Bab 11 : Datang Duka

68 19 11
                                    


"Masa lalu dan hari depan pergi dan datang di halte itu. Sesiapa yang berangkat menitipkan kenangan dalam genggaman. 'Jangan beri aku lambaian. Jika esok engkau masih di sini.' Dan itu hanya perlu waktu."

~Fajar~


Fajar tersentak dari tidurnya ketika merasakan sebuah kertas kecil melayang dan menyusup ke dalam baju seragamnya. Dia menatap ke bangku depan, dan menemukan Senja yang terkekeh geli di depan. Gadis itu membangunkannya dari tidurnya.

Remaja laki-laki itu mendengus seraya berusaha mengeluarkan bulatan kertas itu, yang sekarang sedah berusaha menggelinding di dada bidangnya. Dia merasa geli, dan tertawa sendiri karena mengetahui kertas itu berasal dari Senja.

Sudah hampir mereka empat bulan dekat. Itu semua karena kejadian tiba-tiba saat Fajar mengajak Senja jalan-jalan dengannya bersama Salju dan Awan. Dia tak menyangka, jika dekat dengan Senja akan begitu menyenangkan.

Sementara itu, Senja hanya bisa terkekeh geli melihat reaksi Fajar saat kertas kecil itu menyusup ke dalam bajunya. Senja sendiri juga tak menyangka jika kertas kecil itu akan tepat sasaran dan menari meluncur memasuki baju Fajar yang kala itu tengah tertidur. Dan lagi-lagi di jam Toni-guru Pendidikan Kewarganegaraan.

Mungkin itu sudah menjadi Hobinya untuk tidur di saat jam pelajaran guru yang terkenal galak itu. Dari cara guru itu mengajar jelas sudah, jika banyak anak-anak yang akan merasa bosan saat belajar dengannya.

"Senja!"

Panggilan itu membuat Senja langsung menoleh. "I-iya, Pak?"

"Baca pembukaan Bab empat itu, halaman 126," ujar Toni singkat.

Salju mengangguk cepat. Kemudian membuka bukunya yang sama sekali belum dia sentuh, padahal satu jam pelajaran sudah berlalu. Dia segera membuka halaman yang dimaksud dan membacanya lantang.

Lagi-lagi keheningan dan kebosanan yang dirasakan seluruh murid. Seorang guru yang membacakan materi. Dan jika air liur guru itu sudah habis untuk membaca kalimat-kalimat buku yang panjang, dia akan menyuruh salah satu murid untuk membacanya.

Benar-benar membosankan.

"Pak!" Bintang mengangkat tangannya setelah Senja membacakan satu paragraph.

"Kenapa, Bintang?" tanya Toni dengan wibawa seorang gurunya.

"Bisa, gak sih, Pak? Kalau ngajar itu gak usah baca buku ... kalau cuman baca kayak gitu kita semua juga bisa, Pak ...." Suaranya berusaha terdengar sopan dan halus.

Namun tetap saja, guru itu benar-benar sensitif jika saja ada yang menegurnya dan protes dengan cara dia mengajar, dia akan langsung meledak di tempat. Mata Toni seketika menatap tajam dan tak suka.

"Bagian mana kamu tak suka waktu saya bacain materi?" Nada suara Toni terdengar naik.

"Semuanya, Pak!" celetuk Fajar. "Bapak cuman bacain, dan bacain. Bapak cuman ngambil kata-kata dari buku ... bukan dari otak Bapak sendiri. Jujur, sih, Pak, kita semua bosan banget, apalagi kalau Bapak suruh salah seorang dari kita buat baca. Itu juga bisa kita lakuin sendiri-sendiri, Pak. Gak usah dibacain juga ... kita bisa baca buku, kok."

Beberapa bisik-bisik terdengar.

"Iya, Pak ...."

"Ubah cara ngajarnya, dong, Pak ...."

"Kita semua bosan, Pak ...."

Raut wajah Toni seketika berubah masam. Dia sama sekali tak suka dengan cara bicara Fajar yang terdengar kurang sopan. Dia terlihat menahan amarah sekarang. Namun, itu tak bisa bertahan lama.

"Jadi kalian semua gak suka saya ngajar kalian, begitu?"

"Bukannya gitu, Pak ...." Awan berusaha menenangkan.

"Terus apa?!" Emosi Toni benar-benar terlihat meluap.

"Kita cu-"

"Mulai sekarang, saya tak akan mengajar di kelas ini lagi! Kalian bisa cari guru lain yang mau ngajar kalian! Dasar murid-murid kurang ajar!"

Toni berlalu dan membereskan buku-bukunya yang ada di atas meja. Dia segera melenggang dengan emosi ke luar dari kelas itu. Hal itu membuat suasana pagi menjadi begitu panas.

"Lo, sih!" Awan terlihat panik dan memukul bahu Fajar pelan.

"Ya ... gue cuman lontarin apa yang ada di otak gue." Ada sedikit rasa bersalah dari nada suara Fajar.
"Lagian ... kalau Bintang gak mincing, gue gak bakalan bilang gitu, kok ...."

"Mancing ... mincing ... lo kira gue mincing ikan apa?" Bintang protes tak terima.

"Lagian ... emang bener, kok. Si Toni cuman bacain buku, kan?" Fajar mengangkat tangannya ke kepala.

"Ish! Pake nyebut nama aja lo, kalau Bapak denger lo mau apa?" Awan menyikut sahabatnya.

"Biarin ... kan namanya emang itu," jawab Fajar enteng.

Awan hanya bisa mendengus singkat karena ulah dan perkataan dari Fajar.

"Paling, tuh Bapak cuman ngambek seminggu, kayak gue kelas sepuluh dulu, ya, kan, Senja? Kita tuh dulu sekelas ...." Fajar menatap Senja yang tadinya menoleh ke belakang.

Senja hanya diam, kali ini ada sebuah perasaan aneh yang mengganjal di hatinya.

"Udah! Lo semua tenang aja! Paling Minggu depan tuh Bapak bakaln balik lagi .... Tenang ae ...," lanjutnya.

"Betul, tuh! Dan untungnya lagi ... kita jamkos, Bro!" Bintang heboh sendiri.

Semuanya juga mengangguk setuju. Mereka semua tak bisa membohongi diri sendiri jika jam kosong sudah datang. Itu bahkan lebih membahagiakan dari pada libur sekolah selama seminggu. Benar, bukan?

Senja terdiam. Di lubuk hatinya, dia tahu kalau apa yang dia dan teman-teman sekelas lakukan itu salah. Mereka sudah menyakiti hati salah seorang guru yang mengajari mereka selama tiga tahun. Hal itu benar-benar membuat gadis itu tak tenang. Dia hanya bisa membuka novelnya kembali dan membacanya. Dia tak ingin merasakan bahagia di atas sakitnya hati seorang guru.

Fajar tiba-tiba datang di sampingnya. Dia kemudian menarik salah satu bangku yang kosong dan duduk tepat di sebalh Senja. Gadis itu hanya menatap sekilas dan kemudian kembali fokus menatap novelnya.

"Lah .... Kenapa?" tanya Fajar.

Senja menggeleng tak mau menjawab.

"Ko lo tiba-tiba pendiem gini lagi, sih?" protes Fajar tak terima.

Gadis itu masih saja diam membisu, tak mau menjamahi perkataan Fajar.

"Lo marah sama gue?"

Hening.

"Karena gue ngomong gak sopan sama Pak Toni?"

Tepat sasaran. Dan detik itu juga Senja menoleh. Matanya bertemu dengan mata Fajar. Dan Fajar bisa membaca apa yang ada di pikiran gadis itu.

"Bener?" tanyanya lagi.

Senja hanya bisa menyahuti itu dengan anggukan singkat.

"Apa salah gue?" tanya Fajar lagi tak terima. "Yang gue bilangin itu emang bener, kok."

"Fa-Fajar ... Pak Toni itu guru, dan kamu ga-gak bisa ngomong gak sopan kayak gitu sama Bapak. Pak Toni udah ngajar kamu selama tiga tahun, lho ... di sekolah ini. Kok kamu malah ngomong gak sopan gitu?"

Itu kalimat terpanjang yang dilontarkan Senja. Dan kali ini hanya untuk menceramahi Fajar yang nakalnya luar biasa.

"I-iya ... maaf ...." Laki-laki itu hanya menjawab gelagapan. "Jadi, kamu suruh aku minta maaf gitu?" lanjutnya yang dibalas anggukan oleh Senja.

Dia mendengus. Dia tak akan melakukan hal itu jika bukan Senja yang menyuruhnya.

...

Awan berdiri di depan gerbang sekolahnya dengan tangan yang bersedekap di dada. Dia menantikan seorang gadis yang selalu berjalan keluar sekolah dan menunggu di depan halte bus belakangan ini. Matanya terhenti ketika menangkap sosok itu berjalan santai ke arah gerbang.

Saat Salju sampai di depan Awan. Dia sama sekali tak menoleh, dia hanya berjalan dan melewati laki-laki itu begitu saja.

"Jadi ... lo kenapa?" tanya Awan menyadari Salju yang hanya berjalan melewatinya.

"Lo ngomong sama gue?"

"Bukan, sama Setan!"

"Jahat."

Awan mendengkus dan kemudian mendekat ke arah Salju. Dia berdiri tepat di hadapan gadis itu sekarang.

"Udah satu bulan sejak terima rapor MID, dan lo gak pernah ngumpul bareng sama kita-kita lagi." Awan to the point.

"Kita-kita?"

"Gue, Fajar, sama Senja."

"Oh."

Salju berencana ingin melanjutkan langkahnya lagi. Namun, kembali dicegat oleh Awan.

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Bukan urusan lo!" Salju menepis tangan Awan dan kembali melangkah pergi.

Awan tak mau kalah, dia kembali menarik tangan Salju. Dan kali ini lebih keras sehingga gadis itu meringis dan menatap Awan tajam.

"Kenapa?"

"Penting gitu buat lo?"

"Iya!"

"Gausah sok peduli!"

"Lo cemburu?"

"Ha? Apa?"

"Fajar sama Senja."

"Bisa, gak, sih? Lo ngomong jangan potong-potong kayak gitu. Gak ngerti gue!"

"Lo paham, jangan sok gak paham!"

"Gausah bentak dong!"

Awan tersadar. Dia sudah membantak Salju. Kini keduanya hening.

"Gue tanya, lo suka sama Fajar?" tanya Awan mulai lembut.

.
.
.
.
Tbcc

Sunrise Become Sunset (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang