Part 8 : Biasanya

83 18 8
                                    

"Bau, ya?" tanya Awan berusaha memecah kesunyia.

Senja menggeleng. "Gak ...."

"Jujur aja lo ... emang jaket gue bau kok." Awan bicara ketus.

Senja sedikit terkekeh. Awan berhasil mengubah tangis itu menjadi tawa.

Fajar datang tergesa-gesa lagi dari arah pintu. Nafasnya terlihat masih terengah. Dia segera memberikan kantong hitam pada Senja.

"Itu baju ... dan lo bisa ganti pem ... itulah pokoknya, semuanya ada di sana." Fajar membuang muka karena malu.

Senja juga merasa begitu. Fajar membelikan itu untuknya? Begitukah?

"Yaudah, kita tunggu di luar," ucap Awan kembali mengambil jaketnya.

Senja mengangguk kemudian menutup pintu toilet saat Fajar dan Awan sudah berada di luar. Dia bergegas sekarang, entah mengapa rasa sedih karena ditinggal dan rasa malu karena roknya hilang karena ada kedua laki-laki itu.

"Lo Beruntung," ucap Fajar tiba-tiba di sela penungguan mereka.

Awan yang tadinya menatap ponselnya beralih menatap Fajar. "Beruntung maksud lo?"

"Beruntung aja .... Saat Senja nangis, lo yang pertama kali kasih pelukan ke dia dan tenangin dia. Seolah-olah lo itu pahlawan dia saat dia dalam masalah."

"Ceritanya lo cemburu?"

"Bu-bukan gitu ...."

"Terus?"

"Ya ...."

"Fajar denger ya, gak mungkin gue lihat dia nangis terus gue telepon nunggu lo dateng buat nenengin dia. Dia tuh butuh orang buat nenangin dia secepatnya, Jar."

"Ya, gue paham."

"Lagian, gue gak tahu apa lo punya rasa sama Senja atau gak." Awan kembali menatap layar ponselnya. "Kalau gue duluan yang dapat dia, kan gak masalah. Gue gak nikung, karena gue gak tahu."

Ucapan itu membuat Fajar melotot ke arah Awan. Sementara itu, laki-laki yang dipelototi tak melihat karena sibuk menatap HP-nya. Fajar hanya mendengus sebal karena Awan sama sekali tak memperhatikannya.

Pintu toilet terbuka. Bersamaan dengan keluarnya Senja dengan baju gaun selutut tanpa lengan. Dia tetap terlihat cantik meskipun matanya sembab karena tadi sempat menangis.

"Jar," panggil Awan.

"Apa?" Fajar tak menoleh.

"Lo kalau pilih baju kenapa pilih baju yang gak ada lengan kayak gini," lanjutnya.

Fajar terkekeh. "Mana gue tahu ... kan gue buru-buru ...."

"Tetep dingin lah dia ...."

Senja yang merasa dibicarakan hanya bisa diam. Jujur, dia juga merasa sedikit tak nyaman dengan baju tanpa lengan itu.

Rasa tak nyaman itu tiba-tiba hilang karena Awan kebali memasangkan jaket levisnya pada Senja. Senja marasa lebih baik sekarang karena perlakuan Awan. Sementara itu, Fajar menatap tak suka.

"Ayo pulang!" ajak Fajar akhirnya.

Senja hanya mengangguk. Kali ini tak ada niat untuk menolak penawaran Fajar. Dia harus pulang secepatnya karena sudah lama menanggung malu di wajahnya.

Mereka bertiga berangkat setelah mengambil tas Fajar dan Senja di dalam kelas. Senja dan Fajar berboncengan, sementara itu Awan sendiri dengan motornya. Dia mengekor di belakang karena menunggu Fajar. Fajar meminta Awan untuk mengikutinya karena ada yang akan dia bicarakan.

Motor itu berhenti di depan rumah Senja. Gadis itu hanya bisa berterima kasih pada dua orang yang membantunya. Dia tak tahu harus berkata apa lagi. Dua kali dia mengalami masalah, dua kali pula orang ini menolongnya.

Fajar dan Awan kembali melaju. Mereka terlihat mencari suatu tempat untuk duduk dan bicara. Dan sebuah kafe sederhana menjadi pilihannya.

Mereka duduk di salah satu meja yang kosong. Belum ada ada yang buka suara. Sebelum mereka berdua duduk dan saling berhadapan.

"Kenapa?" tanya Awan langsung pada intinya sembari menatap menu di meja.

"Lo juga suka kan sama Senja?" tanya Fajar langsung.

"Berarti lo emang suka sama Senja?" Pertanyaan kembali dijawab pertanyaan.

"Jangan ngelak dan balik pertanyaan deh. Lo jawab aja apa yang gue tanya."

"Emang lo udah jawab pertanyaan gue sebelumnya."

"Awan, tolong, gue lagi gak mau belit-belit kayak gini. Lo tinggal ngomong sama gue iya atau gak. Gak usah balik tanya ke gue. Gue gak suka."

"Bro, kok lo jadi emosi gini?" Awan menatap wajah Fajar sekarang. "Apa lo emang cemburu karena gue peluk Senja tadi?"

"Bukan gitu, Wan ...."

"Terus?" potongnya. "Gue cuman gak mau ada kebohongan dalam persahabatan. Lo harus jujur sama gue, gak boleh sembunyiin perasaan lo, kalau gini terus persahabatan kita bisa kacau."

"Kok lo yang jadinya marah sih? Seharusnya gue, karna ...."

"Gue peluk-peluk Senja dan bisa nenangin dia tiap dia nangis?"

Fajar bungkam. Percakapan itu sudah salah dari awal.

"Gini ya, Jar. Kalau lo emang suka sama dia, lo tinggal bilang sama gue. Gue gak bakalan nikung lo dan malah bakalan bantuin lo buat deket sama anak kutu buku dan culun itu."

"Jangan panggil dia culun!"

"Tuh, lo marah tiap kali Senja dikatain culun. Sikap sama perilaku lo nunjukin kalau lo suka sama anak cupu itu."

"Cukup, Wan!"

"Kalau lo gak ngomong jujur sama gue ... jangan salahin gue kalau suatu saat gue nikung lo dan dapetin Senja buat gue. Dia kayaknya gak masalah kalau dijadiin buat mainan gue."

BUGH!

Pukulan itu mendarat dengan cepat ke arah wajah Awan. Sangat keras, sampai-sampai sudut bibir Awan berdarah.

Kafe yang tadinya hening hebih seketika karena pukulan Fajar. Mata laki-laki itu memerah. Dia sangat marah sekarang karena kata-kata Awan yang begitu tajam dan menikam.

"Jangan pernah lo jadiin Senja itu mainan lo!" marahnya.

"Jar ... liat reaksi lo aja gue udah tahu semua, Jar."

Fajar terdiam dengan nafas memburu dan tangan mengepal.

Awab berdiri seraya mengusap ujung bibirnya. "Satu pukulan buat gue karena satu cewek. Gue tahu mata lo bilang lo suka sama dia. Jangan berpikiran kalau gue beneran bakalan permainin dia, lo tahu, kan? Gue itu sahabat lo, gue gak mungkin nikung lo, Jar. Dan lagi, apa pernah gue mainin cewek sebelumnya? Gak tuh! Lo tahu hati gue udah ada buat siapa."

Awan menepuk bahu Fajar pelan dan kemudian berjalan keluar dari kafe. Orang-orang sudah tak memandangi mereka lagi karena perkelahian itu sudah reda.

Mata Fajar kembali menangkap sosok Awan yang kembali memasuki kafe.

"Oh, ya. Gue harap, persahabatan kita gak kacau karena kejadian ini, dan lagi kalau lo benar-benar sayang sama tuh cewek. Jagain dia, mungkin di hari kelulusan kalian bisa jadian," bisiknya kemudian kembali berlalu pergi.

Fajar terdiam. Dia kembali menatap langit-langit kafe. Dia tak menyangka dia akan semarah ini saat Awan mengatakan hal buruk tentang Senja. Apa lagi saat laki-laki itu berkata jika dia akan mempermainkan Senja. Emosi Fajar benar-benar memuncak saat itu.

Sejak kapan rasa itu timbul? Dan sejak kapan Fajar selalu berusaha untuk mengobrol dan berbicara dengan Senja.

Sudah dua tahun mereka sekelas. Dan Fajar sama sekali tak tahu kapan gejolak rasa itu ada pada dirinya.

Dia memandangi kedua belah tangannya yang tadinya dia gunakan untuk memukul sahabatnya sendiri.

Hei ... sejak kapan laki-laki itu rela memukul sahabat karena seorang perempuan yang belum tentu akan bersama dia. Senja itu orang pendiam, wajah dan rasa di hatinya sangat sukar untuk dibaca. Kenapa Fajar melayangkan pukulan itu?

Dia berusaha menyehatkan pikirannya kali ini. Dia tak jadi memesan makanan. Kafe hanya menjadi tempat untuk bicara dengan Awan. Mereka sama sekali tak memesan makanan, lagian tidak ada yang melarang hal itu sama sekali.

Fajar kali ini keluar dari kafe. Dia ingin menenangkan pikiran. Dia akan fokus menuju satu tujuan yang tadinya sempat dikatakan Awan. Dia akan berusaha menjaga gadis itu agar dia tak lagi mendapat masalah.

Sesekali, Fajar berpikir kenapa Senja bisa mendapatkan masalah seperti itu hanya dalam waktu dua hari berturut-turut. Dia sendiri juga heran karena hal itu, dan dia hanya bisa manatap Senja saat Senja sudah bisa tenang dalam pelukan orang lain. Sahabatnya. Awan. Bukan dirinya yang padahal lebih sibuk untuk mencari Senja jika gadis itu hilang.

Pikiran dan hati itu terkadang selalu berlawanan. Jika hati memilih untuk ke atas, pikiran malah memilih untuk sebaliknya. Begitu yang dirasakan Fajar. Jika hatinya berkata dia peduli dan ingin Senja. Pikirannya akan berkata jika dia sama sekali tak pantas untuk Senja. Bukan karena Senja itu penuh kekurangan, namun dia memikirkan tentang kekurangannya sendiri yang lebih melimpah ruah.

Dia ingin Senja tahu bagaimana perasaannya. Tapi, dia sendiri tak tahu apakah yang dia rasakan itu benar atau salah. Dia ingin memastikan rasa itu lebih lama lagi. Akan tetapi, sebelum itu, dia ingin menjaga Senja terlebih dahulu. Dia tak ingin Senja jatuh ke tangan yang salah. Dia tak ingin Senja masuk dan terperosok ke dalam lobang yang sama.

Apakah rasa ini benar? batinnya.

.
.
.
TbC

Sunrise Become Sunset (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang