"Who cares baby? I think I wanna marry you. I'll go get a ring, let the choir bells sing like, oh. So what ya wanna do? Let's just run, girl."
Marry You - Bruno Mars
Im sorry 4 no edit
P
erlahan, mata itu mengerjap. Namun, silau yang memenuhi pandangannya membuat mata itu kembali tertutup. Oksigen seolah berlomba masuk ke dalam hidungnya, membuat mulutnya terbuka agar rasa kering yang memenuhi mulutnya terbuka. Sebagian wajahnya terasa tertekan. Telinganya berdengung, dan dapat mendengar detak jantungnya sendiri.
Mata itu kemudian berani terbuka saat sebuah siluet seorang pria memenuhi pandangannya. Suara ribut terdengar kembali. Kali ini datang silih berganti dan beberapa suara familier memenuhi kepalanya.
"Dia sudah bangun!"
"Terimakasih, Tuhan. Engkau mengabulkan doaku."
"Crystal! Crystal kamu denger aku, kan?"
"Dokter! Panggil Dokter!"
"Crystal, sayang," bisikan itu terdengar sangat dekat, membuat Crystal mencoba menormalkan penglihatannya. Dan wajah itu adalah wajah yang pertama Crystal lihat.
Kacau. Mata pria di depan wajahnya mengeluarkan air mata yang bahkan menetesi wajah Crystal. Walaupun bibirnya terasa kering dan perih, Crystal tetap mencoba membuka suaranya. "Fa-res ..."
Bibir Fares melengkung ke atas, dan matanya yang memerah, berbinar lega. "Makasih, sayang."
Kebingungan memenuhi pikiran Crystal. Baru saja Crystal akan berbicara, Fares yang masih menatap padanya di tarik dari hadapannya. "Fares ..." bisiknya serak.
"Maaf semuanya keluar terlebih dahulu! Pasien yang baru saja bagun dari komanya membutuhkan ketenangan!"
Koma? Crystal, maksudnya?
***
Alis Crystal bertautan saat mendengar penjelasan dari sang Bunda. Saat ini, Crystal sedang duduk di atas kasurnya. Ruang rawat VVIP itu dipenuhi oleh keluarganya, dan ..., keluarga Fares. Oke, itu seharusnya dipertanyakan. Namun, keadaannya yang tiba-tiba berada di Singapura inilah yang lebih penting.
"Jadi, Crystal koma selama ...?" Crystal menatap Bundanya, menunggu jawaban.
"Tiga bulan."
Crystal menganggukkan kepalanya dengan alis yang masih berkerut bingung. "Oke, tiga bulan. Wow."
Jitakan di kening segera Crystal dapatkan dari sang Ayah yang berdiri di samping ranjang. "Kamu ini! Koma malah kagum. Orang-orang di sini bahkan mati cemas karena detak jantung kamu sempat berhenti."
Crystal meringis ngeri. "Sumpah? Wow," katanya. Saat Ayahnya akan menjitak lagi, Crystal segera menahan tangan sang Ayah. "Ayah! Crystal lagi sakit, tau! Nggak liat ini kepala di perban?"
Dan berhasil. Sang Ayah menurunkan tangannya sambil mendengus sebal. "Kamu ini ya! Kebentur bukannya waras, malah makin gila."
Crystal mendelik. "Kenapa Ayah nggak sekalian ganti otak aku aja waktu operasi? Anak sendiri malah di bilang orang gila."
"Karna orang normal nggak akan bilang wow waktu bangun dari koma."
"Aku ini anti mainstream!"
"Ya tetep aja. Orang anti mainstream juga nggak akan bilang wow waktu bangun dari kecelakaan yang bahkan bikin dia terlempar dari jendela depan."
"Aku kelempar dari jendela depan? Wow."
"Kamu ini yah!" kali ini, tanpa dapat di cegah, Ayah menjitak kepala Crystal dengan kencang.
"Ayah! Sakit tau!"
"Otak kamu tuh yang sakit!"
"Ayah," tegur sang Bunda. "Malu. Nanti aja ngatainnya di rumah waktu nggak ada Crystal sama keluarga Fares."
"Bunda!!" rengek Crystal sambil cemberut. "Bunda tega, ya, sama aku!"
"Kalau tega, Bunda nggak akan bawa kamu ke rumah sakit Singapura. Ngabisin duit aja."
"Ish!" kesal Crystal dengan wajah yang ditekuk. "Suami sama Isteri sama aja."
"Kekompakan akan datang untuk melawan anak macem kamu." balas Bunda.
Crystal melotot pada sang Bunda. "Emang aku anak macem apaan?"
"Aneh, dan ceroboh."
"Aku nggak ceroboh!"
"Kalau nggak ceroboh, kenapa kamu bisa lupa pake seatbelt gitu? Kenapa juga bisa kecelakaan?"
Pertanyaan itu membuat Crystal mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat kejadian sebelum Crystal kecelakaan. Ya, Crystal ingat. Saat itu, saking ingin pergi dari kafe tersebut, Crytsal lupa menggunakan sabuk pengaman. Seperti di sinetron galau, Crystal menangis di jalan dan membuatnya tidak fokus menyetir. Setelah itu, yang Crystal tahu hanya suara klakson dan betapa cepatnya truk menghantam mobilnya.
Mata Crystal kemudian bertumbuk pada satu orang yang menjadi pusat pikirannya saat itu. Yaitu, Fares.
Crystal bukannya tidak tahu jika Fares sedari tadi menatapnya tanpa henti. Crystal bahkan tidak tahu jika Fares mengedip apa tidak. Yang pasti, matanya memelototi Crystal tanpa henti. Seolah, Crytsal akan menghilang jika Fares tidak memelototinya sedetik saja. Akhirnya, Crystal menghela napas panjang dan kembali menatap sang Bunda. "Bun, kenapa Fares sama keluarganya pada di sini, sih? Crystal ngerasa sedikit ..." jeda, Crystal menelan ludahnya dan menatap Ibu serta Ayah Fares dengan canggung, lalu kembali menatap Bundanya. "... nggak enak."
"Ya wajar, dong." jawab Ayah sekenanya.
"Kok wajar?"
"Ya kan Fares menantu Ayah."
Crystal mendelik jengah. "Yah, udahan ah berkhayalnya. Malu sama keluarganya Fares."
"Emang Fares beneran menantu Ayah."
"Hah?"
"Kalian sudah menikah."
"APA?!"
Pernah dengar pernyataan tentang semuanya terasa mimpi? Itulah yang dirasakan Crystal. Saat Ayahnya mengatakan hal tersebut, semuanya terasa mimpi. Dan Crystal ingin segera bangun dari mimpinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband Is a Boss [COLD DEVIL #4]
Roman d'amour[Cold Devil Series] Bangun dari komanya, tahu-tahu Crystal sudah menjadi seorang isteri dari Fares Dharma, seorang pemegang saham kaya raya yang menikahinya akibat kejadian 10 tahun yang lalu. **** Sumpah gue baper makk. Dedeq gak kuat. Mas Fares sa...