Chapter 03: Raise Hopes As High As Possible

9.6K 778 13
                                    

Sakura dan Ino tampak duduk di kantin, masing-masing menikmati ramen mereka dengan penuh selera. Ino menyendok ramen ke mulutnya dengan semangat, sementara Sakura duduk di hadapannya, mengamati sahabatnya yang sangat rakus.

“Hahhh, akhirnya makan juga,” ucap Ino dengan semangat, suaranya terdengar penuh kepuasan saat menikmati ramen.

“Hei, pelan-pelan, babi. Nanti kau tersedak. Benar-benar makan seperti babi,” ejek Sakura dengan nada canda, membuat Ino melotot ke arah sahabatnya dengan gemas.

“Dasar jidat. Eh, ngomong-ngomong, bagaimana dengan tugas Guru Kurenai?” tanya Ino, menggigit ramennya sambil melirik Sakura.

“Aa, aku juga sedang memikirkannya. Tak mungkin kita hanya berdua,” jawab Sakura sambil meniup ramen untuk mendinginkannya sebelum memakannya.

“Ya, kau benar. Yang grupnya sudah jelas itu Vstar—Naruto, Sasuke, Sai, dan Neji,” ucap Ino, menyebutkan nama-nama anggota grup yang sudah pasti.

“Eh, Kiba?” tanya Sakura, mengernyitkan dahi.

“Kurasa dia akan masuk grup Suigetsu,” jawab Ino dengan yakin.

“Kau benar,” ucap Sakura sambil menganggukkan kepalanya.

“Kau ini kan banyak teman, masa tidak ada yang bisa diajak bergabung?” lanjut Sakura bertanya pada Ino.

“Ck, kau ini seperti tidak punya teman saja,” ujar Ino sambil memutar bola matanya dengan bosan.

“Kan teman ku hanya kau, babi,” balas Sakura, menunjukkan ekspresi sedikit kesal.

“Makanya, bergaulah sedikit,” ujar Ino, memberikan nasihat dengan nada penuh arti.

“Ya, ya,” jawab Sakura dengan nada jengkel, lalu kembali menikmati ramen.

Sekolah telah usai, dan semua orang telah berhamburan keluar untuk pulang ke rumah dan beristirahat setelah seharian beraktivitas. Namun, beberapa siswa masih bertahan di lingkungan sekolah.

Sasuke masih berada di ruang latihan dance, tampak kelelahan meski baru beberapa kali mencoba koreografi. Pria itu tanpa mengenakan atasan, menampilkan tubuh kekarnya yang bisa membuat para gadis terpesona. Setelah beberapa kali bergerak, Sasuke terlihat mulai kelelahan.

“Kau harus pandai mengatur nafasmu,” celetuk suara lembut dari seseorang, membuat Sasuke mendongak.

Dia melihat sosok gadis bersurai merah muda yang dikenalnya, Haruno Sakura. Sasuke ingat bahwa gadis ini sekelas dengannya. Sepertinya Naruto pernah menyebut nama gadis ini.

“Hn, saran yang bagus,” ucap Sasuke sambil mengelap keringat di dahinya dengan handuk.

Sasuke sedikit heran melihat Sakura yang tampak biasa saja meskipun dia bertelanjang dada. Gadis itu mengambil sebuah tas dari dekat tempat Sasuke berdiri.

“Syukur tidak hilang,” ucap Sakura lega saat menemukan tasnya masih ada di sana. Beruntung hari ini pulang cepat dan tidak ada pelajaran tambahan, sehingga Sakura bisa meninggalkan tasnya di ruang latihan.

“Kau belum pulang, Uchihā?” tanya Sakura, mengamati Sasuke.

“Hn,” sahut Sasuke singkat.

“Hn itu iya atau tidak?” tanya Sakura, berusaha memahami jawaban Sasuke.

“Ya,” jawab Sasuke. Entah kenapa, dia merasa ingin menjawab pertanyaan Sakura. Jika yang bertanya adalah Naruto, mungkin dia tidak akan mau menjawab.

“Aa, begitukah. Kenakan bajumu, ayo ke depan,” ucap Sakura.

Sasuke menurut, mengenakan bajunya sambil mengambil tasnya. Keduanya berjalan bersama di koridor sekolah yang sudah sepi. Sasuke melirik Sakura sejenak. Dia merasa Sakura tampak pendek, hanya sebatas dagunya, namun postur tubuhnya yang kecil membuatnya terlihat mungil dan menggemaskan.

“Aa, sampai jumpa,” ucap Sakura, berlari menjauhi Sasuke saat mereka keluar dari gedung sekolah.

Sakura melambaikan tangannya sebelum berlari pergi. Sasuke merasakan rasa tak rela ketika Sakura menjauh darinya, meninggalkannya di tempat itu. Pria itu menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran tersebut.

Setelah tiba di rumah, Sakura menaiki bus dan berjalan kaki sebentar menuju rumahnya yang sederhana namun layak huni. Setelah menutup pintu dan melepaskan sepatunya, Sakura memasuki kamarnya untuk membersihkan diri.

Gadis itu kemudian berjalan menuju kamar ibunya. Saat membuka pintu kamar, Sakura melihat ibunya, Haruno Mebuki, terbaring di atas kasur.

Ibu Sakura, Haruno Mebuki, adalah wanita paruh baya yang mengalami pengeroposan tulang sehingga tidak bisa berdiri lagi dan harus berhenti bekerja. Sebelumnya, Mebuki bekerja di sebuah bank swasta untuk menghidupi keluarganya. Ayah Sakura telah tiada sejak Sakura masih kecil, dan kakaknya, Haruno Nagato, adalah anggota kepolisian ANBU. Keluarga Haruno hidup dari gaji Nagato dan gaji Sakura yang bekerja paruh waktu, termasuk untuk membeli obat bagi Mebuki.

“Ibu sudah makan?” tanya Sakura lembut, mengusap pipi Mebuki dengan penuh kasih sayang.

“Sudah. Kau baru pulang, Saki?” tanya Mebuki, memegang tangan Sakura yang berada di pipinya.

“Iya, Ibu. Apakah Kakak tadi pulang?” tanya Sakura.

“Ya, dia pulang dan menyuapi ibu makan,” jawab Mebuki dengan lembut, menggenggam tangan Sakura.

“Maafkan ibu yang selalu merepotkan kalian,” ucap Mebuki dengan nada penuh penyesalan.

“Ibu, jangan bilang begitu. Harusnya kamilah yang meminta maaf pada ibu, karena kami belum bisa membahagiakan ibu. Apalagi ibu menjadi sakit-sakitan seperti ini juga karena mencari uang untuk kami. Kami sangat bersyukur punya ibu hebat seperti ibu,” ucap Sakura, mengelus tangan Mebuki dengan lembut.

“Pengorbanan ibu jauh lebih besar dari apa yang kami berikan pada ibu saat ini. Ibu bahkan rela mempertaruhkan nyawa demi kami. Kau tahu, ibu, aku sangat menyayangi ibu, begitu pula Kakak. Ibu adalah pahlawan dalam terang maupun gelap. Jangan pernah merasa rendah,” lanjut Sakura dengan penuh perasaan.

“Ibu beruntung memiliki kalian yang bisa menerima keadaan ibu yang seperti ini,” ucap Mebuki dengan haru, melihat sikap dewasa anaknya.

“Kamilah yang beruntung, Ibu. Bukankah sudah kukatakan? Istirahatlah, Ibu. Jika butuh sesuatu, panggil Saki,” ucap Sakura dengan lembut.

“Tentu, Ibu akan memanggil nanti, nak,” jawab Mebuki.

“Aku mencintaimu, Bu,” ucap Sakura sambil mencium kening ibunya, lalu menatap ibunya sejenak.

Mebuki tersenyum tulus ke arah Sakura.

“Ibu juga mencintaimu, Saki,” jawab Mebuki.

Sakura tersenyum dan pergi meninggalkan kamar ibunya. Mebuki masih menatap pintu yang telah tertutup, meresapi momen hangat tersebut.

‘Kau anak yang baik, Saki. Semoga semua harapanmu terwujud. Tetaplah menjadi Saki yang ibu kenal,’ batin Mebuki dengan penuh rasa sayang.

Mebuki menerawang ke atap kamarnya dan kemudian tersenyum, merasakan kehangatan dari senyum Sakura.

‘Bukankah kita beruntung, Kizashi? Kita punya seorang putra yang sangat membanggakan dan seorang putri yang sangat penyayang,’ batin Mebuki dengan haru.

Sakura duduk di bawah pohon di belakang rumahnya, menatap langit dengan tatapan penuh pikir. Ia tengah berpikir bagaimana cara ia bisa menyembuhkan ibunya. Rasa tidak tega melihat ibunya terbaring lemah setiap hari menghantui pikirannya.

‘Ibu pasti sembuh. Aku yakin itu, karena ibu wanita yang kuat. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus terus mencari uang demi kesembuhan ibu. Ibu, tunggu sebentar lagi,’ batin Sakura dengan tekad.

Hari ini, harapan Sakura sangat tinggi. Ia berdoa agar ibunya bisa sembuh, meski hanya Tuhan yang tahu takdirnya.

Entertainment School Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang