4: Pernyataan

31 11 0
                                    

"Kamu akan tahu nanti, sayang."

Kalimat Bunda semalam masih terlintas di benakku. Aku masih belum bisa mengartikannya. Tapi dibalik misteriusnya Bunda selalu ada yang disiapkan.

Ada pesan masuk,

Nanti sore temani Bunda ke rumah Tante Maria ya, sayang. Ada sesuatu yang penting.

Bunda selalu begitu, tanpa banyak basa-basi jika menyampaikan sesuatu.

Sembari menunggu wisuda tahun depan, mulai seminggu lalu aku bekerja sampingan untuk kebutuhanku sendiri, sekadar meringankan beban Bunda. Aku bekerja sebagai waitress di cafe milik teman dekatku, Sekar.

Aku mengenalnya saat pertama masuk kuliah, ketika usiaku delapan belas tahun. Dia termasuk perempuan yang selalu ingin tahu, tapi dia mengerti sampai batas mana aku tak ingin diganggu.

"Ngelamun aja, Neng!"

"Sa! Ih apaan?" Sasa, adalah nama panggilan untuknya dariku.

"Lo boleh pulang dua puluh menit lagi, karena gue perhatiin lo cukup bagus kerjanya dari jam delapan pagi tadi. Untuk besok, libur dulu gaapa."

"Pulang sekarang aja ya? Bunda mau ada acara, gue disuruh temenin."

"Oke deh. Tapi gak ada jatah makan siang, untuk gantinya nih coklat panas buat di jalan."

Kemudian aku bergegas, siap-siap untuk pulang. Sekar selalu paham bagaimana aku. Dan sangat kebetulan, kakak Sekar adalah suami kakakku.

"Dahh! Jangan rindu karena besok gue gak masuk."

"Gue bisa masuk kamar lo, inget." Ucapnya datar.

---

"Loh? Bun, kita kok jalan kesini. Bukannya tadi Bunda bilang mau ke rumah Tante Maria ya?"

"Udah kamu ngikut aja, Tante Maria ada di rumah ini katanya."

"Permisi!" Bunda berteriak lantang.

"Waahhh! Akhirnya datang juga Nessa. Masuk yuk, Vania juga."

Aku tersenyum tipis.

Begitu memasuki ruang tamu mataku tak sengaja menangkap sosok yang beberapa hari lalu mulai mengganggu diriku.

Samuel.

Aku terdiam. Ku lihat dia juga terpaku.

"Duh, gak lama lagi ini!!" Wanita di seberangku berteriak heboh sesaat sebelum aku terperanjat.

Aku menunduk. Jujur, aku malu saat ini.

"Jadi ini namanya Vania."

Perlahan aku mendongakkan kepala.

Wanita itu memandangku dari atas ke bawah dengan tatapan menilai. Bun, tolong anakmu!

"Gak usah tegang gitu lah wajahnya. Tante gak gigit kok." Ujarnya jenaka.

Aku hanya bisa tersenyum masam.

"Kenalin, ini Tante Pradna, mamanya Yavin." Kini Tante Maria bersuara.

"Ngobrol dulu gih sama Yavin, sayang. Ada pembicaraan orang dewasa disini."

"Ma, aku udah dua puluh empat." Rajukku.

Pundakku disentuh, "Ikut aku yuk, ke belakang." Sial! Tatapannya lembut sekali. Aku merutuk.

Kemudian aku berdiri, mengikuti langkahnya hingga ke taman belakang. Dia duduk di bangku kecil di bawah pohon sedangkan aku berdiri dengan jarak tiga meter darinya.

"Sini!" Dia memandangku konyol.

"Gak usah malu. Kita udah kenal kan?"

Dan entah, aku menuruti perintahnya untuk duduk.

"Kamu selalu cantik, sepertinya aku suka denganmu."

Astaga, orang ini kenapa blak-blakan sekali, sih?!

Terdiam sesaat, "Cantik bukan alasan kamu bisa langsung menyukaiku. Banyak perempuan lebih cantik dariku."

"Tapi aku tertarik sejak pertama lihat kamu malam itu. Kamu cantik dengan caramu, sederhana. Ara, kita pernah mengalami kisah yang sama, tapi entah mengapa aku yakin denganmu untuk menjalin kisah dengan akhir bahagia."

Tunggu, aku tak mengerti maksudnya.

"Maksud kamu?" Aku mengernyit memandangnya.

"Kamu pernah dikhianati. Aku juga. Beri aku kesempatan untuk menjadi penawar rasa sakitmu." Dia menatapku penuh keyakinan.

"Beri aku alasan untuk menerima."

"Kita pernah tersakiti. Dan saya yakin kita butuh penawar, yaitu cinta yang baru."

"Aku yakin masing-masing dari kita sudah dewasa, kita bisa mulai saling mengenal dulu kurasa."

"Jadi?" Tanya Samuel mengangkat sebelah alisnya.

"Aku akan mencoba."

"Hubungan tidak berlandaskan coba-coba jika kamu ingin tahu."

Aku menghembuskan napas, "Baik, kita bisa memulainya."

---

Ntar lagi yak

Cukup untuk hari ini

Tbc

18/8/18

Salam cinta

The Boss and His Lover (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang