodo dengan semua hal. Padahal, sebenarnya dia memperhatikan sekitarnya selalu.

Mata Awan menatap ke arah jendela. Dia menerawang, melihat seorang gadis di sebelah rumahnya yang sibuk menari dan bernyanyi dengan riangnya. Gadis itu masih mengenakan handuk bajunya dengan rambut disanggul. Hal itu membuat wajah Awan memerah seketika karena memperhatikan seorang gadis yang baru selesai mandi.

Walaupun jendela rumah tetangganya itu punya tirai. Tetap saja, tirai itu putih dan tipis, apa yang dilakukan gadis di sebelah rumahnya terlihat jelas olehnya sendiri. Tapi, jangan berpikiran yang aneh-aneh. Awan tak memiliki otak mesum sedikit pun. Dia tak pernah berpikir untuk mengintip apa yang dilakukan gadis itu. Memalukan.

Dua setengah bulan sudah berlalu sejak dia menginjak kelas dua belas. Ujian tengah semester juga sudah ada di depan mata. Dia pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh ranking dua. Tidak untuk nomor satu. Bukannya tak mau atau bagaimana, tapi, hal itu mustahil karena sudah ada seorang anak yang duduk di bangku itu selama di SMA.

Siapa lagi kalau bukan Senja? Gadis kikuk dan suka gugup jika berada di depan semua orang. Sikapnya yang pendiam dan tak pandai bergaul membuatnya dianggap cupu. Ditambah lagi dia selalu membaca buku di dalam kelas. Atau hanya sekedar mencoret-coret kertas. Sering dianggap anak aneh.

Awan tersenyum sejenak. Mulai Mengingat kenangan dia dengan teman-teman baru sekelasnya. Jalan-jalan bersama dengan Fajar, Salju dan Senja. Mereka sudah mulai dekat dan tak ada kegugupan lagi dalam diri Senja. Dia sepertinya cocok dengan Salju yang super cerewet. Siapa lagi kalau bukan tetangga Awan?

Kaki Awan sudah melangkah ke bawah. Dia masih sesekali melirik ke kamar tetangga sebelah yang sepertinya sudah kosong dan dia sudah turun. Jujur saja, Awan memang selalu lamban dalam berkemas.

Sikapnya yang santai selalu membuatnya begitu. Dia jadi merasa jika segala sesuatu yang dia lakukan akan tetap selesai walaupun dikerjakan dengan gerakan lambat. Alon-alon asal kelakon semboyannya.

"Awan, hati-hati berangkatnya. Serius ujiannya!" Terdengar ceramah singkat dari Bapak Awan.

"Iye ... Awan pamit," balas Awan seraya menyalami tangan Bapaknya.

"Alon-alon asal kelakon, ya ...."

Awan tertawa. "Iya."

Dari sanalah dia dapat kata-kata mutiara itu. Setiap dia berangkat sekolah, dia selalu saja disuguhkan dengan kata yang sama. Bagaimana bisa Awan tak mengingatnya jika tiap hari dia mendengar kata itu.

Sepertinya Bapaknya juga terinspirasi dari kata-kata mutiara Jawa. Sehingga, anaknya juga disuguhkan dengan kata-kata yang sama.

Awan tertawa kecil sembari keluar dari rumah. Motornya sudah siap untuk berjalan. Begitu pula dengan dia sendiri.

Matanya terpaku menatap seseorang berjalan di depan rumahnya dengan kesal. Kaki gadis itu dihentak-hentakkannya ke jalan. Bibirnya dikucir, dan tangannya dilipat di dada. Dia terlihat berjalan menuju halte bus.

Awan segera menghidupkan mesin motor dan melajukan motornya sehingga beriringan dengan gadis itu.

"Salju!"

Salju menoleh saat namanya dipanggil.

"Apa?" tanya ketus.

"Tumben lo gak bawa mobil?" tanya Awan.

"Aset gue disita. Kata bokap, nyokap gue harus hemat. Jadi, mobil gue disita karna selalu pulang telat."

Awan tertawa seketika di balik helm yang ia kenakan. Itu sangat lucu menurutnya. Seorang Salju berjalan menuju halte bus dan menanti bus, itu adalah pemandangan yang sangat aneh.

"Kok lo ketawa, sih?" tanya Salju emosi.

"Lucu aja sih .... Seorang Salju berjalan ke sekolah. Gue rasa berita ini bakalan masuk Koran besok."

"Gak lucu!"

"Lucu!"

"Terus, lo ke sini cuman buat ketawain gue gitu?"

"Kayaknya sih .... Enggak. Lo mau bareng?" tawarnya.

Salju tak menggubris. Dia semakin mempercepat langkahnya.

"Udah ... jangan sok gengsi. Naik motor gak kalah sama naik mobil tau ...."

"Yaudah, kalau lo maksa."

Langkah Salju berhenti. Dia kemudian menaiki motor Awan yang berhenti. Laki-laki itu masih terkekeh melihat kelakuan tetangganya yang satu itu.

Motor itu melaju dengan cepat. Sepertinya, prinsip Awan dalam bekerja dan mengendarai motor itu berbeda. Cepat, tepat, selamat.

"Awan! Pelan-pelan!" teriak Salju sembari memukul punggung Awan pelan.

Awan segera merem motornya, dan kemudian menjalankan motornya dengan kecepatan 10 kilometer per jam.

"Gak pelan kayak gini juga ...." Salju kembali mengeluh.

"Lah, terus mau lo apa?" tanya Awan.

"Gak cepet, gak lambat."

"Mana ada yang kayak gitu ...."

"Ada."

"Mana? Yang ada itu, cepat dan lambat, kalau di tengah-tengah itu berarti lo gak mau ambil Resiko."

"Iye deh ... ini mau ke sekolah atau gak nih?"

"Gak deh kayaknya."

"Lah kenapa?"

"Gak bakalan. Kalau lo masih protes sama kecepatan motor gue."

"Serah lo deh! Lo gak ngertiin cewek banget."

Awan terkekeh kemudian kembali melajukan motornya dengan kecepatan awal dia tak mau dia terlambat di hari pertama ujian.

Diam lagi, sampai mereka sampai di depan gerbang sekolah.

"Turunin gue di sini!" ucap Salju cepat.

"Lha ... kenapa?"

"Udah turunan di sini!"

"Malu sama gue ke dalam?"

"Ya ... eng-enggak ... pokoknya berhenti di sini aja," gugupnya.

Awan tak mau lagi berdebat. Dia sekarang sudah menghentikan gerbangnya di depan sekolah. Salju turun tanpa banyak bicara.

"Ma-makasih," ucapnya.

Awan mengangguk. Dia ingin kembali menggas motornya, namun terhenti karena tiba-tiba saja Wulan dan Pelangi menghentikan gerakannya.

"Salju ... lo ke sekolah naik motor?" Wulan berseru keras.

"Hei ... nompang sama Awan? Lo jadi tukang ojek sekarang, Wan?" Pelangi ikut menambahkan.

Salju terlihat gelagapan. "Gue ... gue cuman bareng aja, lagi males bawa mobil. Ka-kalian baru nyampe?"

"Demi apa? Tumben-tumbenan lo malas bawa mobil?" Pelangi berkacak pinggang.

"Gue cabut duluan! Dan satu lagi, gue bukan tukang ojek." Awan pergi dan menancap gas memasuki gerbang.

Inilah hal yang sangat dihindari. Wulan dan Pelangi yang melihat dia datang tanpa membawa mobil. Karena itu jugalah dia menyuruh Awan berhenti di depan gerbang agar kedua temannya itu sama sekali tak melihatnya.

"Salju ... orangtua lo bangkrut?"

Pertanyaan itu membuat Salju menoleh tajam.

"Aset gue disita! Puas lo pada?" ucapnya tajam membuat Wulan dan Pelangi menutup mulutnya kaget.

"Se-serius lo?" tanyanya yang hanya dibalas anggukan malas oleh Salju.

"Yah ... kita gak bisa shopping lagi dong di mall? Kok bisa sih? Gak bisa hepi-hepi lagi dong ...." Wulan cemberut.

"Lo gak bisa bayarin belanja kita lagi dong ...." Pelangi menambahkan.

Salju menatap kedua temannya tajam. Kenapa mereka tiba-tiba berkata seperti itu padanya?

"Kok lo berdua ngomong kayak mau ninggalin gue aja sih?" Salju terlihat emosi.

.
.
.TBC

Sunrise Become Sunset (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang